Mohon tunggu...
Khoirul Amin
Khoirul Amin Mohon Tunggu... Jurnalis - www.inspirasicendekia.com adalah portal web yang dimiliki blogger.

coffeestory, berliterasi karena suka ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Satire Politik Jadi Pilihan Bersuara, Apa Efeknya?

12 November 2020   23:44 Diperbarui: 13 November 2020   01:50 1331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto ilustrasi: diolah dari akun facebook Bu Tedjo (facebook.com/bu.tejo.1048) dan Pak Tedjo (facebook.com/pak.tejo.5070)

Informasi melalui medsos, justru sangat mungkin akan menjadikannya sebagai sumber keruwetan proses demokrasi dan kontestasi politik dalam pilkada dan pemilu. Tak terkecuali, jika satir banyak dipakai dan dikelola sebagai perang medsos untuk saling menjatuhkan.

PERNAH merasa lucu dan tertawa sendiri melihat unggahan pamflet kartunis di media sosial? Atau bahkan harus mengernyitkan dahi berlama-lama tatkala memahami sebuah gambar dengan pesan kritis apa adanya? Yang anda lihat itu mungkin gambar satire atau satir.

Dalam Kamus Oxford, didefinisikan bahwa satir adalah penggunaan humor, ironi, melebih-lebihkan, atau sindiran untuk mengekspos dan mengritik kebodohan ataupun juga sifat buruk. Satir banyak muncul terutama dalam jagad politik kontemporer atau isu-isu tertentu yang menjadi perhatian dan terkait kepentingan publik (common interest).

Satir sejatinya adalah pesan publik, namun hemat narasi dan unik. Bentuknya biasanya menonjolkan samaran tokoh kartunis dan ikonik, bisa berupa meme, komik, atau quotes (pernyataan) ala stand-up commedy. Sederhananya, pesan satir membahas isu publik dengan kata-kata cukup singkat saja, namun mak jlebb tentunya!


Satir Itu (sebenarnya) Mencerdaskan
Bisa dibilang, satir adalah cara cerdas menyuarakan sikap kritis atas berbagai ketidakbijakan terhadap kepentingan publik. Konten satir yang dikemas cukup sederhana, sejatinya juga kaya akan pencerahan dan pesan atas isu-isu publik yang ada. Jika dipahami benar-benar dan mendalam, satir bisa memunculkan banyak hal positif untuk menjadi interes, atensi, bahkan sikap keprihatinan.

Dengan satir, yang tersampaikan tidak terlalu vulgar dan langsung mendiskreditkan hal yang dimaksud. Sifat satir yang sebenarnya untuk sindiran, memang mengena pada pihak yang dimaksud pembuat satir, namun seolah hanya banyolan dan plesetan bagi pembacanya.

Akan tetapi, pembaca kritis dengan karakter yang tidak suka narasi atau redaksional, tetap jeli memahaminya. Dan bagi kebanyakan, satir dalam berbagai bentuknya ini bisa menggugah keingintahuan fakta sebenarnya. Bahasa dan konten satir justru akan memunculkan interes pembaca karena rasa penasarannya.

Dalam konteks ini, pesan komunikasi massa melalui satir akan menjadi sumber referensi atau pemantik informasi baru. Bagi pembaca yang mudah tertarik ini, maka akan cenderung mencari dan mengulik informasi lain terkait hal yang dimaksud dalam satir. Untuk pesan yang positif, bukan hoax atau bernuansa kebencian, satir bisa menumbuhkan dan membangkitkan literasi di kalangan publik.

Satir dalam Pusaran Pilkada
Konon, dalam beberapa kali contoh penyelenggaraan pemilu/pilkada, tingkat partisipasi masyarakat masih rendah dalam menggunakan hak pilihnya. Sebabnya, bisa jadi rendahnya kemauan memilih terjadi pada mereka yang memang tidak memiliki pilihan yang pas alias massa mengambang. Atau bahkan, masyarakat sudah apatis dan tidak cukup memiliki kepercayaan terhadap sosok pemimpin atau wakil rakyat yang menjadi figur kontestasi politik peserta pemilu.

Media sosial (medsos) disebut-sebut sangat vital perannya dalam pusaran arus kontestasi persaingan dalam pilkada. Medsos sangat berpengaruh untuk sebuah pencitraan calon, yang efektif dan murah. Bahkan, platform dan cara ini mungkin juga bisa memutus rantai banyaknya praktik 'makelar politik' untuk menarik simpati calon pemilih dan mendulang perolehan suara si calon.

Praktisi riset dan consulting pernah mencatat, ada sekitar 80 juta pengguna media sosial di Indonesia. Jumlah yang tidak sedikit tentunya. Sementara, paparan data dari KPU RI menyebutkan, dari lebih 132,7 juta jumlah penduduk Indonesia, merupakan generasi milenial yang melek internet (netizen). Tercatat, sebagian besar netizen ini diketahui penyuka konten medsos (97%) dan berita (96,4%). Pada pengguna medsos, platform dari Facebook paling banyak diakses (54%), disusul Instagram (15%) dan Youtube (11%).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun