Hari-hari pertama di kota kuecil itu saya ngga nyangka, kaget, risih dilihati dari ujung kaki ke ujung jilbab oleh hampir SEMUA orang yang melihat saya, baik dewasa maupun anak-anak. Mereka melihat tanpa berkedip, bahkan sambil mengendarai mobil mereka menengok sejadi-jadinya pada saya yang sedang berjalan.
Sering anak-anak yang awalnya lagi becanda dengan temannya atau orang tuanya, tiba-tiba terdiam, tertegun, termangu, tapi ngga terpesona, melihat saya berjalan melewati mereka. Saya biasanya tersenyum, dan dengan tingkat keramahan semaksimal mungkin menyapa, "konnichiwa". Eh mereka malah cemberut, mlengos dan malah sering yang pasang muka marah, untungnya ngga ada yang sampai nangis atau lari.
Oh ada, pernah seorang anak sedang main di dekat saya, dan setelah melihat saya, ia langsung berlari ke ibunya ketakutan. Oh no :'( ...Ada perasaan sedih dengan reaksi mereka. Saya ngga berbahaya kok. Saya juga manusia kok, ngga beda… bukan alien! Bukan juga hantu! Rasanya ingin bilang begitu...tapi yah dipahami saja dimana-mana menjadi berbeda dan minoritas itu tidak selalu mudah diterima kan.
Memang masih banyak orang Jepang yang tidak nyaman dengan 'internasionalisasi' dan keberadaan 'orang asing' dengan alasan mempertahankan tatanan sosial, kultur dan kemurnian ras, dan juga karena mereka hanya mengenal kami dan penampilan berjilbab dari frame pemberitaan TV. Namun faktanya, roda perekonomian negaranya hanya bisa tumbuh jika mereka membuka pintu untuk orang asing untuk datang dan tinggal, jadi hubungannya (seharusnya) mutual.
Tak kenal memang tak sayang. Tapi sudah kenal pun belum pasti jadi sayang. Tapi pasti akan ada momen di kota kecil ini dimana sapaan saya akan berbalas senyum dan canda.
Jangan kuatir jika anda berjilbab dan datang ke Jepang untuk pelesir saja ngga masalah karena di tempat-tempat umum atau destinasi wisata orang Jepang tidak akan mempermasalahkan dan sudah biasa akan tampilan orang asing yang bermacam-macam.Â
Beberapa tahun terakhir Jepang juga sudah lebih membuka diri terhadap pengunjung Muslim dengan tingginya angka devisa dari sektor pariwisata yang tak dipungkiri sangat diperlukan untuk Jepang menghadapi resesi ekonomi dengan menurunnya jumlah penduduk dan tenaga kerja.
07052017
dilengkapi  pada 11 Maret 2018
Mutiara me
Baca juga: Muslim Berkelana (Bag. 3): Branding Hijab Malaysia vs Indonesia