"Iya... kamu bisa ngga gantiin aku ngajar Bahasa Indonesia di Sloterdijk? Gajinya lumayan gede lho. Aku udah 5 tahun ngajar di situ, peserta didiknya baik banget. Jadi nanti kalau aku balik ke Indonesia, kamu aja yang gantiin gimana?" Terang Angela seraya tersenyum.
"Oh... " Azka tertegun. Lidahnya kaku...
Malu sekali ia kepada kesombongannya dan segala cemoohnya kepada Angela waktu itu. "Dan lihatlah Azka, kamu sekarang tidak lebih baik dari Angela di tahun ke-3 waktu itu. Angela yang kamu cemooh itu malah justru menawarkan rezeki buatmu." batinnya lirih pada dirinya sendiri.
Bulan berikutnya, April, Angela telah lulus dan pulang ke Indonesia dengan gelar PhD-nya, sementara Azka duduk di antara mahasiswa lain di ruangan diskusi dengan profesor dan seorang mahasiswa baru, Sarah, yang sedang memperkenalkan diri. Ia bercerita panjang lebar tentang riset dan prestasinya dengan sangat percaya diri.Â
Azka tersenyum kecut. Ia melihat bayangannya sendiri 3 tahun yang lalu. Di ruangan yang sama dan perasaan yang berbeda. Jauh berbeda. Hidup telah menempelengnya untuk mengajarkannya sesuatu yang sangat berharga: bahwa ia tahu bahwa ia tidak setahu itu.
***Â
Arogansi Diri
Pernahkan kita bertanya: Apa yang kita tahu? Seberapa tahu kita akan sesuatu? Apakah kita betul-betul tahu atau sedikit tahu? Sedikit itu seberapa? Berapa banyak yang tidak kita ketahui? Apakah kita bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini?Â
Ilmu dan semesta sangatlah luas yang bahkan kita tidak akan pernah sanggup melihat batasnya. Jadi semua pertanyaan itu mungkin tidak akan pernah bisa kita jawab dengan pasti.Â
Lalu kalau pengetahuan kita akan sesuatu saja tidak pasti, bagaimana kita bisa menjustifikasi sesuatu dengan pasti?
Apakah kemampuan Bahasa Inggris Angela lebih parah dari Azka? Apakah riset Angela semudah yang dipikirkan Azka? Kita tidak pernah tahu apa yang telah dialami orang lain dan perjuangannya hingga bisa sampai di titik persimpangan dengan kita.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!