Mohon tunggu...
Fariz AR
Fariz AR Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jika RUU Pertembakauan Disahkan

25 Maret 2017   14:02 Diperbarui: 25 Maret 2017   14:19 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru-baru ini, melalui rapat terbatas, pemerintah memutuskan untuk tidak melanjutkan pembahasan RUU Pertembakauan. Dengan dikeluarkannya keputusan ini, seharusnya pembahasan RUU Pertembakauan sudah dihentikan secara total. Namun, di sisi lain DPR sepertinya masih ingin untuk meloloskan RUU ini. Padahal, ada banyak sekali pihak yang menentangnya, baik dari kalangan akademisi maupun masyarakat umum. Ada banyak alasan mengapa RUU ini ditentang. Selain karena ada beberapa pasal dalam RUU Pertembakauan yang sudah diatur dalam UU lain, jika RUU ini sampai disahkan, akan ada banyak sekali pihak yang dirugikan, termasuk pihak-pihak yang seharusnya malah diuntungkan. Beberapa dari dampak yang dapat ditimbulkan dari pengesahan RUU Pertembakauan adalah:

  • Pengendalian rokok melemah 

Sebenarnya, Indonesia sudah memiliki banyak aturan yang mengatur tentang pengendalian rokok, namun jika RUU Pertembakauan ini sampai disahkan, maka aturan-aturan tersebut akan dianulir oleh aturan yang baru. Sayangnya, banyak dari pasal-pasal yang terdapat dalam RUU Pertembakauan yang malah bersifat kontradiktif dengan aturan-aturan pengendalian tembakau yang sudah ada. 

Misalnya, dalam Permenkes No. 28 Tahun 2013 Tentang Pencantuman Peringatan Kesehatan dan Informasi Kesehatan pada Kemasan Produk Tembakau, gambar-gambar peringatan pada bungkus rokok seharusnya mendapat porsi 40% dari seluruh luas permukaan pada sisi depan dan belakang kemasan, namun pada RUU Pertembakauan pasal 50 ayat (2) disebutkan bahwa peringatan kesehatan "ditulis dengan huruf yang jelas, mudah dibaca, dan prooporsional." Ayat ini mengimplikasikan bahwa peringatan bahaya rokok pada kemasan dan iklan rokok hanya berupa tulisan saja yang jelas-jelas tidak efektif. 

Jika RUU ini disahkan, otomatis aturan pada Permenkes No. 28 Tahun 2013 akan dianulir oleh aturan pada RUU Pertembakauan yang secara hukum posisinya lebih tinggi. Hal ini sama saja dengan mengambil langkah mundur dalam pengendalian rokok di Indonesia.

  • Promosi rokok besar-besaran

Dengan melemahnya pengendalian rokok di Indonesia akibat banyaknya peraturan yang dianulir, industri rokok pastinya akan lebih berani dalam melakukan promosi untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Ditambah lagi dengan diwajibkannya Kawasan Tanpa Asap Rokok untuk menyediakan tempat khusus merokok, seperti yang tertera di pasal 54 RUU Pertembakauan. 

Selain itu, dalam RUU Pertembakauan tidak ada satupun pernyataan bahwa produk tembakau adalah zat adiktif, padahal jelas-jelas produk tembakau seperti rokok dapat menimbulkan kecanduan atau ketagihan. Yang lebih parah lagi, pada pasal 59 ayat (1), rokok kretek disebutkan bahwa "Pemerintah dan Pemerintah Daerah melestarikan keberadan Kretek yang merupakan salah satu warisan budaya Indonesia." Karena status produk tembakau dalam RUU ini yang merupakan salah satu warisan budaya Indonesia dan bukan merupakan zat adiktif, rokok dapat dijual secara bebas untuk kalangan masyarakat luas, malah harus dilestarikan. Dengan meningkatnya potensi penjualan rokok, para pelaku industri rokok akan mulai berlomba-lomba untuk mempromosikan produknya, baik melalui iklan, sponsor, dan cara-cara lainnya.

  • Ancaman terhadap kesejahteraan buruh pabrik rokok dan petani tembakau

Dengan meningkatkan penjualan rokok, seharusnya buruh pabrik rokok dan petani tembakau diuntungkan kan? SALAH BESAR. Dari keuntungan milyaran rupiah yang diraup oleh industri rokok di Indonesia, para buruh dan petani hanya mendapat sekelumit saja dalam bentuk gaji dan uang penjualan tembakau. Hal ini disebabkan karena dalam penjualan tembakau dari petani ke industri rokok digunakan sistem oligopsoni, dimana perusahaan industri rokoklah yang menentukan harga dari tembakau yang dijual petani, sedangkan petani tembakau tidak memiliki posisi tawar sama sekali.

Harga yang dipatok oleh industri rokok pun bukanlah harga yang adil dan pantas, di Kabupaten Bondowoso saja harga tembakau per kilogramnya bisa dipatok sampai serendah Rp15.000,00/kg. Ditambah lagi dengan tidak adanya pasal yang mengatur mengenai mekanisasi industri rokok Indonesia, yang menggantikan peran buruh pabrik dalam industri rokok. Kelihatannya memang biasa saja, namun pada tahun 2014, 4900 buruh pabrik Sampoerna dan 4000 buruh pabrik Gudang Garam kehilangan pekerjaan karena mekanisasi industri rokok ini.

  • Meningkatnya jumlah generasi muda perokok

Dengan meningkatnya promosi rokok akibat melemahnya pengendalian, jumlah orang-orang yang merokok akan meningkat tajam. Ditambah lagi dengan jumlah rokok yang diproduksi setiap tahunnya, yang bisa mencapai miliaran batang rokok. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah dari banyaknya iklan rokok yang ada sekarang, sebagian besar ditujukan untuk menjerat generasi muda Indonesia untuk menjadi perokok pemula. Jika dilihat dari sudut pandang pengusaha rokok, hal ini sangat menguntungkan karena generasi muda adalah pangsa pasar potensial industri rokok. 

Sifat adiktif rokok memastikan adanya suplai konsumen secara terus menerus. Tanpa pengesahan RUU Pertembakauan saja jumlah perokok di bawah umur sudah sangat mengkhawatirkan. Menurut Dr. dr. Tubagus Rachmat Sentika, Sp.A. prevalensi perokok usia 13-15 tahun mencapai 24.5% pada tahun 2007. Beberapa tahun sebelumnya, hasil survei Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa ada peningkatan jumlah perokok yang mulai merokok pada usia di bawah 19 tahun dari 69% pada tahun 2001 menjadi 78% pada tahun 2004. Ini semua terjadi bahkan sebelum RUU Pertembakauan menjadi kontroversi, bagaimana jika sampai disahkan?

  • Defisit anggaran kesehatan meningkat

Alasan utama yang biasa dikeluarkan oleh pendukung RUU Pertembakauan adalah besarnya keuntungan negara dari cukai rokok. Mereka mengatakan bahwa rokok adalah salah satu komoditas yang memberikan keuntungan terbesar untuk pendapatan negara, dan dengan pengesahan RUU Pertembakauan ini jumlah produksi rokok akan meningkat sehingga dapat meningkatkan pendapatan negara. Bahkan, keuntungan dari cukai rokok bisa mencapai Rp 90 triliun. 

Namun, jika dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar pengobatan penyakit yang disebabkan oleh rokok, yang besarnya bisa sampai 250 triliun, itu tidak seberapa, bahkan tidak sampai menutupi setengahnya. Ini berarti negara mengalami defisit anggaran sekitar 160 triliun hanya karena dampak negatif rokok bagi tubuh. Selain itu, cukai rokok yang tinggi berdampak pada kenaikan harga rokok. Hal ini berarti bahwa yang sebenarnya membayar cukai rokok yang besarnya sampai triliunan itu adalah mereka yang membeli rokok, bukan industri rokok.

  • Menurunnya kesejahteraan masyarakat

Ada yang mengatakan kalau yang mengkonsumsi rokok itu hanya golongan menengah ke atas saja. Hanya mereka yang kaya dan sanggup membayarnya. Namun, pada kenyataannya, konsumsi rokok terbesar justru dari golongan menengah ke bawah. Menurut data dari BPS, salah satu pemicu utama kemiskinan adalah konsumsi rokok. Rokok juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan penyakit tidak menular, seperti serangan jantung, stroke, dan diabetes, yang menurut data INA-CBG, total biaya pengobatannya sampai Januari 2016 melebihi Rp 12 triliun. 

Mayoritas penderita penyakit-penyakit tersebut adalah orang-orang dari kelas menengah ke bawah. Selain itu, menurut Presiden Joko Widodo, rokok menempati peringkat kedua dari konsumsi rumah tangga miskin, dengan jumlah biaya 3,2 kali lebih besar dari pengeluaran untuk telur dan susu dan 3,3 kali lebih besar dari biaya kesehatan. Dengan kata lain, masih banyak rakyat Indonesia yang miskin namun lebih mementingkan rokok daripada makanan. Pengesahan RUU Pertembakauan hanya akan memicu konsumen dari golongan menengah ke bawah untuk meningkatkan pengeluaran untuk membeli rokok, dan mengabaikan kebutuhan-kebutuhan yang lain yang sebenarnya lebih penting.

Sebagai penutup dari artikel ini, marilah kita renungkan beberapa pertanyaan berikut ini. Apakah kehancuran generasi muda merupakan harga yang pantas demi triliunan rupiah? Apakah pantas segelintir orang meraup keuntungan dari tangisan berjuta-juta orang lain yang kehilangan anggota keluarganya? Dan apakah pantas bagi kita untuk membiarkan semua hal ini terjadi?

Sumber

JK: Surpres soal RUU Pertembakauan ke DPR Berisi Penolakan 

RUU Pertembakauan Resmi Dihentikan

Pemerintah Menolak, DPR akan Bahas Ulang RUU Pertembakauan

Petisi: Selamatkan Anak Bangsa! Drop RUU Pertembakauan "Titipan" Industri Rokok

Permenkes No 28 Tahun 2013

RUU Pertembakauan Hasil Pleno Baleg 27 Juli 2016

Sistem Oligopsoni Rugikan Petani Tembakau

Permenperin No 63 Tahun 2015

Ini Alasan RUU Pertembakauan Tidak Layak Masuk Prolegnas 2015-2019

Pergerakan: Indonesia Darurat Rokok

Tolak RUU Pertembakauan!

Menyelamatkan Anak dari Bahaya Rokok

Menggugat RUU Pertembakauan

Muslihat RUU Pertembakauan

Industri Rokok Sponsori RUU Pertembakauan

Jokowi: Rumah Tangga Miskin Lebih Pilih Rokok daripada Makanan Bergizi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun