Dari jumlah penduduk tersebut, mayoritas tentunya telah memiliki hak pilih. Fakta ini menjadi entitas populasi yang prospek tentunya bagi peserta pilkada maupun pemilu untuk melakukan pencitraan. Berita atau pun konten berbau kampanye politik, juga bisa jadi lahan empuk bagi pengelola akun maupun portal web yang banyak memanfaatkan medsos untuk mengais berkah dari hajat kontestasi politik.
Sayangnya, pemanfaatan medsos juga paling rawan karena mudah disalahgunakan oknum yang tak bertanggung jawab. Begitu mudahnya menyebarkan berbagai informasi melalui medsos, justru sangat mungkin akan menjadikannya sebagai sumber keruwetan proses demokrasi dan kontestasi politik dalam pilkada dan pemilu. Tak terkecuali, jika satir banyak dipakai dan dikelola sebagai perang medsos untuk saling menjatuhkan.
Contoh satir ini, misallya muncul sebagai 'Bu Tedjo dan Pak tedjo dalam konteks pilkada serentak di Kabupaten Malang akhir-akhir ini. Sah-saja dan kreatif memang, cara berkampanye virtual terlebih di masa pandemik semacam ini. Setidaknya, satir berbentuk meme atau komik ini menjadi alternatif untuk pilihan lebih cerdas calon pemilih. Karena, semua juga perlu mengingatkan kandidat tidak gampang menjanjikan demi kepentingan politiknya. Atau, bisa menyadarkan publik tidak semata-mata menerima hal-hal baik calon pemimpin, namun melupakan hal sebaliknya (potensi kesalahannya).
Akan menjadi tidak asyik, manakala satir politik ini cenderung satu kepentingan, yang saling mendiskreditkan atau menjatuhkan antarkandidat. Hingga hal-hal sepele dan remeh temeh dijadikan satire, dan terlalu menyampah, menjadi unggahan yang membanjiri medsos. Satir berlebihan semacam ini kurang baik dan tak mendidik tentunya. Ehh....emangnya medsos milik kalian yang lagi sibuk pilkada doang? Seperti itu mungkin ungkapan netizen yang jengah dengan satir-satir politik 'kotor' dan sampah!
Satir tak elok dan berlebihan ini bisa juga loh berdampak bagi publik calon pemilih. Jika terlalu terpapar dengan sindiran negatif, bahkan cenderung sarkas, bukan tidak mungkin sipapun kandidat pilkada akan ditinggalkan calon pemilihnya. Meski ini hanya pekerjaan tim pemenangan atau pihak lain, tidak salah jika sekiranya calon pemilih menjadi berbalik meragukan siapapun kandidatnya. Efeknya, partisipasi publik menggunakan hak pilihnya bisa saja malah anljok. Buat apa memilih kalau yang dipilih banyak keburukannya? Barangkali begitu pikiran pemilih.
Terlebih lagi, masalah besar akan muncul manakala pilihan bermedsos ini disalahgunakan untuk praktik jahat dan menyesatkan. Konten kabar bohong (hoax), ujaran kebencian, pencemaran nama baik, fitnah, dan sarkastis, mudah saja dilakukan dan disebarkan melalui medsos.
Ingat! Kampanye hitam pun bisa menjadi makanan empuk dalam rivalitas peserta pilkada. Apa untungnya satir, jika hanya sebagai alat saling menjelekkan dan menjatuhkan (sesama peserta politik)? (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H