ilustrasi guru masa kini (foto: news.detik.com)
Engkau patriot pahlawan bangsa....tanpa tanda jasa.
GURU adalah pahlawan. Setidaknya ini tergambar dalam bagian dari bait lagu Hymne Guru, yang kemudian jamak menjadi sebutan heroik bagi guru, dan seakan tak lekang waktu.
Tetapi, ada predikat yang lebih dan melekat pada guru setiap waktu, dari masa ke masa. Predikat yang lebih dinamis dan seakan tak bisa terlepas dari sosok mereka. Ya, guru selalu siap dihadapkan tantangan dan tuntutan yang baru dan bisa muncul sewaktu-waktu.
Hal-hal baru atau yang terbarukan memang kerap dihadapi guru. Dan ini selalu beriringan dengan perkembangan apapun yang muncul, dalam kebiasaan keseharian dan peradaban manusia. Pilihan menjadi guru hanya dua: bisa mencerdaskan anak bangsa serta tidak gagap perubahan dan perkembangan.
Belum yakin dengan apa yang mampu dikerjakan guru? Sebagian orang boleh bilang, guru itu enak karena kerjanya hanya menjelaskan secukupnya. Lalu, banyak duduk di kelas menunggui belajar anak didiknya. Terlebih, jika bahan yang harus diajarkan sudah ada di buku paket. Ya, cukup dibaca lalu kerjakan soal-soal latihannya.
Pliss....jangan keliru! Untuk bisa mencerdaskan anak didik, bukan perkara gampang. Situasi kelas dan kebutuhan belajar siswa bukan hal given dan itu-itu saja. Kondisi dalam kelas sehari-hari juga tak selalu sama dengan teori pembelajaran yang ada. Guru pun harus mampu menjadi jembatan dan katalisator, bagi adanya kesenjangan teori pedagogik dengan kenyataan di lapangan yang harus dihadapinya.
Dalam lingkup kecil kelas sekalipun, sejatinya tuntutan guru lebih berat dan kompleks. Banyak hal yang dihadapi setiap menitnya saat di kelas. Maklum saja, kelas juga merupakan klaster dengan beragam bawaan yang dimiliki tiap anak. Bahkan, bisa jadi tidak cukup pemenuhan kebutuhan belajar, melainkan ada hal-hal lain yang ingin didapatkan anak didik.
Nah, dalam konteks ini lah kapasitas dan integritas seorang pendidik banyak diuji. Bagaimana guru bisa memenuhi tuntutan (teori) pendidikan ramah, menyenangkan dan memanusiakan. Namun, pada saat yang sama kerap mendapati berbagai masalah anak, bahkan lebih dari kebutuhan belajarnya. Anak tidak hanya harus dilihat minat dan kemampuan belajarnya, namun juga perlu dipahami sikap, mental, bahkan tumbuh kembangnya.
Sebagai seorang pendidik, guru ternyata kerap harus berperan ganda juga sebagai 'orang tua' anak. Bahkan, bisa jamak lebih dari itu. Guru adalah juga pemimpin yang harus adil, sabar dan berempati. Juga seperti manajer yang bijak jika ada manajemen konflik di kelas, atau role model yang mestinya lebih dulu dalam hal apapun sebelum meminta anak-anak didiknya melakukan hal yang sama.
Tanpa Kelas, Apa yang (Bisa) Diharapkan?
Selama pandemi kini dan entah sampai kapan, para guru dihadapkan ruang dan bangku kelas kosong. Peran guru sebagai pusat belajar secara langsung di depan kelas pun tak lagi bisa dilakukan.
Masih banyak lagi tentunya. Pitutur dan nasehat baik seorang guru tak bisa didengarkan sewaktu-waktu semua anak didiknya. Keteladanan, kesabaran, empati dan afeksi guru tak bisa dilihat dan dirasakan anak-anak. Banyak peran dan contoh baik yang hilang, yang mungkin juga tak bisa tergantikan, dari sosok guru.
Lalu, adakah yang bisa dilakukan guru kini? Tidak sedikit yang bertanya nyinyir dan minor memang: sekolah diliburkan dan belajar cukup di rumah, apa yang dikerjakan guru? Anak-anak dapat apa dengan hanya belajar daring di rumah?
Sekali lagi, guru tak pernah lepas dari perubahan dan banyak diam dalam kevakuman. Situasi pandemik kini justru lebih menuntut guru. Konsep merdeka belajar atau pembelajaran jarak jauh misalnya, tidak serta merta menafikan keberadaan dan mempersempit perannya. Setidaknya, jangan sampai terjadi kekosongan pengetahuan dan kemerosotan hal-hal baik pada anak. Â
Tuntutan dan tantangan bagi guru kini berbeda dibanding sebelumnya memang. Namun, kehadiran guru tetap ada dan dibutuhkan, meski tidak lagi dalam hiruk-pikuk suasana kelas. Ibarat pengadilan in absentia, guru tetap harus ada tanpa anak-anak di bangkunya. Berbagai simulasi juga tetap harus banyak diberikan oleh guru. Jangan sampai terjadi sesat pemahaman dan pengetahuan, jika terlalu membebaskan anak memahami sendiri yang harus dipelajarinya.
Guru kini juga dituntut mampu menjadi komunikator andal. Komunikasi yang tidak sekadar memperjelas, namun juga mampu membangkitkan motivasi dan harapan anak untuk tetap bersemangat belajar. Jika harus menghadirkan visualisasi (diri), tak cukup seperti halnya seorang presenter. Namun, bagaimana visualnya tetap mudah dicerna dan mengena.
Pilihan pada visual video misalnya, tantangan guru adalah memerankan diri bak vlogger atau youtuber. Atau, selayaknya aktor yang bisa dipahami pesan-pesan langsung maupun tersiratnya.
Masih beranggapan menjadi guru adalah pekerjaan enteng? Yakin, gak tertarik pekerjaan menantang seorang guru? Entahlah! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H