Kasus dugaan kekerasan seksual dan eksploitasi anak di SMA SPI Batu harus benar-benar dievaluasi dan ditelaah kembali secara serius. Komisi E DPRD pun mendorong evaluasi ini bisa dilakukan bersama-sama pihak Dinas Pendidikan, Dinas Tenaga Kerja, juga Dinas Perlindungan Anak.
Karuan saja, alih-alih pemagangan dan membekali pengalaman kerja dengan keterampilan yang diberikan, bukan tidak mungkin memunculkan dugaan praktik eksploitasi dengan mempekerjakan anak yang tidak bisa dibenarkan. Dalam Konvensi Hak Anak Sedunia misalnya, jelas diatur jenis-jenis pekerjaan terburuk, yang tidak boleh diberikan dan tidak memberatkan anak.
Pengakuan pelapor yang merupakan alumni siswa misalnya, menyebut beberapa sistem SMA SPI tidak benar. Siswa diminimalisir untuk berinteraksi dengan orang luar, dan terkesan sekolah ini membentuk lingkungan tersendiri bagi siapapun yang ada di dalamnya.
Diketahui, SMA SPI Batu punya satu hotel dan asrama siswa yang berada dalam komplek sekolah dengan luas lahan 700 meter persegi ini. Dalam memberi tugas pekerjaan anak, sering harus bekerja lebih dari 8 (delapan) jam, dan ada waktu istirahat bahkan untuk keperluan menjalankan ibadahnya. Pekerjaan ini banyak dilakukan alumni, sementara bagi siswa diharuskan hanya setiap Sabtu dan Minggu. Â
Awasi Bersama Keselamatan Anak
Mencuatnya dugaan kasus kejahatan pelecehan seksual ini bukan kali pertama terjadi. Tahun 2019 lalu, di sebuah SMPN di Kabupaten Malang Jawa Timur juga muncul kasus serupa. Kasus asusila yang dilakukan guru sekolah sendiri ini juga terjadi bertahun-tahun, dan akhirnya menyeret pelaku menjadi terpidana dan harus menjalani putusan penjara.
Munculnya kasus kekerasan dan pelecehan anak bisa jadi merupakan fenomena gunung es. Ini karena masih ada kultur masyarakat kita yang lebih cenderung tertutup terhadap hal-hal yang dianggap tabu soal pelecehan seksual ini. Terlebih, jika ada relasi kuasa yang bisa memenjarakan dan mengebiri anak, yang ujung-ujungnya bisa berakibat kejahatan yang bisa mengancam mereka.
Padahal, kekerasan dan pelecehan ini bukan tidak mungkin juga menjadi gejala sosial yang bisa sewaktu-waktu mengancam keseharian dan masa depan anak-anak. Lebih buruk lagi, ketika anak-anak tidak cukup memahami tindakan tak patut yang bisa dialami akibat kepolosannya.
Hikmah Bafaqih, yang juga pegiat pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak ini pun punya atensi khusus, agar anak-anak tetap selalu aman dimanapun berada. Ia menegaskan, perlunya upaya perlindungan berbasis masyarakat.
Bentuknya, dengan penguatan lini pencegahan melalui sekolah ramah anak dan upaya pengasuhan bersama berbasis masyarakat. Menurutnya, keberadaan dan keamanan anak juga menjadi tanggung jawab bersama masyarakat di lingkungan sekitarnya.
"Jadi, anak harus menjadi asuhan orang dewasa di sekitarnya, di sekolah ataupun tempat bermain mereka. Anak siapapun itu. Mereka harus juga diawasi bersama-sama, agar tidak mudah menjadi sasaran kejahatan (kekerasan dan pelecehan)," kata Hikmah.