Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Arif Hidayat, mengungkapkan keprihatinannya terkait situasi di Indonesia, menegaskan bahwa negara ini sedang menghadapi tantangan serius.
Menurutnya, ada kekuatan yang mendominasi keputusan politik saat ini, dan situasinya mungkin lebih sulit daripada masa Orde Baru.
Saat itu, pembagian kekuasaan berdasarkan prinsip trias politika, melibatkan legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang dikelola oleh badan-badan yang berbeda.
Sekarang, tampaknya beberapa pihak mengendalikan banyak aspek pemerintahan, termasuk partai politik, media massa, dan lembaga-lembaga utama.
Arif Hidayat bukan sembarang orang yang mengungkapkan pandangan ini. Sebagai hakim MK, dia terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan dan konflik di dalamnya, terutama terkait putusan seputar usia calon presiden dan wakil presiden. Dia menganggap keputusan ini sebagai tragedi hukum yang mengkhawatirkan, bahkan lebih dari pandemi COVID-19.
Pendapatnya mencerminkan keprihatinan bahwa para pemimpin dan elit politik di Indonesia terkadang lebih fokus pada kepentingan pribadi, proyek pemerintah, dan penggunaan anggaran negara.
Mereka terlihat bersekongkol untuk memperoleh kekuasaan dan sumber daya, seringkali dengan cara yang merusak hukum dan lingkungan. Selain itu, pemilihan umum diawali dengan konflik hukum yang tampaknya melupakan prinsip-prinsip kemanusiaan dan etika.
Kritik ini mencerminkan pandangan bahwa Mahkamah Konstitusi Indonesia sedang menghadapi masalah yang serius, dan bahwa situasinya semakin memburuk. Ini merupakan panggilan bagi rakyat dan lembaga legislatif untuk mengambil tindakan luar biasa untuk menjaga konstitusi dan kepentingan negara.
Keputusan MK yang membuka jalan bagi Gibran untuk menjadi cawapres juga dilihat sebagai tindakan politik yang kontroversial dan merugikan.
Hal ini menciptakan ketidakpercayaan dalam sistem politik dan menempatkan Indonesia pada posisi yang tidak menguntungkan.