Nasi, karbohidrat pokok yang dinikmati hampir semua orang Indonesia dan Asia. Untuk orang Indonesia terutama, dikenal konsep "kalau belum makan nasi, berarti belum makan" sehingga makanan seperti roti, pizza, mie, sering disebut snack atau makanan yang 'tidak serius'. Yang serius adalah nasi lengkap dengan lauk dan sayur. Ini yang membuat banyak orang di belahan bumi lain merasa heran dengan kemampuan memakan nasi untuk orang Indonesia. Selain itu, pagi, siang, dan malam tetap makannya nasi.Â
Hal ini tentu berbeda dengan orang Eropa atau Amerika. Makan pagi untuk mereka biasanya lebih ringan, seperti roti dan buah, susu, teh atau kopi. Di Indonesia, makan pagi andalan adalah nasi goreng. Langsung dari pagi tancap karbo, yang sering membuat banyak orang mengantuk pada sekitar pukul 10 pagi. Ini tentunya kurang sehat karena kadar gula dalam tubuh kita akan melonjak. Namun, begitulah kebiasaan yang sudah mengakar. Saya sendiri tidak biasa makan besar pagi karena rasanya perut belum siap. Tapi siang dan malam memang lebih nampol makan nasi hehe.
Oleh karena itu, di restoran seperti McDonalds menu-menunya banyak yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat lokal, yaitu menu dengan nasi. Saat ke luar negeri, contoh ke Jepang, Eropa, dan Amerika, kita akan tahu bahwa McDonalds di sana tidak mempunyai menu nasi seperti di Indonesia. Â Â
Lalu bagaimana jika kita bepergian ke luar negeri dalam waktu lama? Kalau hanya berkunjung ala turis maksimal seminggu, tentu saja kita lebih suka mencoba makanan lokal, wisata kuliner. Ngga masalah lah kalau ngga ketemu nasi seminggu. Namun kalau lama, apalagi tinggal, maka dijamin kita akan rindu nasi.Â
Suatu waktu saya berkunjung selama hampir 3 minggu di Belanda. Sehari, dua hari, tiga hari sama tidak makan nasi, hanya roti dan sesekali pasta. Hari keempat saya melambaikan tangan ke kamera dan membeli beras ke toko Asia.
Namun di tempat saya tinggal, tidak ada rice-cooker dan mesin penanak ini tidak terlalu umum di dapur-dapur para Londo. Akhirnya waktu terasa kembali ke 20 tahun lalu, saat saya masih kueecil. Masak nasi di panci alias ngetim.Â
Memasak nasi tanpa rice-cooker bagi generasi milenium mungkin adalah salah satu kegiatan paling ancient yang pernah mereka tahu. Namun, saya bukan generasi milenium, jadi saya tahu. Tetap saja bukan hal yang mengasyikkan karena tidak bisa ditinggal. Saya harus menunggu dan mengaduk nasi agar tidak gosong.
Ada perasaan cemas kalau-kalau nasinya kurang matang, dasarnya gosong dan lengket, dan kecemasan-kecemasan lain yang jarang saya rasakan saat saya menekan tombol COOK pada mesin penanak nasi biasa. Beberapa menit kemudian nasi matang, mata saya berbinar. Oh, lama tak basuo!Â
Lebih dari makna nasi sebagai makanan pokok, di situ saya menemukan makna lain dari nasi saat digabungkan dengan mesin penanak sebagai suatu kesatuan, yaitu 'otoritas menanak nasi'. Artinya, tidak cukup dengan bisa memakan nasi, tetapi mempunyai akses dan otoritas untuk menyediakan nasi dalam kehidupan kita itu sudah menjadi kebutuhan yang memengaruhi physical well-being seseorang. Secara psikologis juga ada perasaan aman dan terjamin saat kita mempunyai akses terhadap nasi di mana pun kita berada, disamping juga untuk menjaga apa yang kita makan. Lauk mah gamoang. Terutama perasaan ini ada saat kita ke luar zona aman nasi ya... kalau kita belum pernah keluar dari zona tersebut niscaya akan terdengar lebay ini.
Akhirnya sejak saat itu, saya mulai mencari mesin penanak nasi yang kompak, mini, dan memang untuk traveling. Saya menemukan satu yang cukup terjangkau dan saya membelinya di Amazon. Saat akan pergi ke Swedia, saya berniat membawanya, namun saya menemukan masalah besar. Voltase tidak sesuai! Rice cooker itu bervoltasi 110v (untuk market Jepang) dan voltase di Eropa 230v. Oh NO! Kalau dipaksakan alat elektronik kita meledak, katanya.Â