Mohon tunggu...
Khoirul Amin
Khoirul Amin Mohon Tunggu... Jurnalis - www.inspirasicendekia.com adalah portal web yang dimiliki blogger.

coffeestory, berliterasi karena suka ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Misteri "Kapan", Masalah Lama yang Berulang dan Guyonannya

29 Desember 2020   16:12 Diperbarui: 31 Desember 2020   15:31 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi humor (foto shutterstock.com)

Sebentar lagi mau tahun baru nih. Banyak masalah pernah muncul pada kita tentunya. Namun, kita semua tetap kudu bersiap menyambutnya dengan lembaran dan harapan baru. Nggak lucu juga sih, jika ke depan nanti tetap saja masalah yang sama berulang.

Kurun waktu setahun memang lama, namun juga bukan masa yang singkat dilewati. Terlebih, jika selama menjalaninya cukup banyak terpaan masalah harus dihadapi. Dan pastinya, tak seorang pun di dunia ini yang tak pernah mengalaminya sekecil apapun itu.

Masalah apapun dalam kehidupan kita, memang harus pandai-pandai disikapi. Bagi sebagian orang, masalah yang ada dimaknai sebuah kegagalan, musibah, bahkan aib. Tetapi, tidak sedikit pula orang menganggapnya hal biasa yang harus dihadapi dengan santai saja. Terpenting, tidak terlalu menyepelekan hingga bisa merugikan orang lain.

Nah, orang-orang santai dan tidak berlebihan dalam menyikapi masalah inilah, yang kerap menjadikannya sebagai bahan guyonan. Bagi mereka, masalah yang ada justru bisa memunculkan kebiasaan lelucon sebagai pengalihan. Bukan sok humoris juga sih, tetapi mungkin hanya sebagai obat daripada stres terlalu memikirkannya.

Kapan waktunya atau Kapan-kapan saja

Menjawab dan memastikan pertanyaan "kapan" menjadi hal yang paling sering jadi bahan guyonan. Karuan saja, masalah ini beriring dengan kelaziman manusia sebagai makhluk sosial yang bisa saling berinteraksi setiap waktu dan di mana saja.

Bertanya atau pun menjawab kesanggupan soal waktu bahkan hampir setiap orang pernah mengalaminya. Namun, disadari atau pun tidak, sebagian kita mungkin punya persepsi dan komitmen berbeda soal waktu yang ada. Malahan, bagi sebagian orang kepastian waktu itu adalah ketidakpastian itu sendiri. Ya, semacam sebuah misteri aja!

Apakah benar-benar begitu, bahwa ketidakpastian itu memang misteri dari waktu? Jawabannya bisa dikembalikan ke diri kita masing-masing juga sebenarnya. Meski, "ketidakpastian waktu" ini bahkan jamak terjadi, menjadi masalah bahkan gejala penyakit sosial di tengah-tengah masyarakat kita.

Bisa jadi, masyarakat kita juga punya kebiasaan suka lupa atau gampang melupakan sesuatu. Atau, gampang kelupaan karena saking banyaknya urusan yang tertumpuk dan harus diselesaikan. Akhirnya, kepastian dan kesanggupan waktu bisa berdimensi tidak positif. Ada waktu tertunda, yang diangankan, atau bahkan terlupakan.

"Kapan mampir atau main ke rumah?", "Kapan bisa ngopi di luar?", "Kapan dikembalikan atau diganti?", "Kapan dimulai?" Dan masih banyak lagi pertanyaan kepastian waktu ini terlontar sehari-hari. 

Dan jawaban "kapan-kapan (saja)", "pas (ada) waktunya," "nanti ya," atau "oh iya, lupa," adalah hal biasa kita dapati. Baik itu saat ketemu langsung atau melalui percakapan daring dari gawai kita.

Nah, jawaban-jawaban soal waktu ini yang akhirnya bisa menjadikan bahan rasan-rasan dan lelucon. Meski kadang sebatas bermaksud humor sindiran, tapi sebenarnya bisa jadi pelabelan dan citra tak baik. Akan mudah mendapat cap sekadar basa-basi, sekadar menyenangkan hati, atau bahkan sukar dipercaya, hanya karena kita terbiasa mengucap "kapan-kapan." Apa bangganya dicap seperti ini coba?

Masalah ketidakpastian waktu ini kerap kita alami dan berulang, bahkan dari tahun ke tahun. Bisa jadi, ini terjadi pada orang yang sama. Nah, jika ini menimpa pada kita, bukan berarti tidak ada hikmah positif yang bisa diambil. 

Setidaknya, menjadikan lebih hati-hati mensikapi, terlebih sebisa mungkin tidak menjadi orang yang suka menjanjikan waktu, kalau memang itu tak mudah bisa dipastikan.

Selain masalah ketidakpastian waktu, banyak guyonan yang akhirnya jamak dimunculkan, meski sebatas perbincangan ruang privat atau bahkan jadi konsumsi publik. Apa saja itu?

Tutup saja lobang lama, awas terjebak lobang baru lainnya. Guyonan ini sejatinya pengingat untuk masalah yang pernah menjerat kita. Istilah lobang awalnya banyak bermula dari guyonan "gali lobang, tutup lobang". Lubang yang dimaksud diasosiasikan dengan masalah hutang-piutang. Amit-amit, ya!

Bisa jadi ini keterpaksaan yang harus dilakukan tersebab kondisi kurang mapan yang kita alami. Tetapi, ini juga bisa sebagai guyonan menyindir atas kebiasaan yang memang disadari dan menjadi pilihan pelakunya. 

Kondisi serba sulit akibat pandemi kini, bisa juga malah menjadi penyebab semakin banyaknya lobang-lobang masalah keuangan kita. Anda pernah mengalaminya? Semoga tidak!

Lupakan masa lalu, move on aja! 

"Kapan move on dari masa lalu?" Pertanyaan ini kerap juga muncul dan jadi bahan guyonan bagi orang yang terlalu terpuruk dan larut dengan kegagalan yang pernah dialami. Atau sering pula, kepada para jomblowers setengah hati. Disebut setengah hati, karena sejatinya tak bisa melepaskan pikiran dari yang pernah diangankan dan gagal diraih, walau ia sudah berulang kali bertekad melupakannya. Upss...!

Gagal itu biasa, yang penting berani mencoba. Kegagalan adalah sukses yang tertunda. Kata-kata ini sebenarnya sebuah motivasi untuk tidak mudah menyerah dan cepat putus asa. Akan tetapi, bagaimana jika gagal atau masalah yang sama terus didapati berulang?

Atau, yang terpikirkan adalah, pokoknya ambil kesempatan walau mungkin sudah bisa mengukur diri sulit atau tidak mampu mengerjakannya. Ini mah bisa jadi hanya suka coba-coba saja namanya. Pernah mengalami kegagalan, tentunya akan menjadikan lebih serius dan dewasa menghadapi hal atau pekerjaan yang sama.  

Ikuti saja, maka kita akan aman! Ada contoh lainnya, sikap kurang baik yang bisa jadi bahan lelucon dalam keseharian kita. Seperti, bersikap tidak perlu banyak bertanya (protes). Atau, cukup diam yang bisa diartikan tanda setuju dan menerima begitu saja atas sesuatu.

Jika yang seperti itu hanya untuk mencari aman dan selamat diri sendiri, maka lucu juga sih. Karena ini bisa mencerminkan bahwa kita tidak suka tantangan ke depan, dan kurang berani mengambil kesempatan baru sekaligus risiko apapaun yang bisa jadi konsekuensinya. Bertahan dengan kebiasaan seperti ini, maka hidup kita akan flat alias biasa-biasa saja. Bukan berjiwa petarung tangguh orang yang seperti ini tentunya.

Ini hampir sama dengan falsafah Jawa yang banyak dianut masyarakat kita. Seperti, nrima ing pandum (pasrah menerima apa adanya keadaan yang ada), atau alon-alon ning kelakon (tidak perlu ambisius dan bercita-cita muluk, yang penting bisa dijalani apa adanya).

Kondisi sulit, wajar dong berharap! Ada lagi nih guyonan yang bakal jadi cerminan masalah yang mungkin jamak terjadi, dan perlu mendapat atensi bersama. Agak serius memang, namun tetap hal yang gak perlu diributkan berlebihan. Di masa sulit kini, boleh lah jadi orang suka berharap. Terlebih selama pandemi, siapapun berhak mendapatkan empati.

Karena pandemi, siapa yang tak terdampak (kondisi ekonominya)? Hampir kebanyakan orang, mengaku sebagai terjepit dan layak mendapat bantuan, tak terkecuali bantuan sosial dari pemerintah. Bahasa guyonannya, semua sah-sah merasa miskin, dan menjadi kelompok penerima manfaat bantuan.

Wah-wah, apa jadinya jika terbentuk mental suka berharap dan meminta bantuan, padahal masih mampu dan tidak sepenuhnya membutuhkan? Kalau ini sudah menjadi mental dan sikap kebiasaan, jangan-jangan pandemi lewat pun masih saja pemerintah menghadapi gejala sosial ini.

Pendek kata, lembaran baru di tahun depan bukan berarti akan terbebas dari masalah. Masalah baru, bahkan yang berulang, mungkin bakal kita hadapi. Maka, komitmen dan resolusi juga sangat perlu disiapkan, tidak setengah hati apalagi hanya latah ikut-ikutan sok punya resolusi. Dan, setiap masalah juga tetap bisa dihadapi dengan tawa dan gembira, terlebih yang juga menyangkut persoalan bersama.

Jika ikhtiar lebih baik belum bisa sepenuhnya dijalankan, barangkali semua butuh proses. Tetapi, usaha yang sekadar coba-coba dan tak serius, maka sama halnya guyonan anyar untuk masalah lama. Ingat, kita punya akal sehat, yang tentunya bisa banyak belajar dari kejadian masa lalu. Semoga tahun depan semua menjadi lebih baik! (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun