Mohon tunggu...
Medy Budun
Medy Budun Mohon Tunggu... Wiraswasta - Alumni Magister Administrasi Bisnis, Universitas Lambung Mangkurat

Penulis bebas. Putra asli Dayak Paser Tiong Talin. Aktif dalam forum diskusi terkait dengan komunitas Dayak dalam konteks seni budaya, hak masyarakat adat dan kearifan lokal.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Krisis Identitas Generasi Muda Paser Ancam Punahnya Bahasa Paser

9 Juli 2021   15:36 Diperbarui: 28 Juli 2021   09:15 1538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak Dayak Paser era 7o-an (Dokpri)

Bahasa adalah jati diri bangsa. Demikian yang diamanatkan dalam Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

Apa itu jadi diri bangsa? Dari laman Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa milik Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan bahwa jati diri dapat disebut juga identitas yang merupakan ciri khas yang menandai seseorang, sekelompok orang atau suatu bangsa. Oleh sebab itu bahasa pada dasarnya merupakan simbol jati diri si penuturnya. Demikian pula halnya dengan Bahasa Paser adalah merupakan simbol jadi diri orang Paser itu sendiri.

Di Indonesia, berdasarkan hasil penelitian Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bahwa jumlah bahasa daerah di Indonesia ada 652 bahasa daerah. Karena itu menempatkan Indonesia sebagai pemilik jumlah bahasa daerah terbanyak kedua didunia setelah Papua Nugini.

UNESCO membuat mapping bahasa daerah didunia dengan mengelompokkan dalam 6 kondisi, yaitu:

  • Safe (Aman): Bahasa diucapkan oleh semua generasi, ditularkan antar generasi dengan tidak terputus.
  • Vulnerable (Rentan): Kebanyakan anak berbicara bahasa tersebut, tetapi terbatas pada domain tertentu saja (misalnya hanya dirumah).
  • Definitely endangered (Pasti Terancam Punah): Anak-anak tidak lagi belajar bahasa tersebut sebagai bahasa ibu di rumah
  • Severely endangered (Sangat Terancam Punah): Bahasa dituturkan hanya oleh kakek-nenek dan generasi yang lebih tua. Sementara generasi orang tua mungkin memahaminya namun mereka tidak membicarakannya kepada anak-anak atau di antara generasi mereka sendiri.
  • Critically endangered (Kritis): Pembicara termuda adalah kakek-nenek dan lebih tua, dan mereka berbicara bahasa tersebut hanya sebagian dan jarang.
  • Extinct (Punah): Tidak ada lagi penuturnya

Dari data mapping @2021 UNESCO terdapat 43% dari +/- 6500 bahasa didunia dalam kondisi terancam punah, bahkan diantaranya 10 bahasa daerah di Indonesia yang sudah Punah, 30 bahasa daerah dalam kondisi Kritis, 19 bahasa daerah dalam kondisi Sangat Terancam Punah, 31 bahasa daerah dalam kondisi Pasti Terancam Punah, dan 57 bahasa daerah dalam kondisi Rentan. Sehingga total 147 bahasa daerah di Indonesia yang kondisinya rentan hingga sudah ada yang punah. Kondisi ini didominasi bahasa daerah di wilayah Indonesia bagian timur dan tengah termasuk Kalimantan.

Berdasarkan penelusuran penulis sendiri yang saat ini tinggal di kota Tanjung, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan terdapat satu bahasa daerah yang Terancam Punah di kabupaten ini yaitu bahasa Abal yang dituturkan oleh orang Dayak Abal atau orang Paser menyebut mereka sebagai Paser Aba yang mendiami sebagian wilayah Kecamatan Haruai. Penutur bahasa Paser Aba ini yang tersisa hanya generasi diatas orang tua saja namun itu pun sudah sangat jarang bisa ditemui karena rata-rata mereka justru menggunakan bahasa Banjar untuk berkomunikasi dalam lingkungan komunitas sendiri. Generasi mudanya sudah tidak menggunakan bahasa Paser Aba lagi bahkan mereka sudah meleburkan diri kedalam suku Banjar dan berbahasa Banjar.

Penulis sebagai asli orang Paser dari garis keturunan kedua orang tua merasa kawatir kondisi ini akan terjadi juga di Kabupaten Paser dan Penajam Paser Utara, kampung halaman penulis sendiri di Kalimantan Timur. Fenomena yang tampak dipermukaan saat ini menunjukkan tanda-tanda kondisi Bahasa Paser sudah masuk fase Rentan (Vulnerable), sebagian fase Pasti Terancam Punah (Definitely endangered) atau bahkan sebagian lagi pada fase Sangat Terancam Punah (Severely endanger).

Fakta ini justru kebalikannya dengan warga pendatang yang sudah berpuluh tahun menetap bahkan banyak yang lahir dan besar dikampung Paser masih mengenal dan fasih menggunakan bahasa daerah asal mereka. Tidak sedikit orang Paser justru mampu menggunakan bahasa daerah pendatang untuk berkomunikasi dengan mereka. Ini kondisi yang terbalik dengan yang penulis alami selama puluhan tahun bahkan lebih dari separuh umur merantau dikampung orang dan perjalanan ke beberapa daerah di Indonesia dan luar negeri dimana penduduk setempat lebih dominan pengaruhnya dibanding pendatang, bukan kembalikannya. 

Dibeberapa kantor pemerintahan di Paser, kita lebih sering mendengar orang berbicara bahasa Banjar, Bugis dan Jawa ketimbang bahasa Paser. Bukan maksud penulis untuk rasis akan tetapi bentuk keprihatinan, selain mungkin karena dikantor-kantor pemerintahan memang didominasi para pendatang, akan tetapi itu bukanlah masalah seperti contoh di Kalimantan Selatan penulis saksikan sendiri ada bermacam-macam etnis dikantor pemerintahan seperti Jawa, Batak, Bugis, Dayak dan sebagainya tapi mereka semua memakai bahasa Banjar.

Dibeberapa kampung penulis temukan generasi paling muda sudah tidak lagi tertarik menggunakan bahasa Paser sebagai bahasa komunikasi melainkan menggunakan bahasa Indonesia. Bahkan generasi orang tuanya sudah jarang menggunakan bahasa Paser dalam berkomunikasi dengan sesama angkatan generasinya sehingga yang tersisa generasi kakek - nenek atau diatasnya saja yang masih konsisten menggunakan bahasa Paser, itupun sebagian hanya terbatas di angkatan generasinya saja. Kepada generasi dibawahnya lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarana berkomunikasi.

Terlepas dari semua itu, menurut penulis ada indikasi krisis identitas dalam diri orang Paser khususnya generasi muda yang dapat mengancam punahnya Bahasa Paser. Alasannya mungkin karena beberapa faktor, diantaranya:

  • Malu atau kurang percaya diri dengan identitas sendiri.
  • Merasa lebih gaul ketika menggunakan bahasa daerah lain.
  • Ingin diterima dilingkungan pendatang yang dilihat mungkin lebih maju.
  • Penetrasi budaya dari luar Paser lebih dominan karena penetrasi budaya sendiri dari generasi sebelumnya kurang membumi.
  • Kurangnya campur tangan stakeholder di daerah dalam upaya pelestarian seni budaya setempat.

Fakta unik lainnya yang penulis temukan dikampung-kampung Paser dimana sebagian kosa kata yang digunakan dalam berkomunikasi mendapat serapan dari bahasa lain, diantaranya:

  • Rewang (bahasa Jawa)                                  = Sempolo Setampa (bahasa Paser)
  • Opa & Oma (bahasa Manado / Ambon)  = Itak & kakah (bahasa Paser)
  • Dato (bahasa Sanskerta)                              = Kakah (bahasa Paser)
  • Acil (bahasa Banjar)                                       = Menaq (bahasa Paser)
  • Paman (bahasa Banjar / Indonesia)        = Mamaq / Uda (bahasa Paser)
  • Bibi (bahasa Banjar / Indonesia)              = Menaq (bahasa Paser)
  • Julak (bahasa Banjar)                                    = Tuo (bahasa Paser)
  • Iyeq (bahasa Bugis)                                        = Iyoq / O’o (bahasa Paser)

Berdasarkan laporan penelitian Fakultas Keguruan Unversitas Lambung Mangkurat dalam proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Kalimantan 1977/1978 dalam rangka inventarisir bahasa daerah, bahwa di Paser saat itu ada bermacam-macam dialek bahasa yang saling berbeda namun karena konteks nya Bahasa maka yang penulis paparkan disini hanya bagian dari dialek kerumpunan Bahasa Paser saja berdasarkan hasil diskusi dengan para pemerhati seni budaya dan bahasa Paser, sebagai berikut:

  • Dialek Adang
  • Dialek Apar / Aper
  • Dialek Balik
  • Dialek Keteban
  • Dialek Labai
  • Dialek Luangan
  • Dialek Mayang
  • Dialek Migi
  • Dialek Muluy
  • Dialek Nyawo
  • Dialek Pematang
  • Dialek Pembesi (Leburan)
  • Dialek Pemuken / Pamukan
  • Dialek Puti Baka
  • Dialek Tiong Talin (Semunte)
  • Dialek Saing Puak
  • Dialek Saing Bewai
  • Dialek Telake
  • Dialek Tikas
  • Dialek Teberong

Credit point buat rekan-rekan diskusi diantaranya akun Facebook @AjiPaser BenangBulaw SongBuen, @Nasri Doy, @Asy Syifa Safrudin, @Abdullah Alfaruq, @Yurni Sadariah, @Dard Dard Dard, @Hayub Ayub, @Bujok Danan, dan @Mikael Ibun atas kontribusinya terkait dengan jenis-jenis dialek Bahasa Paser tersebut.

Kembali ke substansi masalah, fenomena belakangan ini dialek tertentu menjadi lebih dominan sehingga dengan sendirinya akan menggerus keberagaman dialek tradisi budaya tempatan. Hal ini sering penulis temukan dalam beberapa komunikasi langsung dan komunikasi melalui media sosial termasuk dalam group-group diskusi di Whatsapp dan Facebook. Sepengetahuan penulis tidak ada bahasa persatuan dalam bahasa daerah khususnya untuk bahasa yang masih serumpun karena dialek akan menunjukan jati diri penuturnya berasal dari kampung mana. Bahasa Banjar misalnya ada dialek Banjar, Kandangan, Barabai, Tanjung, dan Kelua masing-masing punya ciri khas sehingga ketika penuturnya berucap akan langsung diketahui asal usul dan tradisi si penutur berasal dari mana. Mereka tidak ada bahasa Banjar persatuan. Demikian juga halnya bahasa Jawa dimana ada dialek Surabaya, Solo, Yogyakarta, Ngapak, Tengger dan sebagainya, masing-masing punya ciri khas sehingga ketika penuturnya berucap akan langsung diketahui asal usul dan tradisi si penutur berasal dari mana.

Penulis sendiri sebagai turunan Paser Adang dari garis ayah dan Paser Semunte dari garis ibu walaupun sebenarnya Adang dan Semunte itu masih dalam sub-rumpun yang sama namun ada ciri khas tersendiri. Melanjutkan paparan terkait dengan fenomena perubahan dialek tersebut diatas, saat ini orang-orang terdekat penulis sendiri mulai banyak bertutur dalam dialek Pematang baik dalam kosa kata maupun pengucapan dan intonasi suara, diantaranya:

  • Saya /Saku (Pematang)         = Akú (Adang / Semunte / Tiong Talin)
  • Dile (Pematang)                       = Ilé (Adang / Semunte / Tiong Talin)
  • Mite (Pematang)                      = Metí (Adang / Semunte / Tiong Talin)
  • Ede / Yede (Pematang)          = Ené (Adang / Semunte / Tiong Talin)
  • Dondom (Pematang)              = Seom (Adang / Semunte / Tiong Talin)
  • Tilo (Pematang)                        = Nongos (Adang / Semunte / Tiong Talin)
  • Boar (Pematang)                       = Siet (Adang / Semunte / Tiong Talin)
  • Antor (Pematang)                     = Ator (Adang / Semunte / Tiong Talin)
  • Ontus (Pematang)                     = Otus (Adang / Semunte / Tiong Talin)
  • Andek (Pematang)                    = Alek (Adang / Semunte / Tiong Talin)

Selain kekawatiran akan punahnya Bahasa Paser juga saat ini di internal sendiri penulis juga kawatir akan hilangnya aneka ragam dialek yang menjadi ciri khas secara turun temurun. Ada beberapa hal yang mungkin menjadi penyebabnya:

  • Kamus bahasa Paser yang dicetak dan dianjarkan sebagai materi Muatan Lokal di sekolah-sekolah hanya mengajarkan kosa kata dialek bahasa Paser Pematang. Akan lebih baik jika menambahkan penyebutan atau kosa kata dari dialek rumpun Paser lainnya. Misalnya (Indonesia – Paser): Tinggal – Tilo (dialek Pematang) / Nongos (dialek Adang / Semunte / Tiong Talin) sehingga dialek lain tetap terjaga dan terpelihara.
  • Malu atau kurang percaya diri dengan dialek sendiri.
  • Merasa lebih gaul ketika menggunakan dialek lain.
  • Penetrasi budaya dari generasi sebelumnya kurang membumi seiring semakin ditinggalkannya tradisi budaya leluhurnya.

Ada baiknya hal ini dapat dilakukan penelitian lebih lanjut sehingga ada solusi yang tepat demi menyelamatkan warisan budaya asli leluhur sebagai identitas daerah yang harusnya melekat pada masyarakat didalamnya yang kemudian menjadi identitas kolektif. Stakeholder memiliki tanggung jawab untuk segera mengambil langkah-langkah penyelamatan Bahasa Paser sekaligus penyelamatan keberagaman dialek nya diantaranya penulis usulkan:

  • Menerbitkan satu kamus bahasa Paser dengan bermacam dialek didalamnya.
  • Menambahkan kurikulum Muatan Lokal untuk pengenalan bahasa Paser disetiap sekolah-sekolah.
  • Melakukan pendekatan kepada generasi muda sebagai sasaran utama dalam memperkenalkan identitas daerah hal ini karena generasi muda memiliki jumlah terbesar dalam demografi didaerah dan kelompok yang paling banyak terpapar globalisasi sehingga mereka menjadi kelompok yang paling rentan terhadap ancaman lunturnya identitas daerah.

Lembaga Konservasi Bahasa didunia melaporkan bahwa terdapat 9 bahasa daerah yang punah setiap tahun atau 1 bahasa daerah punah dalam kurun waktu 40 hari. Saat ini sudah 573 bahasa yang sudah punah, sedangkan masih ada 43% (2500 bahasa daerah) dari total seluruh dunia dalam kondisi terancam punah. Belajar dari kasus Dayak Abal atau Paser Aba di Tabalong, Kalimantan Selatan disebutkan oleh beberapa sumber bahwa kondisinya sudah kritis dan hampir-hampir punah. Penulis sendiri sudah 27 tahun menetap di Kabupaten ini belum pernah mendengar orang berbahasa bahasa Paser Aba, hanya mengetahui seseorang dari keturunan Dayak Abal tapi tidak pernah mendengar pengakuan yang bersangkutan sebagai orang Dayak Abal.

Lalu bagaimana dengan nasib Bahasa Paser dan orang Paser, apakah tetap kita biarkan jati diri ini tetap masuk dalam antrian menuju kepunahan?

Tabe!

(Medy Budun, M.A.B.)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun