MUSIM kampanye pilkada serentak 2020 sudah dimulai sejak tiga pekan terakhir. Tidak bisa leluasa memang semua kontestan calon kepala daerah menyapa calon pemilihnya, karena pilkada kali ini tengah dibayangi pandemi corona.
Akan tetapi, tetap saja ada hal yang tak bisa ditinggalkan calon pemimpin sebelum pemilihan. Mereka akan rajin menyapa, sowan (berkunjung), silaturahim dan bertemu warga, meski dalam jumlah terbatas. Tak peduli siang ataupun malam hari.
Dari kampanye secara langsung ini sebenarnya paling efektif untuk melihat dan mengetahui komitmen calon kepala daerah. Saat bertemu warga, akan bisa dilihat kondisinya secara nyata. Pun, aspirasi dan harapan publik bisa tersampaikan secara apa adanya.
Topik pembicaraan calon kepala daerah dengan warga relatif sama, setiap kali berkampanye dari satu pilkada ke pilkada berikutnya. Paling diandalkan, terutama bagi kandidat petahana, adalah komitmen meneruskan program yang sudah dianggap baik dan sukses. Bumbunya, dijanjikan akan lebih meningkatkan jumlahnya, baik pagu anggaran maupun sasaran penerimanya.
Yang sering disinggung di antaranya soal pemberdayaan ekonomi, seperti halnya meningkatkan usaha kecil untuk tambahan penghasilan keluarga. Soal lainnya terkait pelayanan publik, jaminan kesejahteraan seperti kesehatan dan pendidikan. Selebihnya, lebih kasuistik dan spesifik terkait permasalahan yang dialami warga di wilayahnya.
Bagaimana dengan yang sudah pernah dijanjikan sebelumnya? Tanggung jawab moral kandidat petahana tentunya lebih berat. Petahana memang harus lebih siap dan lapang dada, ketika berhadapan dengan calon pemilihnya. Membuka kembali komitmen yang sudah dijanjikan bersama paslon sebelumnya akan lebih arif, dan tentunya ksatria, jika dilakukan.
Jika memang ada harapan dan amanat warga masyarakat yang belum bisa dipenuhi, maka tak lantas membuat kandidat sok lupa (diri). "Apa janji kami sebelumnya sesuai harapan bapak-ibu semua, tapi belum bisa diwujudkan?" Ruang komunukasi publik seperti ini yang sekiranya lebih gentle dan bijak dilakukan, sebelum petahana kembali menyatakan komitmen apapun saat berdialog dengan publik.
Cara berkomunikasi seperti ini pula, yang menurut penulis akan mendatangkan simpati publik. Ini karena justru akan mencerminkan sikap bertanggung jawab dan terbuka seorang calon pemimpin, terhadap apapun yang bakal dihadapi dan dialami rakyatnya. Kelak, sikap seperti inilah yang akan melahirkan kepemimpinan yang tidak lembek, tidak pantang pada tekanan apapun, lebih peka, serta punya empati tinggi terhadap berbagai keluhan masyarakat.
Sebaliknya, calon pemimpin (petahana) mestinya jangan malah terlalu terjebak mencitrakan diri paling berhasil, paling mampu karena lebih berpengalaman, dan tidak pernah salah alias sok bersih. Penting dipahami juga, sebuah suksesi kepemimpinan tetap memiliki pertalian dan persinggungan dengan kekuasaan sebelumnya. Artinya, mau tak mau calon pemimpin juga akan disibukkan dengan kelanjutan program atau produk politik (pemerintahan) era sebelumnya.
Bicara blak-blakan ataupun menjanjikan kebaikan dan kemaslahatan bukanlah hal tabu untuk diyakinkan pada semua orang. Terpenting juga dipahami, kritik ataupun pertanyaan terbuka untuk menagih janji politik bukan juga pengadilan massa. Karena kritik dan harapan yang disampaikan tulus dan apa adanya dari rakyat kecil, akan melahirkan kedewasaan bersikap dan empati tinggi para calon pemimpin pada rakyatnya. Pemimpin yang mau banyak mendengar, sejatinya ia adalah pengayom.
Ingat juga, publik tidak gampang lupa dengan apa yang sudah menjadi harapan dan aspirasi bersama. Jika rakyat masih punya harapan sama, sejatinya mereka masih percaya dan menitipkan harapan besar kebaikan nasibnya pada calon pemimpinanya. Kepercayaan yang tentu menjadi amanah yang harus ditunaikan entah kapan waktunya.