Oleh: Nika Halida HashinaÂ
Menurut Cambridge Dictionary, opini adalah pemikiran atau keyakinan tentang sesuatu atau seseorang.
Dapat dikatakan bahwa opini merupakan pemikiran individu atau sekelompok orang mengenai suatu hal yang belum diketahui faktanya.
Opini memiliki dua sisi yang berbeda tergantung pada penggunaannya. Jika digunakan untuk membangun narasi yang menggiring orang lain untuk memercayai kebohongan atau hoaks, jelas opini bisa berakibat fatal.
Hal ini dinyatakan sebagai bentuk komunikasi tidak bertanggung jawab.Â
Dalam hal ini untuk mempercayai seseorang baik yang diklaim sebagai fakta maupun opini, kita harus terus melakukan pengecekan kebenaran akan pendapat yang disampaikan.
Oleh karenanya, saat ini dikenal juga sebagai era post-truth yaitu ketika fakta-fakta tidak tampak lebih penting dibandingkan opini.Â
Menurut kamus Oxford, post-truth menunjukkan keadaan di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding daya tarik emosional dan kepercayaan pribadi.
Terlebih di masa pandemi, saat kualitas hidup sebagian orang menurun akibat terhentinya kebebasan berutinitas, opini publik dalam berbagai aspek menjadi lebih banyak dipercaya dibanding fakta-fakta yang diungkapkan.Â
Masifnya penggunaan media sosial, terutama di Indonesia, juga mengakibatkan pewajaran post-truth ini terjadi. Padahal banyak kebohongan hanya untuk menarik simpati warganet.
Dalam siniar Obsesif, Winona Wijaya, membahas komunikasi ilmiah dan opini yang makin lama makin digandrungi untuk disaksikan. Pembahasan ini terdapat dalam episode bertajuk, "Komunikasi Ilmiah Vs. Opini, Samakah Pentingnya?"
Opini di Era Post-TruthÂ
Jika post-truth dipahami sebagai suatu bentuk baru ketidakjujuran dengan berbagai tujuan, maka masalah yang sebenarnya terjadi adalah dilanggarnya etika komunikasi.
Dalam kajian pada Jurnal Komunikasi Indonesia, post-truth di media sosial pada dasarnya terjadi karena rendahnya etika komunikasi. Para pengguna media sosial dikatakan cenderung memproduksi "fakta tak jujur" untuk meraih tujuan mereka sendiri, dan hanya peduli pada narasi yang ingin mereka bangun.
Akibatnya, kebenaran fakta menjadi kurang relevan. hal inilah yang mendasari banyaknya hoaks beredar di media sosial. Ada banyak bentuk hoaks yang beredar, baik tulisan maupun kombinasi tulisan dan gambar (keterangan). Menurut Kominfo, hoaks merupakan berbagai informasi atau palsu yang beredar di lini masa.
Maka dari itu, untuk membentengi diri dari berbagai informasi yang keliru, berpikir kritis di masa ini sangatlah dibutuhkan. Akan tetapi, mengingat banyaknya perspektif dari sumber yang berbeda-beda, perlu juga kita pahami apakah yang kita pikirkan benar-benar tepat.
Dalam hal opini, beberapa pendapat mengatakan berargumen tidak juga tepat. Terkadang  Mengatakan sesuatu sebagai fakta tidak akan serta-merta mengubah keyakinan orang yang tidak sependapat dengan kita.
Opini yang baik biasanya diiringi dengan fakta dan persuasi argumen yang baik. Berbeda dengan hoaks, opini tidak dapat dikatakan 100 persen benar ataupun salah.
Opini yang baik justru akan mendukung fakta. Hal ini misalnya merujuk pada penjelasan mengenai konsekuensi suatu hal yang telah terbukti secara sains. Penggambaran melalui opini ini dapat membantu komunikasi ilmiah menjadi lebih mudah dipahami semua kalangan.
Opini memang berlandaskan kepercayaan masing-masing individu, namun tidak menunjukkan atau menyengajakan sesat pikir yang dapat memengaruhi pemikiran orang lain.
Maka dari itu, apabila kita membaca opini, yang kita ketahui kebenarannya belum terbukti, ada baiknya untuk membandingkan beberapa di antaranya. Tujuannya agar kita mendapatkan pemahaman dari sudut pandang lainnya dan terbuka dengan kritik. Begitu pula jika kita ingin beropini, pikirkan matang-matang apa yang ingin disampaikan di media sosial ataupun platform lainnya.
Lebih baik untuk mencari referensi dari penelitian-penelitian terdahulu terlebih dahulu. Jangan pernah asal berpendapat, karena hal ini dapat membahayakan baik diri sendiri maupun orang lain.
Misalnya saja, sesat pikir perihal penanganan penyakit tertentu. Jika kita beropini hanya berdasarkan pada budaya lisan yang pernah kita dengar, tentu jika salah hal itu akan menyakiti orang lain bahkan membuat orang lain meregang nyawa.
Oleh karena itu, kita harus bijak dalam menerima informasi di era serba digital ini. Baiknya, lakukan selalu pengecekan dari informasi yang kita terima. Hal ini bertujuan agar kita bisa cenderung terus berpihak ke kebenaran.
Simak penjelasan lebih lanjut Winona Wijaya tentang "Komunikasi Ilmiah Vs. Opini, Samakah Pentingnya?" dalam siniar Obsesif, dan ikuti terus siniarnya agar kamu bisa terinfo tiap ada perkembangan zaman dan career preparation.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H