Mohon tunggu...
Mutiara Me
Mutiara Me Mohon Tunggu... Mahasiswa - saya

Belajar nulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengalaman tentang Menulis dan Kejujuran

22 April 2016   22:09 Diperbarui: 4 April 2017   17:58 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="honesty"][/caption]Pengalaman saya tentang kejujuran ini mungkin bermanfaat untuk dibagi... Perlu waktu beberapa bulan untuk bisa menenangkan hati dan pikiran sehingga menuliskannya sebagai proses refleksi...

Ceritanya, saya pernah diajak proyek penelitian bareng seorang peneliti yang juga profesor di Jepang, sebut aja A. Di penelitian tersebut dia adalah principal investigator, singkatnya kami sudah kerja 2 tahun dan mendapat research grant bersama, menuntaskannya lalu sudah pula mempresentasikannya 2x di konferensi internasional. Setelah presentasi itulah kami ditawari untuk menulis artikel utk special issue di sebuah jurnal internasional. Karena yang diangkat tentang case Jepang dan Indonesia, maka saya adalah representasi untuk konten Indonesia dan dia untuk konten Jepang, kami setuju dia penulis pertama dan saya penulis kedua.

Singkatnya masalah terjadi saat proses penulisan, si A melanggar etika co-authoring, ia menulis sendiri artikelnya dengan sudut pandangnya sendiri dan memasukkan tulisan saya (dari research report yang saya submit sebagai pertanggungjawaban untuk grant). Setelah itu tulisan disubmit tanpa saya diberi kesempatan untuk melihat bagaimana tulisan tersebut dipaparkan, walau nama saya dicantumkannya sebagai penulis kedua. Saya justru tahu bahwa draft sudah disubmit tanpa saya diajak diskusi adalah saat draft diterima dan reviewer memberi pertanyaan tentang konten Indonesia yang saya tidak tahu sama skali bagaimana konten dipaparkan sehingga reviewer bertanya seperti demikian.

Saya marah sekali karena saya baru tahu draft ditulis sendiri oleh A tanpa melibatkan saya dalam membangun kerangka argumentasinya. Saya tidak mau bertanggungjawab atas konten tentang Indonesia dia yang buat. Selain itu, bagaimana data digunakan dalam argumen bisa valid jika dia tidak melibatkan saya untuk bagian Indonesia?

Akhirnya saya tulis email ke A bahwa saya memutuskan mencabut nama saya dari artikel tersebut, dengan alasan saya kecewa A sudah submit draft tanpa mendiskusikan pada saya sehingga saya tidak mau bertanggung jawab untuk argumen dia di artikel yang dia tulis sendiri tanpa diskusi dengan saya. Dia bingung dan kelimpungan "menteror" saya tiap hari untuk mengubah keputusan saya, dia mencari-cari pembenaran dan alasan dia melakukannya, dia juga menduga-duga saya dipengaruhi oleh orang lain dsb, padahal keputusan itu saya buat sendiri dengan penuh kesadaran.

Parahnya dia menelepon teman-teman saya di Jepang untuk dapat meyakinkan saya untuk tetap menjadi penulis kedua karena tanpa saya maka data2 Indonesia yang dia suguhkan di artikel akan kurang kuat validitasnya. Dia mengimel saya terus dan bahkan wiken mau menemui saya ke Nagoya (dia professor di kota lain). Pada waktu itu betul-betul saat yang paling intense buat saya selama di Jepang karena waktu itu saya sangat sibuk untuk penelitian saya sendiri dan juga ada persiapan untuk study visit ke Swedia, dan lain-lain lainnyaa.

Tapi saya sudah benar kecewa dengan A yang sudah level profesor tapi seenaknya sendiri mengirim artikel hingga direview tanpa saya tahu. Walaupun saat penelitian dia adalah principal investigator dan dia adalah profesor,tapi saat menulis dengan representasi dua negara, porsi suara saya harusnya equal dalam tulisan tersebut dengan dia. Saya akhirnya juga menyurati editor menjelaskan bahwa saya memutuskan withdraw dari artikel tersebut dan menjelaskan konflik yang ada seputar penyusunan draft. 

Editor tersebut juga profesor dari Jepang, dan bisa ditebak saya seperti dihimpit dua professor yang meyakinkan saya untuk tetap mau menjadi second author meski saya tidak ikut developing draft tersebut hanya agar data Indonesia di artikel tersebut seolah "SAH" dengan adanya nama saya di sana. Jadi meski editornya tahu artikel ini bermasalah dan ada dispute, dia bersekutu dengan si A. Editor bagaimanapun juga tetap punya target untuk special issue ini bisa terbit on time... jadi ya sami mawon…

Saya sempet ragu apakah tindakan saya benar, lalu saya diskusi dan bertanya pendapat ke profesor pembimbing saya dan ke teman peneliti lain. Profesor saya dengan tegas bilang, tindakan saya sudah benar dan jangan lagi saya kontak si A itu, sifatnya memang tidak baik, kata pembimbing saya. Menurut beliau dengan tidak melibatkan saya dalam perancangan tulisan namun menggunakan konten yang saya tulis dalam research report saya dan mensubmit tanpa bahkan menunjukkan hasil tulisan ke saya dia sudah berlaku otoriter dan menyalahi etika co-authoring. Konten Indonesia sangat penting dalam menyupport argumen si A di tulisannya, oleh karena itu dia tetap melanjutkan submissionnya dengan tetap memasukkan data Indonesia walaupun tanpa saya orang Indonesia as co-author-nya krn editornya juga melindunginya.

Salah satu dosen dari Thailand, saat saya cerita ttg kejadian ini malah bilang, "wah kenapa kamu ngga mau aja namamu jadi second author kan malah enak ga usah nulis susah2 lumayan kan nambah portofolio." Heee...seeeetdahh, ternyata die sama aja ternyata. Saya tidak menyesal sudah melepaskan co-authoring saya, walaupun jurnal ini cukup baik impact factornya, karena sebagai peneliti salah satu tanggung jawab kita adalah melakukan semua dengan kejujuran, untuk yang diteliti sampai yang ditulis dan juga prosesnya. 

Selain itu sebagai peneliti dan penulis, kita bertanggungjawab terhadap segala informasi subyek penelitian untuk hasil dan argumen yang kita tuliskan dalam bentuk publikasi internasional. Kalau tidak jujur, buat apa kita meneliti dan menulis? Hasilnya juga ngga akan bisa berguna (plus nambah dosa)...yah at least itu prinsip saya dan juga merupakan etika dalam penelitian, yg ga setuju ato nganggep ini naif terserah aja. Untuk si A, publikasi adalah salah satu cara untuk mengamankan posisi dia di kampus nya. begitulah...

Mau rame? menuntut dsb? saya yang cape sendiri. Profesor saya bilang, "orang nanti juga bisa lihat keanehan suatu artikel yang jelas2 dikerjakan oleh dua orang untuk mewakili Jepang dan Indonesia tapi yang jadi penulis cuma satu orang. Selain itu, harusnya dia menulis saja part-nya dia bukannya tetap mencantumkan Indonesia tapi tanpa kamu, bagaimana itu tanggungjawab dia sebagai peneliti dan penulis... Tapi sudah, karena editor juga sama saja mending kamu konsentrasi ke study visitmu ke Swedia semoga di sana kamu bisa membuang hal-hal negatif yang terjadi di Jepang." Begitu kata profesor saya menghibur pada waktu itu...huhuu.. Tapi selain itu sayapun juga siap-siap menyimpan bukti-bukti tertulis jika saja suatu waktu artikel ini harus diperkarakan tentang authorshipnya.

Dan setelah beberapa bulan kemudian, hari ini saya melihat jurnal itu sudah dipublished dan membaca artikel itu...sigh bangettt... nama saya ditulis di catatan kecil sebagai research collaborator, karena tanpa menulis nama saya maka data Indonesia yang dia pakai di situ tidak akan valid.Tapi paling tidak saya tidak harus bertanggung jawab atas argumen yang dia buat karena jika ada yang tidak benar, pertanggungjawaban besar itu si A yang menanggung.

[PLAGIARISM]
Update setelah saya baca lagi artikel si A tersebut dengan seksama:

Meski saya sudah mencabut nama saya sebagai author kedua, ternyata untuk konten Indonesia, selain memakai data yang saya (pribadi) dan kami kumpulkan bersama, si A juga mengambil ide dan argumen temuan saya dalam research report yang pada waktu itu saya tulis untuk pertanggung jawaban grant, tanpa menyebutkan bahwa ide dan argumen tersebut adalah milik saya. Sehingga, seriously si A telah melakukan tindakan plagiarism dengan sengaja.

Meskipun nama saya disebutkan sebagai kolaborator di catatan kecil di halaman terakhir, namun jika setiap kalimat dan temuan yang sebetulnya bukan milik A tapi tidak ditulis sumber aslinya artinya A telah mengklaim hal itu menjadi miliknya pribadi (karena dia single author). Selain itu, saya pun tidak pernah memberikan pernyataan resmi bahwa saya sebagai kolaborator setuju dan dimintai persetujuan konten tersebut untuk dipublikasikan dan dimasukkan ke dalam artikel si A.

Nah sekarang saya yang bingung, apakah saya mau menuntut si profesor A ini dan memperkarakannya ke pengadilan akademik di Jepang? yang berarti banyak waktu, tenaga dan pikiran dan banyak hal lainnya tersita...huff...

*note: topik penelitian dengan si A ini tidak berhubungan dengan proyek penelitian saya untuk disertasi (...untungnya).

Pelajaran yang bisa dipetik dari cerita saya:

1. Sebelum co-authoring, sebisa mungkin buatlah code of conduct-nya bersama penulis lainnya agar sama-sama nyaman dan aman dalam proses penulisan.

2. Banyak orang tidak jujur dan menghalalkan segala cara, dan itu bisa siapa saja... jadi jangan percaya stereotip bahwa “orang Jepang smuaaa jujur, ga mungkin nipu”. prett kan...

3. Untuk melakukan apapun tetaplah jujur biar hati lebih tenang dan niscaya hasilnya juga akan lebih bermanfaat.

4. Jangan takut untuk mengambil suatu tindakan jika kita percaya kita benar. Seperti kutipan di ilustrasi di atas, "If it is not right, don't do it, if it is not true, don't say it."

 

Wallahualam. Demikian semoga bermanfaat.

Median, Nagoya, 23 Apr 2016, 0:07

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun