Baru-baru ini, pemerintah memutuskan memberikan izin pengelolaan tambang kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan. Kebijakan ini digadang-gadang sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, mari kita berhenti sejenak dan merenung, apakah ini langkah terobosan yang jenius atau hanya sekadar gimik politik?
Pertama, mari kita bicara soal kompetensi. Tambang itu bisnis yang membutuhkan keahlian khusus, dari teknologi hingga manajemen lingkungan. Menyerahkan pengelolaan tambang kepada ormas keagamaan yang biasanya lebih berpengalaman dalam mengelola pesantren dan yayasan sosial?Â
Kedengarannya seperti meminta tukang bakso jadi chef di restoran bintang lima. Apa pemerintah berpikir bahwa semangat religius saja sudah cukup untuk mengatasi kompleksitas pertambangan? Wah, kalau begitu, mungkin kita juga perlu mempertimbangkan mendayagunakan tukang ojek untuk mengelola kilang minyak.
Selain itu, transparansi dan akuntabilitas juga jadi pertanyaan besar. Memberikan izin tambang kepada ormas yang memiliki kedekatan dengan pemerintah bisa membuka pintu lebar-lebar untuk nepotisme dan korupsi. Bagaimana memastikan bahwa keuntungan dari tambang benar-benar disalurkan untuk kesejahteraan umat dan bukan untuk memperkaya elite ormas? Tanpa pengawasan yang ketat, kebijakan ini bisa jadi arena baru untuk "bagi-bagi kue".
Lalu, mari kita lihat dari sisi lingkungan. Pertambangan adalah salah satu industri paling merusak lingkungan. Mampukah ormas yang baru terjun di industri ini mematuhi standar lingkungan yang ketat?Â
Atau apakah kita harus siap melihat hutan gundul dan sungai tercemar dengan dalih "demi kesejahteraan umat"? Jika perusahaan tambang besar saja sering kali lalai dalam menjaga lingkungan, apa yang bisa kita harapkan dari pemain baru yang masih belajar berjalan?
Dan jangan lupakan potensi politis di balik kebijakan ini. Menjelang pemilihan, dukungan dari ormas keagamaan sangat berharga. Memberikan izin tambang kepada ormas besar seperti PBNU dan Muhammadiyah bisa dilihat sebagai cara pemerintah untuk mengamankan dukungan.Â
Apakah ini benar-benar langkah strategis untuk kesejahteraan masyarakat atau hanya cara licik untuk mengamankan suara? Kalau memang kesejahteraan yang diutamakan, kenapa tidak mengembangkan regulasi dan pengawasan yang lebih baik di sektor tambang, sehingga siapa pun yang mendapat izin harus berkontribusi secara adil dan bertanggung jawab?
Sebagai penutup, memberikan izin tambang kepada ormas keagamaan mungkin terdengar seperti terobosan, tetapi sebenarnya lebih mirip langkah putus asa yang penuh risiko. Ini bukan hanya soal kemampuan teknis atau manajerial, tapi juga soal transparansi, keadilan, dan tanggung jawab lingkungan. Tanpa pengawasan yang ketat dan akuntabilitas yang jelas, kebijakan ini bisa lebih banyak membawa masalah daripada solusi.
Jadi, mari kita berharap agar kebijakan ini bukan sekadar gimik politik yang memanfaatkan nama besar ormas keagamaan, tetapi benar-benar langkah yang dipikirkan matang demi kesejahteraan masyarakat. Kalau tidak, kita mungkin akan melihat lebih banyak masalah yang muncul daripada manfaat yang dirasakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H