Tidak sedikit isu tengah hangat menjadi perbincangan di kalangan remaja, salah satunya adalah terkait isu kesehatan mental. Di usia yang masih terbilang labil dan belum memiliki kemampuan yang baik untuk memecahkan masalah yang ada, seringkali membuat mereka berpikir pendek.
Masa remaja merupakan masa yang rentan untuk mereka mengalami stres terutama pada peristiwa-peristiwa tertentu dalam hidup. Remaja dianggap sebagai golongan yang rentan untuk mengalami gangguan mental. Mulai dari kasus self warm sampai dengan kasus bunuh diri selalu bertebaran menghiasi media.
Dalam kurun waktu beberapa bulan ke belakang, kesadaran masyarakat Indonesia dalam isu kesehatan mental dinilai terus meningkat. Di Indonesia, Data Riset Kesehatan Dasar (RiSKESDAS) 2013 memunjukan prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia mencapai sekitar 400.000 orang atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk.
Sementara data Riset Kesehatan Dasar yang dilakukan Kementerian Kesehatan pada 2018 menemukan bahwa prevalensi orang gangguan jiwa berat (skizofrenia/psikosis) meningkat dari 0,15% menjadi 0,18%, sementara prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk usia 15 tahun keatas meningkat dari 6,1% pada tahun 2013 menjadi 9,8 persen pada 2018. Prevalensi gangguan mental emosional pada remaja berumur >15 tahun sebesar 9,8%. Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2013 yaitu sebesar 6%.
Menurut data terbaru yang dirilis oleh World Health Organization (WHO) saat pandemi corona, menunjukkan adanya penambahan kasus gangguan kesehatan mental secara signifikan di sejumlah negara. Menurut data dari situs resmi WHO, mereka melakukan survei di 130 negara. Hasilnya, ada dampak buruk Covid-19 pada akses layanan kesehatan mental.
Hasil survei WHO menyatakan lebih dari 60% melaporkan gangguan layanan kesehatan mental bagi orang-orang yang rentan, termasuk anak-anak dan remaja (70%), orang dewasa yang lebih tua (70%) dan wanita yang membutuhkan layanan antenatal atau postnatal (61%). Sebanyak 67% melihat gangguan pada konseling dan psikoterapi, 65% untuk layanan pengurangan bahaya kritis dan 45% untuk pengobatan pemeliharaan agonis opioid untuk ketergantungan opioid. Lebih dari sepertiga (30%) melaporkan gangguan pada intervensi darurat, termasuk orang yang mengalami kejang berkepanjangan, sindrom penarikan penggunaan zat yang parah dan delirium, seringkali merupakan tanda kondisi medis serius yang mendasari.
Ada 30% negara yang melaporkan gangguan akses pengobatan untuk gangguan mental, neurologis dan penggunaan zat. Sekitar 75% negara melaporkan setidaknya sebagian gangguan terjadi di sekolah (78%) dan tempat kerja layanan kesehatan mental (75%).
Beberapa faktor penyebab kesehatan mental pada mahasiswa, di antaranya adalah faktor genetika, keluarga, pertemanan, gaya hidup, sosial dan berbagai faktor lainnya. Salah satu yang sering menjadi pemicu gangguan mental pada mereka adalah terdapatnya kekerasan dalam rumah. Broken home, kata yang selalu dijadikan alasan oleh mereka. Bermula dari menyaksikan adu mulut antar kedua orang tua sampai dengan adegan lempar piring dan ayunan telapak tangan, kejadian tersebut akan terekam dan tersimpan rapi dalam pikiran seorang anak. Akibat kegiatan yang dilihat secara berulang akan membuat anak memiliki minat untuk menirukannya.
Terkait emosi yang meluap dan sulit terkontrol, sudah seharusnya kita mengetahui hal yang menjadi penyebabnya. Jika dikembalikan lagi ke dalam ingatan anak saat berada di lingkungan rumah, banyak hal yang membuat mereka emosi. Walaupun demikian, mereka tidak mampu meluapkannya karena terhalang oleh keberadaan orang tua. Semakin lama mereka menahan emosi, semakin banyak juga emosi yang tidak terluapkan. Bukan memberi dampak yang positif, tapi hanya akan memberi dampak atau pengaruh yang negatif terutama bagi kesehatan mental mereka sebagai seorang anak.
Perlu kita ketahui, jika kesehatan mental terganggu, maka sangat memungkinkan untuk timbulnya gangguan mental atau penyakit mental. Cara penanganannya pun beragam, bahkan gangguan mental dapat mengubah cara berpikir seseorang dalam mengatasi stres, bersosialisasi, menentukan pilihan, serta dapat menjadi pemicu untuk mereka memiliki hasrat melukai diri sendiri.
Banyak orang yang memahami pentingnya kesehatan mental, tetapi banyak juga dari mereka yang enggan untuk mempedulikannya. Seringkali mereka acuh dan mengutuk saat terjadinya kasus.
Hal lain yang perlu diketahui dan sangat perlu disadari oleh kita, kesehatan mental memang dimulai dari diri sendiri. Namun, selain itu juga harus dibantu oleh kepekaan kita sebagai khalayak. Lebih peduli terhadap orang sekitar bisa membantu mengurangi kasus gangguan mental yang marak terjadi akhir-akhir ini.
Lingkungan rumah toxic ditambah dengan lingkungan sosial yang tidak kalah toxic-nya hanya akan memperburuk keadaan. Jika kita tidak bisa membantu menyembuhkan atau mengurangi kasus, setidaknya kita coba membantu agar kasus tidak bertambah.
Pendekatan spiritual, olahraga teratur dan selalu terhubung dengan social support bisa dijadikan tips dan trik untuk para remaja dalam mengatasi dan menghindari gangguan kesehatan mental. Karena penting untuk kita memiliki mental yang tangguh dan sehat. Dari tulisan di atas, harapannya adalah kita dapat saling merangkul dan lebih peka terhadap orang di sekitar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H