Panel IV Konferensi PdP 2012:
[caption id="attachment_228605" align="aligncenter" width="1024" caption="Panel IV Konferensi PdP 2012 dimoderatori oleh Justina Rostiawati, Wakil Tim Pengarah Program Pengetahuan dari Perempuan."][/caption] YOGYAKARTA – Tepat dua tahun yang lalu, 1 Desember 2012, Konferensi Pengetahuan dari Perempuan pertama kali dideklarasikan oleh Forum Pengetahuan dari Perempuan.Tema yang diangkat waktu itu adalah “Hukum dan Penghukuman”.
“Pada hari ini, kita menepati janji untuk berkumpul kembali, membincangkan dan berbagi pengalaman perempuan serta menjalinnya dalam satu usulan konsep yang dapat menjadi acuan atau referensi ketika bangsa ini memerlukan rujuan atau pijakan untuk mengembangkan kebijakan,” ujar Justina Rostiawati, Wakil Tim Pengarah Program Pengetahuan dari Perempuan.
Tahun ini, konferensi mengangkat tema “Perempuan dan Pemiskinan”.Format yang digunakan oleh panitia penyelenggara masih sama. Tema besar dibahas lebih mendalam di diskusi-diskusi panel dengan pembagian enam isu. Salah satunya, isu industrialisasi dan buruh. Pada isu ini, para panelis membahas berbagai persoalan yang dihadapi perempuan buruh, relasi gender dengan laki-laki dan penguasa, hingga kebijakan dan praktik industrialisasi yang merentankan perempuan khususnya, dan masyarakat kelas bawah pada umumnya.
Senin (03/12) pukul 13.00 WIB, diskusi panel ‘Industrialisasi dan Buruh’ mulai berjalan. Berada di Ruang Wanagama, UC Hotel UGM, diskusi dimoderatori oleh Justina. Ada empat orang panelis yang mempresentasikan makalahnya.
Pertama, Edwin Hadiyan yang mengatakan saat ini Indonesia sudah memiliki beberapa kebijakan yang mengatur buruh, antara lain UUD 45 Pasal 27 ayat 1, Pasal 28 ayat 2, Konvensi ILO No. 100 tentang pengupahan yang sama antara laki-laki dan perempuan, serta Konvensi ILO No. 111 tentang diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan. Namun, dalam kenyataannya masih banyak problematika dan permasalahan yang terjadi pada buruh, terutama buruh perempuan.
Dalam penelitiannya, Edwin menemukan beberapa problematikaburuh perempuan, seperti ketimpangan upah. Buruh laki-laki biasanya dikenai upah lebih tinggi dibanding buruh perempuan. Hal ini karena penilaian, buruh laki-laki mempunyai tanggungan anak dan istri.Di lain sisi, buruh perempuan dinilai lebih penurut, kurang mempunyai pengetahuan tentang diskriminasi, serta lebih sederhana dalam unsur penggajian.
Problematika lainnya, adanya bentuk diskriminasi dan marjinalisasi perempuanyang disebabkan labelisasi negatif dan pengetahuan yang lemah tentang hukum. Terakhir, problem pelecehan seksual. Di akhir presentasinya, panelis dari Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah, Pondok Pesantren Suryalaya, Ciamis menawarkan resolusi, yakni memperjuangkan upah layak, memperjuangkan penghentian diskriminasi terhadap perempuan dan pelecehan seksual, serta dialog sosial.
Berbeda dengan panelis pertama yang meneliti buruh formal dan dalam konteks makro, panelis kedua melakukan penelitian terhadap pekerja informal. Ia melihat praktik Sanggan (pesanan untuk mengerjakan batik dari pengusaha besar) di Desa Gamer, Kota Pekalongan. Menurut Triana Sofiani, SH, MH, Dosen STAIN Pekalongan, Desa Gamer identik dengan buruh perempuan yang mempunyai keahlian batik tulis. Mereka juga ahli membuat pola dengan melakukan inovasi kreasi lokal.
Dengan menggunakan metode participation action research, Triana mengidentifikasi para pelaku marginalisasi terhadap buruh perempuan. Di antaranya, juragan batik, pelaku usaha yang menerapkan sistem makloon (juragan gaok), elit agama (yang mempunyai usaha batik), serta negara, dalam hal ini pemerintah kota. Pada akhirnya, mereka menyebabkan bentuk penindasan berlapis. Selain itu, pembagian kerja di industri batik Pekalongan juga terjadi feminism spesifikasi pekerjaan.
Panelis ketiga, Yeni Afrida juga mempresentasikan penelitiannyatentang buruh perempuan di sektor informal.Yeni meneliti perempuan perajin border di Kecamatan Canduang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Dia menitik beratkan pada proses perkembangan industrialisasi bordir serta implikasi dari industrialisasi. Beberapa implikasi industrialisasi tersebut, antara lain tercerabutnya pekerja perempuan pengrajin border, tidak terpenuhinya hirarki-hirarki kebutuhan hidup, terciptanya kelas-kelas proletar, serta kemiskinan.
Panelis terakhir, Haryo Ksatrio Utomo, Mahasiswa Magister Ilmu Politik FISIP UI. Dalam penelitian yang berjudul “Economic Exploitation dan Feminisme Kemiskinan: Studi Kasus Industri Rokok” dia mengemukakan buruh perempuan yang bekerja di industri rokok tidak mendapat tunjangan (proteksi) kesehatan. [] Sri Endah L – Tim Publikasi Konferensi PdP 2012.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H