"Sebanyak 700 pelajar asing dari Tokyo University of Social Welfare menghilang sejak April 2018." Tulis Japan Times beberapa hari lalu.Â
Meskipun tidak ditulis dengan jelas alasan dibalik 'menghilang' nya para pelajar asing ini, ini adalah modus yang lumayan sering kami dengar di sini. Bisa jadi dari awal memang mereka punya tujuan untuk bekerja di Jepang, tapi memakai kedok visa pelajar.Â
Setelah mereka mendapat visa ijin tinggal, mereka pun kabur dari kewajiban membayar uang sekolah, dan mencari pekerjaan di kota-kota kecil di Jepang yang biasanya sangat membutuhkan tenaga kerja.
Pelajar sendiri mempunyai jatah kerja paruh waktu sekitar 14 jam per minggu saat semester aktif, dan 28 jam per minggu saat musim libur. Namun biaya tuition fee yang tinggi menyebabkan mereka harus bekerja lebih panjang dan lama.Â
Jadi ada juga yang meskipun awalnya tidak berniat kabur, jadi ikutan teman-temannya karena biaya sekolah yang mengharuskan mereka lebih banyak bekerja daripada belajar.Â
Migran Indonesia pun ada yang demikian. Ada seseorang yang terdaftar di sekolah Bahasa Jepang yang bercerita pada saya, pada waktu di Indonesia broker nya meyakinkan bahwa belajar sambil kerja di Jepang gaji nya cukup untuk nyicil biaya kuliah, buat hidup dan menabung.Â
Kenyataannya tentunya berat sekali untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang stabil dan full time dengan kewajiban menghadiri kelas di pagi hari. Selain itu gaji yang di dapat jauh dari mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri. Ia sampai harus menunggak bayar sekolah hampir setahun dan ada niatan untuk kabur karena sudah ditagih terus oleh pihak sekolah.
Tapi selain modus sebagai pelajar sekolah bahasa, banyak sekali yang berniat bekerja tapi datang dengan visa kunjungan sementara alias turis. Â
Suatu hari saya mendapat pesan pendek dari teman:
"Ketemu orang Indonesia, lontang-lantung kebingungan di stasiun sudah lama tunggu orang yang jemput dia tapi ngga datang2. Katanya dijanjikan kerja, tapi visanya waktu aku cek, visa turis." Bunyi pesan itu.
Sebagian besar dari mereka ditipu oleh broker dari Indonesia yang menyaratkan biaya tinggi dengan iming-iming kerja di Jepang, menggunakan visa turis atau pelajar. Banyak yang tertipu karena percaya visa mereka nanti akan bisa diganti jadi visa kerja setelah di sini.Â
Padahal ngga jarang setibanya di Jepang mereka dibiarkan begitu saja. Seperti pesan yang saya terima di atas, beberapa kali saya dengar orang Indonesia kebingungan menunggu orang yang dikabarkan akan menjemputnya di stasiun tapi orang tersebut tidak kunjung datang, alias fiktif.
Karena mereka sudah membayar biaya yang sangat tinggi kepada broker tersebut, maka setibanya di Jepang mereka harus bisa bertahan untuk bisa mendapatkan uang untuk balik modal. Apapun dilakukan untuk bisa bekerja, mencari komunitas-komunitas yang mau menolong, sembari sembunyi-sembunyi dari kejaran petugas imigrasi dan polisi.
Masalahnya, Jepang sendiri juga sedang darurat kekurangan tenaga kerja sehingga migran tanpa dokumen pun seringnya bisa saja dapat pekerjaan di kota-kota kecil.Â
Memang bekerja di Jepang mempunyai image yang sangat positif terutama tentang: gaji tinggi dan teknologi canggih. Tapi bagaimana realitanya? Ini perlu disimak untuk yang berencana bekerja di Jepang lewat broker yang menjanjikan pekerjaan seperti di pabrik, konstruksi, perikanan ataupun pertanian.
1. Gaji Tinggi
Mimpi: mendapatkan gaji 20 juta per bulan, sehingga bisa menabung minimal 5 juta per bulan.
Realita: betul, gaji buruh dengan 8-10 jam bekerja per hari selama 5-6 hari kerja per minggu bisa berkisar 15-20 juta rupiah per bulan (full sebulan). Tapi mencari kerja full-time juga tidak mudah, apalagi jika status visa nya overstay atau ilegal. Â
Perusahaan-perusahaan Jepang akan dikenai sangsi sampai 1 juta yen (sekitar 130 juta rupiah) jika kedapatan memperkerjakan tenaga kerja tanpa visa yang valid.Â
Jangan lupa juga bahwa untuk mendapatkan pekerjaan full-time seperti di pabrik pun biasanya akan ada broker lagi, baik itu levelnya perusahaan atau perorangan. Broker yang levelnya perusahaan biasanya tidak bekerja by komisi, tapi dari memotong gaji pekerja hingga 20% per jam. Iya PER JAM.Â
Jadi misalnya dari pabriknya harusnya dapat 1000 yen, pekerja bisa hanya akan dapat 800 yen per jam, dan itu berlaku selama mereka bekerja di tempat tersebut.Â
Jika pekerja ingin lepas dari sistem brokerage ini maka pihak pabrik harus 'menebus' pekerja tersebut ke broker dengan jumlah uang yang besar. Iya inilah salah satu bentuk perbudakan modern. Belum lagi, eksploitasi dan diskriminasi terhadap pekerja asing juga bisa terjadi di Jepang.Â
Selain itu ekonomi Jepang sedang dalam kondisi yang tidak sehat juga. Per Oktober 2019, akan ada kenaikan pajak konsumsi dari 8% menjadi 10%. Harga-harga pun tidak bisa dibilang murah di sini. Di Jepang, barang yang lebih murah daripada di Indonesia hanya sandang, selain itu mahal.Â
2. Kerja dengan Teknologi Tinggi
Mimpi: Kerja dengan mesin, komputer, robot dan sistem canggih
Realita: yang harus dipahami sebelum pergi ke Jepang untuk bekerja adalah ingat "kenapa sampai Jepang membutuhkan tenaga kerja asing"? Karena tidak ada lagi orang Jepang usia produktif yang mau mengerjakan pekerjaan tersebut.Â
Artinya pekerjaan yang harus ditangani oleh buruh migran adalah pekerjaan kotor, manual, dan kasar...dimana jika mesin, komputer dan robot bisa melakukannya, migran tidak terlalu diperlukan. Jadi teknologi canggih dalam pekerjaan kasar seperti ini itu minim.Â
Pekerjaan yang banyak membutuhkan tenaga orang asing adalah pekerjaan dengan otot atau pekerjaan yang bau-bau, yang menjijikkan, berbahaya dan beresiko. Â Jika pun menggunakan mesin adalah mesin yang berbahaya, yang bisa membuat tangan terpotong, terbakar, tercabik dan bahkan meninggal. Banyak kejadiannya.
Jangan juga sampai jauh-jauh datang ke Jepang ngga tahunya dipekerjakan di zona berbahaya, seperti kisah pekerja migran Vietnam di artikel ini "Hati-hati Tergiur Tawaran Pelatihan atau Magang di Jepang". Padahal dia datang di Jepang resmi lewat program training pemerintah Jepang, tapi perusahaan Jepang yang menerima nya 'nakal' dan mempekerjakan dia di daerah beradiasi nuklir Fukushima, di luar dari kontrak resminya.Â
Nah, apalagi jika datang ke Jepang tidak melalui jalur resmi kan.
Pengalaman bekerja di luar negeri memang sangat menggoda dan sah-sah saja untuk dicoba saat ada kesempatan, apalagi masih muda. Tapi sebaiknya jangan sampai menjadi tenaga kerja tanpa dokumen yang valid/ ilegal/ overstay yang dikejar-kejar polisi dan imigrasi karena ketidakhati-hatian kita dalam menerima tawaran dari broker yang janjinya selangit, yang iklan-nya biasanya memakai gambar perkebunan dengan mesin-mesin canggih dan bersih.Â
Tidak ada salahnya untuk cek-ricek dan berpikir dua kali jika (1) mendapatkan tawaran bekerja dari perantara tak resmi, (2) disyaratkan harus membayar biaya tinggi untuk berangkat sementara visa yang diuruskan adalah visa kunjungan sementara (temporary visitor) atau pelajar sekolah Bahasa Jepang, (3) tidak ada bukti kepastian tempat kerja dan kejelasan rincian pekerjaan di Jepang secara resmi.
Hati-hati, ya.
Mutiara MeÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H