Isu politik dinasti telah menjadi perbincangan hangat dalam konteks Pemilu 2024, dan perdebatan ini mencuat saat Mahkamah Konstitusi mengadili kasus terkait usia minimal calon presiden dan wakil presiden.
Pada tanggal 16 Oktober 2023, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa usia minimal untuk calon presiden dan wakil presiden adalah 40 tahun atau pernah/sedang menjabat dalam jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.
Keputusan ini dianggap oleh masyarakat sebagai jalan terbuka bagi Wali Kota Surakarta (Solo), Gibran Rakabuming Raka, yang berusia 36 tahun, untuk mencalonkan diri dalam Pilpres 2024. Penilaian ini kemudian menjadi kenyataan ketika capres Prabowo Subianto secara resmi mengumumkan Gibran, putra sulung dari Presiden Joko Widodo, sebagai cawapresnya.
Politik dinasti telah menjadi bagian dari lanskap politik Indonesia secara tradisional. Semangat politik dinasti ini telah berakar kuat bahkan di era reformasi, mengganggu perkembangan demokrasi. Praktik politik dinasti terus hadir dalam pemilihan kepala daerah, meskipun awalnya para aktivis dengan keras menentangnya. Namun, lama kelamaan, suara mereka mulai redup.
Hal yang serupa terjadi pada pemilih. Pada awalnya, mayoritas pemilih, seperti yang tercatat dalam berbagai survei, menentang politik dinasti. Namun, seiring berjalannya waktu, pemilih lebih memilih calon kepala daerah berdasarkan kemampuan mereka, tanpa memedulikan apakah calon tersebut memiliki hubungan keluarga dengan petahana atau tidak.
Pada tingkat legislasi, hingga saat ini, belum ada satu pun pasal undang-undang yang melarang praktik politik dinasti dalam pemilihan presiden. Mungkin saat undang-undang dibuat, tidak ada pemikiran bahwa politik dinasti akan menjadi masalah dalam pemilihan presiden.
Bahkan jika pembuat undang-undang ingin mengatur politik dinasti melalui peraturan, seringkali peraturan tersebut dengan mudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Sebelumnya, pembuat undang-undang mencantumkan syarat bahwa kepala daerah tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan petahana, seperti yang tertulis dalam Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada.
Namun, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015 menyatakan bahwa Pasal 7 huruf r UU 8/2015 adalah inkonstitusional. Putusan ini justru memperkuat dan memelihara praktik politik dinasti. Hal ini tidak hanya berdampak pada tingkat daerah, melainkan juga merambah hingga ke level nasional. Kontestasi yang melibatkan politik dinasti hanya menghasilkan individu-individu yang haus akan kekuasaan.
Petahana dapat berkilah bahwa mereka tidak mendorong politik dinasti karena pencalonan calon presiden dan wakil presiden menjadi ranah partai politik atau aliansi partai politik. Alasan lain yang sering mereka gunakan untuk menolak tuduhan politik dinasti adalah bahwa mereka dipilih oleh rakyat dan tidak diangkat.