Hal ini dapat didasari pada ketakutan yang berpotensi membuat pasangan---atau calon pasangannya---meninggalkannya.
Intensitas kekhawatiran yang tidak terkendali ini dapat berakibat buruk pada kedua belah pihak, baik secara mental maupun fisik. Terlebih, jika terjadi tindak kekerasan.
Beberapa Ciri Perbedaan Cinta yang Tulus dan Obsesi
Perlu diingat bahwa kunci dalam menjalani hubungan salah satunya adalah perasaan nyaman dan aman.
Jika pasanganmu sulit untuk memberikan keduanya, maka perlu direnungkan kembali apakah itu cinta atau obsesi. Agar tak keliru, berikut adalah ciri yang membedakan cinta dan obsesi.
- Cinta tidak akan menuntut dan menjunjung kompromi/negosiasi untuk menghindari atau mengatasi masalah. Namun, obsesi menuntut untuk tunduk pada tuntutan pasangannya.
- Cinta akan memprioritaskan kesejahteraan pasangannya. Namun, orang obsesif secara impulsif bisa melakukan hal yang menyakiti pasangan ketika marah.
- Cinta akan selalu menerima kekurangan pasangan dan menghargai keputusannya. Namun, orang obsesif biasanya menolak untuk menerima kekurangan apa pun.
- Obsesif akan membuat sangat sulit bagi seseorang untuk melepaskan pasangannya. Kalaupun berpisah, orang obsesif akan menolak untuk menerima bahwa hubungan tersebut telah berakhir.
- Pada kasus mereka yang belum menjalin hubungan, orang obsesif akan sangat gigih untuk berusaha menjalin hubungan dengan cara yang tidak nyaman.
Mengatasi Perilaku Obsesif Orang Lain
Kita memang tidak akan pernah bisa mengendalikan perilaku dan pola pikir orang lain. Namun, perlu diketahui kalau kita juga tidak bisa berdiam diri dan membiarkan orang yang terindikasi memiliki sifat ini. Hal ini bisa mengganggu dan membahayakan orang lain jika ia tidak dibantu.
Dalam mengatasi orang-orang obsesif, langkah pertama yang harus kita lakukan adalah mengevaluasi apakah benar orang itu memiliki sifat obsesi yang lebih dominan dibanding perasaan cintanya. Hal ini dapat dilihat dari perilakunya pada waktu tertentu, caranya menyelesaikan masalah, hingga perkataannya.
Komunikasi yang baik menjadi hal penting dalam hal ini. Kita dapat mengajaknya untuk bicara empat mata agar bisa mendengarkan ceritanya, bertanya, dan sebagainya. Setelah yakin bahwa ada kecenderungan obsesif, coba untuk bertanya apakah orang itu menyadarinya.
Ketika ia sudah menyadarinya dan mau berubah, kita dapat menyarankannya untuk menemui profesional. Namun, pada kasus obsesif yang intens, hal yang harus kita pikirkan adalah korban atau diri sendiri jika itu pasangan kita.
Beberapa orang akan sulit mengubah dirinya, namun kita juga tidak bisa terus menutup mata bahwa ada yang tersakiti. Kalau itu pasangan kita, lebih baik tanya pada diri mengenai apa yang membuat kita bertahan dan sampai kapankah rasa sakit itu harus ditahan?