Mohon tunggu...
Medio Podcast Network
Medio Podcast Network Mohon Tunggu... Lainnya - Medio by KG Media

Medio, sebagai bagian dari KG Radio Network yang merupakan jaringan KG Media, hadir memberikan nilai tambah bagi ranah edukasi melalui konten audio yang berkualitas, yang dapat didengarkan kapan pun dan di mana pun. Kami akan membahas lebih mendalam setiap episode dari channel siniar yang belum terbahas pada episode tersebut. Info dan kolaborasi: podcast@kgmedia.id

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Tetap Mawas Diri, Jangan-Jangan Kamu Adalah Pribadi yang 'Toxic'!

22 Januari 2022   16:05 Diperbarui: 16 Februari 2022   12:25 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pasangan toksik (Netflix)

Kata toxic (toksik) belakangan ramai disebut, terutama di media sosial maupun diskusi seputar psikologi. 

Penggunaan istilah ini sering kali dikaitkan dengan watak dan cara bersikap dalam hubungan antarteman, pasangan, anggota keluarga, atau kolega. Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan toksik?

Dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, toksik berarti racun, beracun, atau berkenaan dengan racun. Psikolog klinis Dra. Astrid Regian Sapiie menyebut, seseorang yang dianggap toksik ialah yang membuat orang lain merasa terpengaruhi dan tidak nyaman akibat perilaku, gaya, sikap, dan kebiasaannya.

Bentuk ketidaknyamanan yang dirasakan yaitu seperti terganggu, sedih atau kesal terus menerus, rendah diri, bersalah, dan lain-lain. Seseorang yang membawa watak atau perilaku toksik cenderung membuat orang lain ingin menghindari untuk bertemu, bercakap, bahkan berhubungan dengannya.

"Toksik itu kan racun. Nah, yang dimaksud dengan meracuni itu adalah perilaku atau gaya perilaku ya, atau sifat, watak tertentu yang bikin orang lain jadi akhirnya 'keracunan', ya. (Sehingga efeknya) sakit gitu, sedih, atau terpengaruh oleh apa yang dia ucapkan," ujar Astrid seperti yang dikutip dari episode "Jika Kita Sendiri Adalah Teman yang Toxic" pada podcast Anyaman Jiwa.

Tanpa disadari, sejatinya semua orang memiliki watak toksiknya masing-masing. Namun, bagaimana kita menyikapinya---menuruti sifat tersebut atau justru menghindarinya---adalah pilihan kita.

"Orang itu sifatnya banyak, tapi mungkin ada satu atau dua sifat tertentu yang bikin temannya itu tidak nyaman," terang Astrid.

Mengidentifikasi perilaku toksik pada orang lain umumnya akan lebih mudah dibanding pada diri sendiri. Lantas, bagaimana cara agar kita dapat mengetahui apakah kita toksik bagi orang lain?

Astrid menyarankan setiap orang untuk mengintrospeksi diri demi mengetahui apakah ia pribadi yang toksik bagi orang lain ataupun sebaliknya. Ia pun menyinggung soal teori sosial yang mempercayai bahwa cara orang lain memperlakukan diri kita adalah cermin dari bagaimana kita memperlakukan orang lain.

Dalam kasus kepribadian yang toksik, misalnya ketika merasa bahwa orang lain menjauhi kita atau bersikap berbeda di depan dan di belakang kita, maka mungkin itu adalah tanda bahwa ada yang salah pada diri kita. Lantas, kita dapat memastikannya.

"Jadi kita hanya bisa tahu dengan ngelihat reaksi-reaksi orang lain di sekitar kita. Nah, kemudian kalau kita mungkin ngerasa ada yang kurang beres, kita bisa tanya sama seseorang yang kita percaya, yang deket sama kita, yang juga mungkin bisa ngelihat perilaku kita," ucap Astrid.

Sebagian orang memiliki kemampuan untuk menyadari indikasi tertentu, seperti ketidaknyamanan orang lain ketika berinteraksi dengannya, yang mungkin adalah tanda bahwa ada hal yang salah pada dirinya. 

Sayangnya, banyak pula orang yang tidak memiliki sensitivitas atau kepekaan untuk menyadari hal seperti demikian. Oleh karena itu, opsi lain yang dapat dilakukan adalah dengan bertanya dan meminta pendapat kepada orang terdekat, seperti teman, pasangan, anggota keluarga, ataupun kolega.

Pilihlah sosok yang mengenal diri kita dengan baik. Pastikan bahwa ia dapat memberikan umpan balik sejujur dan seterbuka mungkin terkait watak dan perilaku kita.

Bukalah pembicaraan dengan menyampaikan keresahan dengan sejujur-jujurnya. Sebab, ketika ia tahu bahwa kita telah menyadari sesuatu yang janggal pada diri kita, ia akan lebih terbuka untuk menyampaikan pendapatnya.

Apapun yang orang tersebut sampaikan, terimalah umpan balik tersebut walau mungkin membuat kita merasa tersinggung atau tidak nyaman. Jika belum sepenuhnya percaya dengan jawaban tersebut, coba tanyakan hal yang sama kepada orang terdekat lainnya.

Setelah berhasil introspeksi, tugas selanjutnya adalah memonitor diri sendiri untuk melihat apakah kita berhasil melakukan perbaikan terhadap watak dan sikap toksik tersebut. Ingatlah bahwa ini merupakan upaya untuk menjadi sosok yang lebih baik untuk diri sendiri dan orang-orang di sekitar.

Dalam episode yang sama, Astrid juga membahas seputar toxic positivity sebagai salah satu bentuk ketoksikan seseorang yang uniknya berasal dari pikiran-pikiran positif dan niat yang baik. Apa itu toxic positivity dan apa saja efeknya bagi diri sendiri maupun orang lain?

Dapatkan jawaban selengkapnya dengan mengakses podcast (siniar) Anyaman Jiwa di Spotify!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun