Pada Sabtu pagi yang cerah, udara terasa berat di ruangan kecil kosan Kota Sejuk. Sebuah berita mendalam telah menyusup ke dalam kehidupan seorang pemuda bernama (sebut saja) Takeshi.
Dengan mata yang terpaku pada layar HP-nya, Takeshi terdiam, tak mampu memproses kabar yang baru saja ia baca.
"Penulis fiksi anime legendaris, Akira Toriyama, pencipta Dragon Ball, telah meninggal dunia." tulis salah satu judul berita.
Bagi Takeshi, Dragon Ball bukan hanya sekadar serial animasi biasa. Ia mengingat bagaimana 20 tahun yang lalu, di rumah tetangga di kampung kelahirannya, ia pertama kali terpesona oleh dunia Dragon Ball.
Kata "Kamehameha" yang terlontar dari bibir Goku membawa kesan mendalam bagi Takeshi, seperti sebuah mantra yang tak pernah hilang dari ingatannya. Membekas hingga hari ini.
Mengenang masa lalu yang penuh kenangan, Takeshi terhanyut dalam aliran nostalgia.
Takeshi teringat betapa ia dan teman-temannya selalu menyaksikan setiap episode Dragon Ball dengan penuh semangat.
Bagi Takeshi, dunia Dragon Ball bukan hanya sekadar fiksi, melainkan sebuah pelarian dari kesedihan dan kecemasan dalam kehidupan nyata masa kecilnya.
Namun, dengan kematian Toriyama, Takeshi merasa seolah-olah sebuah pintu telah tertutup.
Takeshi tak lagi bisa menantikan karya-karya baru sang maestro anime yang telah memberi inspirasi dalam hidupnya.
Merenung dalam keheningan, Takeshi terduduk di atas kasurnya, memandang figur Goku di layar HP-nya.