Oleh: Fauzi Ramadhan dan Ikko Anata
SETIAP hubungan memiliki pasang-surutnya masing-masing. Kita tidak dapat berekspektasi bahwa hubungan akan selalu mengalami masa bahagia.
Meskipun dirimu atau pasanganmu memiliki sifat yang loyal alias setia, bukan berarti pasang-surut tersebut tidak dapat terhindarkan. Sebab, sesungguhnya, menurut Roxy Zarrabi, seorang psikolog klinis dengan spesialis masalah pasangan, tidak ada hubungan yang kebal terhadap hal ini.
Namun, apakah situasi ini lantas menjadi akhir dari hubungan yang dijalani? Terlebih, bukankah sikap loyal dapat menjadi solusi untuk langgengnya sebuah hubungan?
Bersama dr. Dharmawan Ardi Purnama, seorang Psikiater dari FKUI dan Doktor Filsafat dari STF Driyarkara, kita akan diajak untuk menyelami situasi ini sehingga dapat menemukan solusinya dalam episode siniar (podcast) Anyaman Jiwa bertajuk “Kenapa Loyalitas Itu Membosankan, Ya?” di Spotify.
Saat pertama kali menjalani hubungan, dilansir dari Verywell Mind, kita akan disambut dengan luapan emosi yang intens dan penuh gairah. Rasa cinta dan sayang terasa terus menggebu-gebu, bahkan dunia seakan-akan hanya milik berdua.
Namun, luapan ini secara berangsur-angsur akan berkurang seiring waktu. Tidak terkecuali dialami oleh pasangan-pasangan yang bersifat setia.
Jika tidak ditangani bersama dengan baik, hubungan akan terasa membosankan dan berpotensi mengalami kerusakan.
Lantas, agar dapat memahami situasi ini dengan baik, menurut Roxy Zarrabi dari Psychology Today, alangkah baiknya kita mengetahui faktor-faktor yang menjadi alasan mengapa hubungan dapat mengalami hal ini.
1. Proses Alami dari Otak
Sonja Lyubomirsky dalam Oxford Handbook of Stress, Health, and Coping mengatakan bahwa otak bertanggung jawab dalam memengaruhi tingkat kebahagiaan yang kita miliki.
Misalnya ketika kita mengalami suatu pengalaman atau perubahan yang menyenangkan seperti pertama kali menjalani hubungan. Walaupun sangat menyenangkan, tetapi perasaan ini secara natural akan berangsur-angsur surut.
Sebab, otak akan mengembalikan rasa senang ke garis dasar, yaitu posisi ketika kita tidak lagi merasakan kesenangan itu atau stabil.
Kemudian, karena sudah pernah mengalami kesenangan tersebut, muncul kecenderungan meremehkan bahkan mengabaikan sesuatu, contohnya hubungan.
Meskipun demikian, bukan berarti kita menerimanya begitu saja. Kita masih bisa mengatasinya agar kecenderungan ini tidak menimbulkan keretakan hubungan. Roxy menyarankan untuk berpikir kembali tentang betapa bahagianya hubungan yang sedang dijalani. Kita bisa mulai dengan bertanya, “Bagaimana hidupku jika tidak bertemu dengannya?” atau “Adakah alasanku untuk bersyukur dari hubungan ini?”.
Intinya, pertanyaan-pertanyaan ini berusaha memantik kita agar bisa menciptakan perspektif baru dari hubungan dan melawan kecenderungan otak.
2. Terbiasa dengan Hubungan yang Memiliki Pasang Surut Intens
Banyak orang yang dulunya menjalani hubungan dengan pasang surut intens atau tidak stabil. Menurut Roxy, pengalaman ini membuat mereka jauh lebih sedikit mengalami kecemasan dibanding yang belum.
Akibatnya, ketika menjalani hubungan stabil, muncul perasaan yang cenderung membosankan.
Lagi-lagi, Roxy menyarankan untuk berpikir kembali sehingga keretakan hubungan tidak terjadi akibat faktor ini. Caranya adalah dengan mengingatkan diri mengapa hubungan sebelumnya tidak berhasil.
Dengan demikian, akan muncul perspektif baru yang dapat mengatasi faktor ini.
3. Kurangnya Kebaruan
Pada tahap awal hubungan, pasangan acap kali mencoba aktivitas baru yang menyenangkan. Namun, seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, situasi ini akan berangsur-angsur mereda menjadi stabil.
Bagaimanapun juga, otak kita memang dirancang untuk memperhatikan rangsangan baru.
Oleh karena itu, perlu adanya rencana mencoba aktivitas-aktivitas baru bersama. Misalnya, mengunjungi tempat baru, memasak makanan yang belum pernah dicoba, dan lain sebagainya.
4. Minimnya Keintiman
Kesetiaan bukan satu-satunya kunci utama dalam langgeng dan berlangsungnya suatu hubungan. Keintiman juga memerankan peran penting sehingga hubungan tidak terasa datar, tetap bisa menyenangkan, dan terbangun antisipasi dari satu sama lain.
Sama halnya dengan kebahagiaan, keintiman juga lama-lama akan mereda dengan sendirinya. Oleh karena itu, perlu adanya cara agar keintiman setidaknya dapat ditingkatkan kembali.
Roxy menyarankan untuk mempertimbangkan waktu luang bersama, terlepas dari kesibukan-kesibukan yang ada.
“Ingatlah bahwa intim jauh lebih dari sekadar seks, tetapi juga bisa lewat obrolan empat mata,” ucapnya. Ia memisalkan topik-topik yang bisa dibahas, seperti fantasi, keinginan, dan lain sebagainya.
5. Bahasa Cinta yang Berbeda
Bahasa cinta adalah cara yang anggota pasangan lakukan untuk dapat mengekspresikan cinta ke pasangan. Ada yang dengan tindakan pelayanan, memberikan hadiah, waktu berkualitas, dan lain sebagainya.
Jika salah satu pasangan memiliki bahasa cinta yang berbeda, rasa bosan cenderung akan muncul.
Meskipun begitu, bukan berarti kita tidak bisa mempelajari bahasa cinta pasangan lainnya. Dengan demikian, kita dapat lebih memahami mereka sehingga hubungan tetap berjalan dengan semestinya.
Masih ada lagi faktor-faktor mengapa hubungan dapat menjadi membosankan, meskipun kamu dan pasanganmu termasuk setia. Coba dengarkan lebih lengkapnya dalam siniar Anyaman Jiwa berjudul “Kenapa Loyalitas Itu Membosankan, Ya?” di Spotify.
Selain berbicara cara-cara menyelesaikan masalah, siniar ini juga akan memberikan tips-tips dan perspektif tentang kesehatan mental lainnya.
Ikuti juga siniarnya yang tayang setiap hari Rabu dan Jumat di Spotify atau akses melalui tautan berikut dik.si/aj_loyalitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H