CANDI BOROBUDUR telah diakui dan ditetapkan UNESCO PBB sebagai salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia sejak 1991. Sebagai warisan peninggalan budaya, Candi Borobudur adalah sebuah mahakarya, yang sudah terlahir jauh sebelum Republik Indonesia dideklarasikan.
Berdasarkan sejarahnya, keberadaan candi Borobudur di Magelang Jawa Tengah sebenarnya sudah ditemukan sejak abad ke-9 Masehi, dan pengakuan resmi badan dunia baru terjadi pada tahun 1990-an. Ini artinya, usia candi Borobudur sebenarnya telah melewati kurun waktu berabad-abad lamanya.
Candi Borobudur merupakan 'kitab' sejarah peradaban dan kehidupan zaman kejayaan Budha, yang penting selalu digali. Sejarah yang nantinya bisa menjadi pusat peradaban dunia, dan bisa melahirkan universalisme dan hubungan antarnegara yang bisa mencakup segala bidang dan pranata kehidupan semua bangsa di dunia.
Apa saja yang ada di bangunan Candi Borobudur, menjadi begitu menarik bagi wisatawan? Konsep alam raya sesuai kepercayaan Budha tergambar dalam relief-relief candi. Bentuk gambar dan simbol yang terlukis pada batu menunjukan cerita masa lalu. Setiap relief dengan kombinasi stupa memberikan pengajaran yang mendalam untuk siapapun yang mau mempelajarinya.
Borobudur merupakan candi terbesar di dunia, dengan 1.460 relief dan 504 stupa. Temuan sejarah menyebutkan, candi Borobudur didirikan pada abad ke-9 Masehi dalam masa kerajaan Mataram dari Dinasti Syailendra. Situs candi Borobudur sempat hilang ditelan hutan, lalu ditemukan kembali di tahun 1814 oleh S.T. Raffles, Gubernur Letnan di Hindia Belanda waktu itu.
Penemuan kembali Borobudur sempat mencengangkan dunia, dan membuka mata Eropa tentang "keberadaban peradaban tingkat tinggi yang dicapai di Asia Tenggara Kuno". Hingga kini, keberadaan Borobudur masih menyimpan banyak pertanyaan dan 'misteri', mengapa candi Budha yang termegah di dunia justru ditemukan di Jawa dan bukan di tempat lainnya? (Miksic, 2012, hal 18).
'The miracle of Borobudur', dengan kekhasan relief bebatuan dan stupanya, serta keindahan kawasan sekelilingnya, memang menjadi daya tarik tersendiri. Sempat tercatat terjadi kenaikan kunjungan wisatawan ke destinasi wisata sejarah ini. Setidaknya, kenaikan ini terjadi beberapa tahun dalam kurun 2013 sampai 2017 silam.
Beberapa keluarga dekat penulis yang tinggal di Malang Jawa Timur, juga pernah berkunjung menikmati indahnya mahakarya Candi Borobudur dalam waktu yang berbeda. Akan tetapi, meski melihat dari dekat, sebagian mengaku tidak bisa memaknai dengan utuh filosofi dan maksud sejarah di balik kekayaan budaya yang ada di candi ini.
Haidar Chafidz (17) misalnya, pernah sekali saja berwisata sekolah mengunjungi candi Borobudur. Karena kondisi yang mungkin kurang pas waktu itu, ia dan temannya hanya menikmati pelataran depan candi. Bangunan candi yang kokoh dengan beberapa tingkatan ini pun akhirnya tak bisa dilihat dan dipelajari lebih detail. Sayang sekali bukan?
Padahal, ada ratusan bahkan mungkin jutaan makna dan nilai terkandung di dalam bangunan candi, terlebih pada relief bebatuan yang ada. Nilai dan maknanya terkandung dalam gambar-gambar di semua relief candi.
Pada pahatan relief candi, di antara yang paling dominan adalah relief bergambar ala-alat musik tradisional kekayaan nusantara. Relief yang tidak hanya menyimpan khazanah budaya, namun juga menggambarkan harmoni dalam keberagaman antarsesama.
Jika sekadar untuk mengobati pandangan mata, atau memenuhi keingintahuan melihat langsung saja, maka eksistensi candi Borobudur terlalu sayang dimaknai sesederhana itu. Berbagai karya agung dan otentik seni-budaya pada setiap bagian candi, akan sekadar dimaknai objek unik yang memang sulit ditemukan duanya.
Seperti dilansir terakota.id, akademisi Belanda, J.L.A. Brandes menyatakan, orang Jawa sejak abad-12 menggunakan instrumen musik dalam hidup keseharian. Ini biasanya digunakan untuk berbagai keperluan mulai hiburan, penanda peristiwa, ritual keagamaan, hingga penyampaian pesan kepada khalayak.
Peradaban Jawa kuno ini juga muncul dalam sumber piktoral, pahatan relief pada candi dari abad ke-7 sampai abad ke-10 atau pada masa Jawa Tengah klasik, hingga candi abad ke-11 sampai abad ke-15 atau pada masa Jawa Timur klasik.
Terdapat setidaknya 17 jenis instrumen alat musik Jawa Kuno yang tertoreh pada relief di dinding candi Borobudur. Diantaranya, ada alat musik kenong dan kelompok ansambel tabeh-tabehan, atau disebut tabuh-tabuhan atau tetabuhan, yang bermakna sesuatu yang ditabuh, dibunyikan dengan dipukul. Â
Dalam konteks inilah, nilai-nilai peradaban yang sudah jelas terdokumentasikan di artefak relief-relief candi, penting untuk terus digaungkan. Bahkan, sangat mungkin banyak pengetahuan baru peradaban manusia masih tersimpan, dan belum ditemukan di bagian artefak lainnya.
Selama kurun waktu tiga dasawarsa sejak diakui UNESCO (1991), mestinya gaung candi Borobudur lebih menggema dan meluas. Kekayaan sejarah dan budaya yang terkandung di dalamnya, semestinya lebih tereksplorasi dengan massif. Apalagi, tidak semua orang bisa berkesempatan langsung menikmati dan menyelami keindahan dan kekayaan warisan budaya leluhur ini.
Menggali Peradaban Musik Dunia dari Kekuatan Musik Etnis
Sebagai sebuah obyek sejarah dan destinasi wisata budaya, tidak jarang memang candi Borobudur menjadi latar belakang atau setting. Baik untuk kepentingan pribadi seperti untuk spot swafoto, atau bagus untuk momen pre-wedding.
Selama ini, Borobudur juga sering jadi obyek ilustrasi pendukung untuk kepentingan komersial. Seperti jadi latar untuk video musik (video clip) dan film, atau iklan bisnis maupun sosial. Selebihnya, menjadi tempat untuk kegiatan riset, field trip, atau studi wisata sejarah.
Memahami dan menggali lebih mendalam soal relief candi Borobudur, maka bisa menjadi project untuk bisa lebih menggambarkan eksistensi serta gaung dan daya pikatnya. Bahkan, saking kayanya nilai dan sejarah yang ada dalam candi, mungkin bisa menjadi obyek eksplorasi khazanah budaya nusantara dan peradaban dunia sepanjang masa, khususnya pusat musik dunia.
Ibarat kata, masih banyak nilai budaya yang terserak di candi Borobudur. Masih banyak pula yang sebenarnya masih terpendam, di balik kekayaan seni-budaya pada setiap pahatan reliefnya. Penggalan-penggalan hasil peradaban yang sebenarnya bisa menjadi 'kitab' utuh jika dikumpulkan dan dipertalikan satu sama lain.
Agar candi Borobudur bukan sekadar benda mati warisan peninggalan budaya leluhur, maka harus banyak-banyak digali lebih mendalam. Selain tetap dinarasikan dalam berbagai literatur, juga perlu juga sering-sering dikisahkan dan dipertontonkan, dengan sentuhan artifisial dan visualisasi yang menarik. Salah satunya, dengan pendekatan etnomusikologi yang juga bisa lebih diterima semua bangsa dari semua kalangan usia.
Mengapa harus dari musik? Pilihan ini memang tepat, karena adanya bukti artefak alat-alat musik etnis yang ada di relief candi Borobudur. Jika ditelusuri, alat-alat musik etnis yang ada di berbagai negara ini juga punya kemiripan dan kesamaan. Kesamaan yang tentu saja bisa menyatukan keragaman budaya dan peradaban universal.
Ada pengalaman, bahwa musik etnis tidak banyak disuka, bahkan tidak dikenali sama sekali sebelumnya. Paling kerap didengar adalah alunan kecapi dan rebana (musik etnis Sunda), juga kendang dan seruling (Jawa-Sunda), atau gamelan (Jawa). Musik dengan iringan angklung atau misalnya?, sudah jarang didengar beberapa waktu terakhir.
Sebuah ilustrasi saja, alat musik sape dari etnis asli Dayak, Kalimantan Timur, kini menjadi daya tarik banyak orang. Sape, yang juga punya sebutan lainnya seperti sampe, sapek, atau sampek, sudah bisa membangun kesadaran akan kekayaan etnisitas dan kearifan lokal lainnya. Kesadaran yang kemudian diharapkan bisa menumbuhkan kecintaan dan rasa memiliki kekayaan budaya bangsa.
Belum lama ini misalnya, lagu dari proses kreatif bermusik etnis dari sampe yang ditunjukkan Redy Eko Prastyo, telah memantik apresiasi dunia. Yakni, menjadi penampilan Duo Ethnicholic bersama Anggar sebagai vokalisnya, yang akhirnya menjadi penampilan terbaik festival yang digelar di Italia. Redy Eko sendiri merupakan penggagas komunitas budaya Jaringan Kampung Nusantara (japung), yang memang banyak menggeluti musik-musik etnis Tanah Air.
Lain halnya, seniman Ki Djumali, yang juga dikenal sebagai dalang Wayang Wolak-walik asal Malang, selama ini juga menggunakan alat tetabuhan saat acara pentas seni, yakni tamborin, atau tambur kecil. Ia juga kerap mengenakan alat musik gongseng di kaki untuk menghasilkan perpaduan ritmis dalam aksi pertunjukannya.
Sebagai seniman tradisional, beberapa kesempatan pementasan di luar negeri memang belum sempat terwujud. Akan tetapi, ia mengaku sudah pernah berkolaborasi dengan sejumlah seniman luar negeri. Tawaran pentas ke Eropa dan Selandia Baru pernah didapatkan, meski akhirnya kandas karena terkendala.
Meski demikian, seniman yang tergabung dalam bidang kebudayaan PBNU ini beberapa kali mengisi acara yang digelar Kementerian Ibu dan Anak, Kementerian Desa, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI