Persebaran masyarakat Tionghoa di Indonesia dimulai pada abad ke-5 M. Mereka yang singgah di Indonesia mayoritas adalah pedagang. Kemudian menetap dan berbaur dengan masyarakat lokal sehingga terjadi proses asimilisasi. Proses asimilasi kebudayaan itu hingga saat ini masih nampak keberadaannya, seperti pembangunan kelenteng. Rumah ibadah ini merupakan fasilitas untuk mengungkapkan kepercayaan orang Tionghoa, sehingga dalam proses pembangunannya pun didasarkan pada kepercayaan. Kepercayaan itu tertuju pada dewa/dewisehingga tiap kelenteng memilikikeunikkan tersendiri padacorak bangunan serta tata letaknya.
Klenteng adalah sebuah tempat suci untuk melaksanakan ibadah dan mengucap syukur akan Kehadirat Tuhan. Dalam kepercayaan orang Tionghoa ini, Tuhan diwakili oleh para Nabi dan para tauladan Suci agama JI-TOO-SIK atau Konfusianisme – Taoisme – Buddhisme. Hal itu yang menjadi alasan dari pembangunan hakikat klenteng dan pertumbuhan sejarah Kelenteng.
Persebaran klenteng di Indonesia terletak di pinggir pantai. Hal itu dikarenakan pantai merupakan tempat persinggahan bagi para pelaut Tionghoadan pelaut lainnya untuk berdagang.Para pelautTionghoayang mayoritas berdagang lama-kelamaan menetap di Indonesia dan mendirikan tempat ibadah.
Masyarakat Tionghoa yang datang ke Indonesia semakin tersebar pada masa Kolonial Belanda. Namun,keberadaan mereka terpusat di pelabuhan Pantai Utara Jawa. Masuknya mereka ke Nusantara semakin tidak terbendung, sehingga VOC kala itu memutuskan untuk menerapkan transmigrasi sebagai solusi dari masalah kependudukan. Mereka dibawa ke Pulau Sumatera dan Kalimantan untuk dijadikan buruh perkebunan. Kepadatan tersebut pun membuat masyarakat Tionghoa memasuki daerah pedalamanan di Pulau Jawa yang terletak di Selatan. Sebagai sebuah bentuk adaptasi, mereka membuka lahan pertanian dan perkebunan. Sehingga terjadilah proses asimilasi dengan kebudayaan lokal yang berpengaruh pada pembangunan Kelenteng.
Semarang yang menjadi salah satu pusat Pelabuhan perdagangan sejak masa Kolonial hingga saat ini memiliki Klenteng dengan jumlah banyak.Arsitektur yang sama seperti pernyataan pada paragraf sebelumnya bahwa pintu masuk itu menghadap ke aliran sungai.Dikarenakan sungai menjadi jalur transportasi yang memudahkan mereka menuju Kelenteng.
Daerah Yogyakarta yang mempunyai kebudayaan Kraton pun mendapat pengaruh dari kebudayaan etnis Tionghoa. Salah satu pengaruh kebudayaan itu terbukti dari pembangunan Klenteng yang berada di daerah Kranggan dan Gondoman.
Sejarah Klenteng Sam-Po-Kong
[caption id="attachment_386537" align="aligncenter" width="300" caption="Gambar.1 Kelenteng Sam Po Kong, Semarang"][/caption]
Orang-orang Tionghoa yang merantau ke Semarang mula-mula menetap di sekitar Sam Po Tong atau Gedung Batu, karena pada waktu itu Semarang masih berupa daerah tegalan.Sedangkan penduduknya masih sedikit dan berdiam di gubuk-gubuk kecil. Orang-orang Tionghoa yang bermukim didaerah Gedung Batu sangat fasih menerapkan ilmu Hong-sui (ilmu melihat keadaan tanah). Oleh karena itu mereka menyatakan bahwa tanah di sekitar Gedong Batu itu sangat baik.
Sam Po Kong pada masa itu belum berupa Klenteng, hanya sebuah goa. Secara bertahap Kelenteng itu dibangun, berawal pada tahun Kak-sie, Yong Ceng kedua atau 1724 M. Pengadaan upacara besar untuk menyatakan terimakasih kepada Sam Po Tay Jin (Ceng Ho) yang telah berjasa sebagai pelindung selama perjalanan. Bersamaan dengan upacara tersebut lalu diadakan pengumpulan uang untuk membangun sebuah emperan agar dapat digunakan untuk meneduh setelah selesai bersembahyang.
Pada waktu itu daerah Simongan jatuh ke tangan Johannes, seorang Yahudi. Sebagai seorang tuan tanah ia mempunyai pikiran bahwaklenteng Sam Po Kong dapat menjadi sumber pemasukan. Sehingga ia membuat sebuah gapura lengkap dengan pintunya di tepi kali Banjir Kanal. Posisi itumerupakan jalan menuju Gedong Batu. Dampaknya orang Tionghoa yang akan bersembayang ke Klenteng Sam Po Kong diharuskan membayar uang masuk terlebih dahulu.
Menarik sekali karena para pendoa Kelenteng Sam Po Kong ini memiliki tradisi mengumpulkan uang setiap setahun sekali sebagai bentuk peringatan pendaratan Sam Po Tay Jin. Pertanggalan yang tepat itu pada 29 Lak-gwe mereka memulai mengumpulkan uang. Tradisi tersebut hingga saat ini masih ada dan bahkan berkembang menjadi pawai.
Pada tahun 1937 atas usaha Lie Hoo Sun, Klenteng Sam Po Kong diperbaiki dan diperbaharui. Beliaumendirikan gapura, Taman Suci dan Pat-sian-loh (Jalan Pat sian). Jalan tersebut menghubungkan klenteng dengan pemakaman Kiai Jurumundi. Bersamaan dengan itu Comite Sam Po pun berdiri dan berakibat tunjangan yang didapat tidak hanya dari daerah Semarang, tetapi dari Jakarta, Surabaya, dan bahkan luar Jawa.
Pada tanggal 18 Cap-it-gwee 2489 (8 Januari 1939) diadakan sembahyang King Sing, Hasil dari kegiatan sembayang tersebut mendapatkan banyak sumbangan berupa material maupun tenaga dari beberapa perkumpulan dan perseorangan. Untuk memperingati kegiatan tersebut maka diterbitkan buku Founds Sam Po pada tanggal 1 Cia-gwee 2490 (19 Februari 1939).
Pada masa penjajahan Jepang, Kelenteng Sam Po Kong mendapat penghargaan dari para pembesar Jepang seperti Suchokan. Beliau sempat sembahyang di Kelenteng tersebut yang diantar oleh Kepala Sedenbu. Oleh karena ituKelenteng Sam Po Kong mendapatkan penerangan listrik pada masa itu.
Pada tahun 1945-1950 Kelenten Sam Po Kong tidak mendapat perawatan sebagaimana mestinya hingga terdapat kerusakan di beberapa ruangan. Melihat keadaan yang seperti itu, penduduk Tionghoa tangap unutk merenovasi Kelenteng pada tahun 1950. Gapura lama yang terbuat dari kayu dipindah ke sebelahnya., Sebagai gantinya, Ong Cwie Tien pemilik Pabrik Rokok kretek Cap Pompa, membangun sebuah gapura baru dari beton. Menurut keterangan, biaya yang dikeluarkan itu kurang lebih Rp 40.000.
Sejarah Klenteng di Yogyakarta
a.Klenteng “Kwan Tee Kiong”
[caption id="attachment_386538" align="aligncenter" width="300" caption="Gambar.2 Kelenteng Kwaan Tee Kiong, Poncowinatan, Yogyakarta"]
Klenteng Kwan Tee Kiong atau Cing Liong Kiong atau yang lebih dikenal sebagai Klenteng Poncowinatan terletak di Jalan Poncowinatan 16 Kota Yogyakarta. Kelenteng ini didirikan tahun 1881.dan menghadap ke arah Selatan dengan maksud sebagai bentuk penghormatan kepada Keraton Yogyakarta.
Selain itu, penghargaan atas pemberian tanah hibah dari Sultan Hamengku Buwono VII untuk pembangunan Kelenteng ini juga semakin menguatkan pintu gerbang yang menghadap Selatan.
Pendiri Klenteng ini ialah NV. Kian Gwan Tjan, NV. Kiem Bo Tjan, Hiap Soen Tjan dan Kong Seng Tjan. Sebelumnnya kepengurusan Kelenteng diserahkan kepada Perkumpulan Sie Hap Kongsi, namun kini digenggam oleh Yayasan “Bhakti Loka”.
Klenteng ini berbemtuk persegi panjang dengan luas lebih kurang 2000m2. Kwan Tee Kiong terdiri dari bangunan utama yang berupa sayap. Atap bangunan utama berbentuk Ngang Shan dengan kedua bubungan yang ujungnya melengkung ke atas. Pada bagian atap terdapat hiasan berupa patung dua naga yang saling berhadapan dengan bola api di tengahnya.Klenteng ini, lebih menonjolkan ajaran Tao, namun ada pula ruang pemujaan agama Budha dan Konghucu.
b.Sejarah Klenteng “Hok Ling Bo”
[caption id="attachment_386540" align="aligncenter" width="300" caption="Gambar.3 Kelenteng Hok Ling Bo, Gondomanan, Yogyakarta"]
Klenteng Hok Ling Bo atau Klenteng Gondomanan ini terletak di Jalan Brigjend Katamso No 3 Kota Yogya. Tempat ibadah tersebut merupakan bangunan yang memiliki nilai sejarah dan spiritual sama pentingnyadari segi perkembangan budaya Tionghoa di Yogyakarta. Kelenten ini dibangun pada tahun 1907 oleh Yap Ping Liem, karena telah diberikan tanah hibah oleh Sultan Hamengkubuwono VII 15 Agustus 1900.
Klenteng Kwan Tee Kiongdan Klenteng Hok Ling Bomemiliki perbedaan. Klenteng Gondomanan atau Hok Ling Bo lebih ramai dengan pengunjung yang meminta berkah dan kemakmuran. Sementara Klenteng Poncowinatanatau Kwan Tee Kiong merupakan bentuk dedikasi masyarakat Tionghoa kepada Dewa Keadilan.
Sumber Bacaan
Moerthiko (1980). Klenteng, Vihara, Lithang tempat Ibadah Tridarma Se – Jawa. Semarang: Sekretariat Empeh Wong Kam Fu. Surabaya: Percetakan Sidoyoso.
Lombard, Denis ( 2005 ). Nusa Jawa : Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu Bagian II : Jaringan Asia. Jakarta: PT. Gramedia Psutaka Utama.
Budiman, Amen (1978). Semarang Riwayatmu Dulu.Semarang: Satya Wacana. Tunjung Sari
Sumber Foto
PecinanYogyakarta(2011).http://pecinanjogja.blogspot.com/p/klenteng-gondomanan.htmldiakses pada tanggal 30 November 2014
PecinanYogyakarta(2011).http://pecinanjogja.blogspot.com/p/apalah.htmldiakses pada tanggal 30 November 2014
Aditya Wicaksana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H