ilustrasi motivasi (sketsaonline.com/diunduh)
PENDIDIKAN bakal menghadapi tantangan lebih serius, dalam kaitan pembentukan manusia Indonesia berprestasi masa mendatang. Banyak yang harus digali menyusul situasi ketidaknormalan akibat pandemi lebih dari setahun terakhir.
Tantangan ke depan yang harus bisa dijawab dan didapatkan solusi ini tidak mudah, sehingga membutuhkan kerja lebih keras dan kinerja tepat. Terlebih, pada jenjang pendidikan sekolah dasar (SD dan SMP), yang menjadi masa-masa penting pembentukan berbagai potensi dan kemampuan.
Apa yang terjadi pada anak-anak bangsa selama beberapa waktu terakhir? Ya, pandemi telah menjadikan situasi sulit, yang kurang mendukung bagi munculnya ide dan kreativitas. Tak terkecuali bagi anak, kondisi ini bahkan bisa lebih menyulitkan, karena mereka masih dalam masa-masa tumbuh kembang dan belum sepenuhnya bisa mandiri.
Di lingkungan keluarga dan masyarakat yang masih tergagap-gagap dan tidak siap menghadapi situasi pandemik sejauh ini, maka akan bisa menjadi sumber persoalan dan gejala sosial baru pastinya. Ketidaksiapan ini pula yang akan memunculkan terhambat atau bahkan hilangnya banyak hal yang sejatinya bisa membangkitkan keberdayaan dan kesejahteraan kelak.
Banyak kesempatan yang akhirnya hilang dan tidak bisa didapati anak-anak kita. Kesempatan ini seperti membangun kemampuan komunikasi, mengenal jati diri, karakter dan kepribadian, bahkan juga motivasi dan potensi diri. Karena usia masih anak-anak, mendapatkan semua kesempatan baik ini pun sulit tanpa bantuan dan bimbingan orang lain yang lebih dewasa.
Lihat saja, mulai dari anak usia SD kelas 1, yang belum lama ini baru saja mengalami hari pertamanya sekolah. Hampir setahun mereka tidak merasakan bangku kelas dan lingkungan sekolah, belajar bersama guru dan teman-teman barunya.
Apa yang tampak pada anak-anak siswa baru SD tersebut. Karena masih pertama kali masuk sekolah dan mengenal guru, maka lingkungan dan pembiasaan kehidupan di sekolah yang banyak dikenalkan pada mereka. Aktivitas belajar mereka pun lebih banyak pada latihan membaca.
Karuan saja, pengalaman belajar langsung selepas TK dan beralih ke jenjang SD atau SMP, belum didapatkan sama sekali hampir satu tahun ajaran akibat pandemi. Sementara, karakter psikologis anak-anak tentunya juga perlu banyak diadaptasikan dengan lingkungan baru di sekolahnya.
Satu fakta lain juga bisa mengilustrasikan gejala penurunan yang bisa mengancam generasi masa depan. Yakni, minimnya ekspresi dan apresiasi sesuai potensi anak. Tidak banyak pengalaman bermakna didapatkan anak, baik kegagalan maupun prestasi membanggakan yang dicapai. Padahal, sejatinya keduanya adalah tempaan sekaligus pijakan untuk bisa diraihnya masa depan gemilang.
Dalam konteks keberbakatan yang menjadi prestasi calon peserta didik baru misalnya, ini sulit ditemukan. Dalam penerimaan siswa baru SMPN di Kabupaten Malang tahun ini, pagu jalur prestasi tidak bisa sepenuhnya terpenuhi karena memang tidak ada prestasi kejuaraan yang dipunyai anak-anak.