Mohon tunggu...
Mutiara Me
Mutiara Me Mohon Tunggu... Mahasiswa - saya

Belajar nulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kenali 'Adultcentrism' di Sekitar Kita (2): Dalam Kehidupan Sehari-hari

14 Maret 2017   09:06 Diperbarui: 14 Maret 2017   20:01 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di suatu restoran di Jepang, seorang ayah meneriakki anaknya yang berusia sekitar 5 tahun "baka" (baca: bodoh) karena anaknya menumpahkan minuman dan merepotkan dirinya dan pegawai restoran. Tidak cukup hanya itu, ia pun terus mengomel sambil mengelap meja. Tidak hanya itu, dia menatap tajam dan penuh kebencian pada anak itu sambil terus mengomel, yang menunjukkan bahwa dia sudah merepotkan banyak orang. Saat saya mengetik ini dan mengingat kejadian itu saya masih bisa merasakan trenyuh dan marah terhadap ayah itu. 

Anak usia 5 tahun mana bisa menjawab dan melawan saat ayahnya ngomel ga keruan gitu? Dia hanya akan bisa mengingat itu sepanjang hidupnya bahwa ia adalah anak yang bodoh dan menyusahkan orang lain. Ia bisa tumbuh menjadi orang yang tidak pede dan cenderung insecure, sepanjang hidupnya. Saat ayahnya itu sudah lupa, anak ini akan hidup terus dalam bayang-bayang kekerasan verbal dan non-verbal yang dia alami. Kalau di luar rumah saja ayahnya bentak-bentak seperti itu, bagaimana di rumah ya. Sementara ibunya yang menggendong adiknya, seperti menyerahkan ke suaminya untuk memarahi anaknya itu. Ah sudah semakin trenyuh saya mengingat kejadian ini. Anak-anak mungkin memang tidak sehati-hati orang dewasa saat memegang gelas atau melihat sekitar, jadi kadang ia tidak sengaja menginjak ini itu. Saat mereka melihat sesuatu mereka bereksperimen, mencoba dan gagal, mencoba dan tidak sengaja merusak, dan itu sangat wajar. Orang dewasa pun sebelum jadi dewasa pasti dulunya anak-anak kan? 

Coba kita bayangkan jika anda meneriaki saya bodoh, maka urusannya tidak hanya stop sampai situ, pasti saya akan bertanya, bereaksi. Namun anak-anak? mereka bisanya diam, atau menangis, rasa dalam hatinya sama seperti manusia pada umumnya jika diteriaki sesuatu yang negatif. Saat manusia dewasa meneriaki anak dengan ujaran negatif sering mereka menganggap "ah anak-anak bisa apa"...inilah salah satu tindakan semena-mena, adultcentric, kita terhadap mereka. Karena kita menganggap mereka lemah baik secara fisik ataupun non-fisik, sering kita bertindak seolah yang paling benar tanpa mau memahami dan mendengarkan mereka.

Tahukah kita, masa anak-anak adalah masa yang paling diingat. Mereka ingat sekali apa yang terjadi meski saat mereka masih berumur 4-5 tahun. Orang tua sering menyepelekan anak-anak dan kehadiran mereka dalam kehidupan orang tua, sangat melekat di memori mereka meskipun kita berasumsi bahwa mereka belum mengerti apa-apa. Saat penulis menanyakan ke beberapa orang dewasa berumur 30an, mengenai apa kejadian yang kurang mengenakkan yang paling jelas ada dalam memori mereka pada saat mereka masih kecil? Jawabannya sangat-sangat mengejutkan:

A: "aku ingat sekali saat masih balita ayahku membawaku pergi bersama perempuan selain ibuku,...yang saat beranjak remaja aku sadar bahwa ia adalah selingkuhan ayahku dan yang telah membuat ibuku ditinggalkan."

B: "Saat itu, aku di kamar bersama ibuku yang sedang menangis setelah ayahku berteriak dengan kasar ke beliau. Lalu ayahku mengambil parang dan hendak menyerang ke ibuku. Lalu aku menangis menghadang ayahku. Saat itu aku masih TK usiaku mungkin masih 5 tahun. Sejak itu hingga aku dewasa, aku tahu, ayahku tidak menyayangi ibuku."

Banyak dari mereka mengingat itu semua dimana orang dewasa yang melakukan tidak ingat lagi. Sementara anak saat mengalaminya berusia masih sangat muda dan membawa memori itu bertahun-tahun dan mempengaruhi bagaimana ia melihat dunia selama hidupnya.

Sekali lagi adultcentric itu tidak terlihat dan tidak terasa. Mungkin banyak dari mereka yang membaca tulisan ini terkoyak egonya dan melakukan pembenaran. Siapa yang mau disalahkan? Tidak ada. Siapa yang menyalahkan? Tidak ada. Ini mengajak kita introspeksi diri sebagai orang tua, guru, peneliti, pengambil kebijakan, dan lain-lain untuk lebih mengecilkan suara ego kita sebagai orang dewasa, lalu memberi kesempatan ke anak-anak kita untuk bersuara, memberinya ruang untuk menyampaikan ide dan pendapat, termasuk juga memberi ruang untuk mereka untuk melakukan kesalahan normal sebagai anak-anak. Saat mereka salah, mereka butuh bimbingan, panutan, bukan teriakan bodoh dan vonis-vonis yang mematikan mimpi-mimpinya.

Mutiara me

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun