Jika memang pernah menjanjikan, maka yang dibutuhkan cukup komitmen untuk menunaikannya. Apakah perlu pakta integritas dan penguatan legal formal atas janji politik yang dibuat? Mungkin ini dibutuhkan untuk sebuah trust publik. Tetapi perlu diingat juga, mengingkari pakta integritas ini berarti sudah pengingkaran dua kali atas apa yang sudah dijanjikan sejak awal.
Terpilih jadi kepala daerah, atau terpilih kembali bagi petahana, tentunya nikmat dan karunia Tuhan yang mestinya tak didustakan. Dan menjadi pemimpin yang banyak menjanjikan, berarti juga harus siap dengan segala ketidakmungkinan atau ketidakmampuan untuk bisa merealisasikannya.
So, harus kah lagi dan lagi menjanjikan sesuatu yang baru untuk menarik simpati publik? Atau, memenuhi janji dan komitmen lama yang tak kunjung belum berwujud? Ini adalah pilihan bagi calon pemimpin (kepala daerah). Lebih baiknya mengurangi berjanji, dan akan lebih bijak lagi tidak mengingkarkan apapun yang sudah dijanjikan.
Politik adalah kepentingan. Tidak ada yang abadi dalam berpolitik. Tetapi janji-janji politik para pemimpin tak lekang waktu, tetap menjadi jawaban pemenuhan harapan dan aspirasi publik. Komitmen tulus yang sudah diniatkan dan dijanjikan, jangan sampai akhirnya hanya menjadi 'dosa-dosa politik' yang selalu tergadaikan, berpindah satu pemimpin ke pemimpin berikutnya.
Maka, wahai calon pemimpin, janji-janji yangmana lagi yang tak ingin kalian ingakarkan? Ini bukan skeptisme dan kemuakan atas banyaknya janji pemimpin. Ini bisa saja satire untuk mengingatkan siapapun calon pemimpin, untuk tidak mudah menjanjikan dan segampang itu pula lupa janji. Entahlah! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H