Istilah "sakit gejala tifus" atau "baru gejala tifus" sudah banyak dikenal oleh masyarakat. Cukup sering pasien yang datang ke dokter mengatakan "dulu saya pernah gejala tifus...", "apakah ini gejala tifus?", atau "baru gejala tifus sih dok." Mungkin juga masih ada beberapa dokter yang mengatakan kepada pasiennya bahwa ibu/bapak menderita gejala tifus, atau baru gejala tifus.
Istilah "sakit gejala tifus" sering kita gunakan apabila menderita demam disertai satu atau lebih gejala lainnya: lemas, letih, rasa tidak enak badan, pegal-pegal, sakit kepala, menggigil mual dan muntah. Tidak jarang juga pasien yang hanya dengan keluhan lemas saja sudah menyangka dirinya sakit gejala tifus.
Penggunaan istilah sakit gejala tifus atau baru gejala tifus tidak tepat. Masyarakat dan juga tidak sedikit dokter telah mengeneralisir keluhan gejala-gejala yang saya sebutkan di atas dengan sakit gejala tifus. Meskipun di dunia kedokteran terdapat istilah typhoid-like illness, istilah tersebut tidak digunakan secara umum. Istilah tersebut digunakan untuk suatu penyakit dengan kumpulan gejala yang benar-benar menyerupai penyakit tifus. Tidaklah semudah kita mengatakan bahwa demam disertai keluhan lemas saja sudah sakit gejala tifus.
Di dunia kedokteran, apa yang kita kenal dengan sakit gejala tifus adalah sebetulnya disebut constitutional symptoms (gejala konstitusional) atau flu-like illness. Flu-like illness adalah kumpulan gejala yang terdiri dari satu atau lebih gejala berikut ini: demam, lemas, pegal-pegal, sakit kepala, menggigil, mual, dan muntah. Disebut dengan flu-like illness karena kumpulan gejala tersebut menyerupai gejala flu tapi tidak disebabkan oleh flu.
Gejala konstitusional merupakan gejala tidak spesifik yang menandakan kita tidak sehat. Gejala konstitusional dapat disebabkan oleh berbagai macam penyakit dan sebagian besar disebabkan penyakit infeksi. Penyakit infeksi yang dapat menimbulkan gejala konstitusional diantaranya infeksi saluran pernapasan, demam berdarah dengue, infeksi saluran kemih, infeksi saluran pencernaan, termasuk juga tifus, dan lain-lain. Gejala konstitusional juga dapat disebabkan penyakit imunologi dan keganasan.
Penggunaan istilah sakit gejala tifus yang tidak tepat mempunyai banyak implikasi. Diantaranya adalah pasien cenderung menganggap dirinya sakit tifus dan mengharapkan pengobatan dengan antibiotik. Padahal kondisi penyakit yang dialaminya belum tentu tifus dan belum tentu perlu antibiotik. Hal tersebut bisa jadi membuat pasien kurang perhatian dengan kemungkinan penyebab lainnya. Penggunaan istilah sakit gejala tifus di kalangan dokter juga bisa jadi menyebabkan penggunaan antibiotik yang tidak tepat. Setiap pasien dengan sakit gejala tifus diresepkan antibiotik. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat tersebut akan berujung pada meningkatnya resistensi (kekebalan) kuman terhadap antibiotik. Kecuali bila gejala yang dialami pasien khas tifoid dan didukung dengan pemeriksaan penunjang yang sensitivitas dan spesifitasnya tinggi, maka dapat dikatakan sakit tifoid (bukan sakit gejala tifoid) dan jelas perlu antibiotik.
Masihkah kita akan menggunakan "sakit gejala tifus" untuk kondisi flu-like illness? Kenapa tidak kita katakan saja "sakit tifus" bila benar tifus? Tentunya setelah melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang sesuai dengan guideline atau ilmu terkini. Dengan demikian dapat menghindari penggunaan antibiotik yang tidak tepat sehingga membantu mencegah resistensi kuman terhadap antibiotik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H