Eko melihat bahwa seniman muda memiliki ruang tersendiri untuk bersinar, seperti misalnya melalui media sosial. Mereka dapat meraih popularitas melalui medium tersebut, kemudian turut mengolah sasikomersialisasi karyanya sendiri melalui merchandise atau bentuk-bentuk lainnya.
Bagi Eko, ini adalah sebuah proses dalam sejarah kesenian. Ke depannya, akan ada perkembangan hingga benturan-benturan yang menarik untuk disaksikan.
Eko menuturkan, perubahan ini tidak merugikan posisinya. Ia justru merasa diuntungkan karena semakin banyak orang mengenali karyanya pula melalui situs berjejaring.
"Ini masih proses, kita mengalaminya dan menyenangkan. Saya juga enggak dirugikan dengan situasi ini, malah diuntungkan karena makin meluas," ujar Eko.
"Saya lihat banyak potensi-potensi anak muda dengan karyanya. Menarik," imbuhnya.
Seniman asal Yogyakarta ini juga memperingati para seniman muda. Ketika semakin banyak orang yang menaruh perhatian pada pribadi dan karyanya---misal, dengan jumlah pengikut di laman media sosial yang semakin banyak---maka mereka akan semakin leluasa dalam berkarya dan mendapat sokongan dari sana.
Namun, tentu hal ini juga akan menjadi bumerang bagi mereka karena akan ada semakin banyak mata yang akan menyorotinya. "Popularitas itu bisa menjadi kendaraanmu, tapi bisa jadi bumerangmu," tutur Eko.
Cerita ini dikutip dari episode ke-9 di season dua siniar BEGINUÂ yang bertajuk "Eko Nugroho, Seni Jalanan, Spons, dan Filsafat Ember Bocor". Selengkapnya, Eko berbincang dengan Wisnu Nugroho, pemimpin redaksi Kompas.com, mengenai bagaimana seni dan kesenian tumbuh, sikap hidup menjadi seperti spons, hingga keseimbangan antara ego sebagai seniman dengan kerja-kerja tim dari banyak kecakapan lain.
Dengarkan BEGINU di Spotify, Google Podcast, dan platform pemutar audio favorit Anda lainnya. Klik ikon di bawah untuk mendengarkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H