Mohon tunggu...
Mega Melinda A.P.
Mega Melinda A.P. Mohon Tunggu... Mahasiswa - IAIN Ponorogo

Hai! Saya Mega Melinda, seorang mahasiswa semester 4 di IAIN Ponorogo, sedang menempuh studi S1 Tadris Matematika. Di sela-sela waktu kuliah, saya juga aktif mengeksplorasi berbagai isu-isu terkini dalam dunia pendidikan dan psikologi pendidikan. Melalui akun ini, saya berbagi artikel dan pemikiran seputar topik-topik tersebut, serta berdiskusi dengan komunitas gen Z lainnya. Ayo bergabung dan jadilah bagian dari perbincangan yang asik tentang masa depan pendidikan! ✨

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Neuroscience dan Pembelajaran Matematika: Mengungkap Rahasia Konektivitas Otak Anak untuk Pengembangan Kurikulum yang Efektif

16 Juni 2024   01:45 Diperbarui: 16 Juni 2024   01:48 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Neurosains telah menjadi bidang yang semakin penting dalam memahami bagaimana otak anak berkembang dan belajar, terutama dalam pendidikan matematika. Para peneliti seperti Dehaene (2011) mengungkapkan bahwa kemampuan matematika sangat terkait dengan konektivitas neural di beberapa area otak, termasuk korteks parietal dan prefrontal. Penemuan ini menantang pendekatan tradisional dalam pengembangan kurikulum yang sering kali mengabaikan aspek-aspek neurobiologis dalam proses belajar. Dalam kasus ini, pemahaman mendalam mengenai bagaimana otak anak memproses informasi matematika dapat memberikan wawasan berharga untuk menciptakan kurikulum yang lebih efektif dan adaptif, sesuai dengan tahapan perkembangan otak.

Sejalan dengan itu, Howard-Jones (2010) berpendapat bahwa integrasi temuan neurosains dalam pendidikan dapat membantu mengidentifikasi metode pengajaran yang lebih selaras dengan cara kerja otak. Misalnya, teknik pembelajaran yang memanfaatkan permainan dan interaksi sosial terbukti meningkatkan motivasi dan kemampuan anak dalam memahami konsep matematika. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum yang berbasis neurosains tidak hanya berpotensi meningkatkan hasil belajar, tetapi juga menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih menyenangkan dan bermakna bagi siswa. Mengabaikan dimensi ini berarti kehilangan kesempatan besar untuk memaksimalkan potensi kognitif anak sejak dini, pada akhirnya dapat berdampak pada kemampuan anak dalam menguasai mata pelajaran yang lebih kompleks di masa depan.

Pendahuluan bidang neurosains ke dalam pendidikan, khususnya dalam pembelajaran matematika, membuka peluang untuk merancang kurikulum yang lebih efektif dan adaptif. Neurosains mengungkapkan bahwa kemampuan matematika tidak hanya bergantung pada pengajaran tradisional, tetapi juga pada cara otak anak berkembang dan memproses informasi. Penelitian oleh Dehaene (2011) menunjukkan bahwa korteks parietal dan prefrontal memiliki peran penting dalam pemahaman matematika. Mengetahui ini, kita dapat mengembangkan strategi pembelajaran yang lebih sesuai dengan cara kerja otak anak, sehingga memaksimalkan potensi kognitif.

Pemahaman tentang konektivitas otak anak dalam belajar matematika telah menunjukkan bahwa aktivitas neural yang intens di area tertentu berkorelasi dengan kemampuan matematika yang lebih baik. Menurut Butterworth (1999), anak-anak dengan kesulitan matematika seringkali menunjukkan aktivitas yang tidak optimal di korteks parietal. Ini menunjukkan bahwa pendekatan tradisional yang tidak mempertimbangkan aspek neurobiologis dapat menyebabkan kegagalan dalam mendeteksi dan mengatasi masalah belajar sejak dini. Dengan demikian, intervensi yang didasarkan pada pemahaman neurosains dapat menjadi lebih efektif dalam membantu anak-anak mengatasi kesulitan matematika.

Selain itu, kajian oleh Ansari dan Coch (2006) menunjukkan bahwa stimulasi yang tepat pada usia dini dapat meningkatkan konektivitas neural yang berhubungan dengan kemampuan matematika. Ansari dan Coch (2006) menemukan bahwa lingkungan belajar yang kaya dan interaktif dapat merangsang perkembangan neural yang lebih baik, sehingga anak-anak lebih siap untuk belajar konsep matematika yang kompleks. Hal ini menegaskan pentingnya merancang kurikulum yang tidak hanya berfokus pada konten, tetapi juga pada cara penyampaian yang dapat merangsang otak anak secara optimal.

Howard-Jones (2010) dalam bukunya "Introducing Neuroeducational Research" mengungkapkan bahwa integrasi temuan neurosains dalam pendidikan dapat membantu menciptakan metode pengajaran yang lebih efektif. Misalnya, penggunaan permainan edukatif yang melibatkan interaksi sosial dapat meningkatkan motivasi dan pemahaman konsep matematika. Permainan ini tidak hanya membuat belajar lebih menyenangkan, tetapi juga membantu mengembangkan keterampilan kognitif penting seperti pemecahan masalah dan pemikiran logis. Ini menunjukkan bahwa pendekatan yang mempertimbangkan cara kerja otak dapat membuat pembelajaran lebih efektif dan menyenangkan.

Lebih lanjut, penelitian oleh Raghubar et al. (2010) menyatakan bahwa kemampuan kerja memori sangat berhubungan dengan prestasi matematika. Mereka menemukan bahwa anak-anak dengan memori kerja yang lebih baik cenderung memiliki kemampuan matematika yang lebih tinggi. Ini menunjukkan bahwa strategi pembelajaran yang berfokus pada penguatan memori kerja dapat membantu meningkatkan prestasi matematika. Dengan demikian, kurikulum yang dirancang untuk melibatkan dan memperkuat memori kerja dapat memberikan keuntungan besar bagi siswa dalam belajar matematika.

Neurosains juga menyoroti pentingnya memperhatikan perbedaan individual dalam cara anak belajar matematika. Menurut Geary (2011), ada variasi signifikan dalam perkembangan neural antara anak-anak yang berbeda, yang mempengaruhi cara mereka memproses informasi matematika. Oleh karena itu, pendekatan satu ukuran untuk semua dalam pendidikan matematika tidak efektif. Kurikulum harus dirancang untuk menjadi fleksibel dan adaptif, memungkinkan penyesuaian berdasarkan kebutuhan dan kemampuan individual siswa. Hal ini dapat dicapai melalui penilaian berkelanjutan dan pendekatan pengajaran yang dipersonalisasi.

Pengembangan kurikulum matematika yang efektif harus didasarkan pada pemahaman yang mendalam tentang konektivitas otak anak dan bagaimana otak memproses informasi matematika. Dengan mengintegrasikan temuan-temuan neurosains ke dalam pendidikan, kita dapat menciptakan lingkungan belajar yang lebih efektif, adaptif, dan menyenangkan bagi anak-anak. Pendekatan ini tidak hanya akan meningkatkan hasil belajar matematika tetapi juga membantu anak-anak mengembangkan keterampilan kognitif penting yang akan berguna sepanjang hidup mereka. Mengabaikan dimensi ini berarti kehilangan kesempatan besar untuk memaksimalkan potensi kognitif anak sejak dini, yang pada akhirnya dapat berdampak pada kemampuan mereka dalam menguasai mata pelajaran yang lebih kompleks di masa depan.

Referensi: 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun