"Gimana kabarnya, kawan?" "Semoga saja tetap sehat selalu, ya!"
Sapaan yang sebenarnya menanyakan soal kondisi diri kita. Tetapi, kita mungkin kerap bingung menjawabnya dalam situasi seperti kini. Menjawab kondisi apa adanya, yang bisa saja dimaknai kepasrahan, sambat atas kondisi yang dihadapi, atau terpaksa harus nyamar (menyembunyikan keadaan yang sebenarnya).
Masa-masa pandemi akibat corona sejak beberapa bulan terakhir memang menempatkan siapapun dalam situasi yang sama. Semua terasa serba sulit dan tak pasti, meski sebenarnya kita tidak sedang sakit atau tidak memiliki pekerjaan sama sekali. Semua buru-buru mengklaim, sama-sama terganggu dan menjadi terdampak covid-19.
Situasi pandemi, seperti tak mengenal status sosial ekonomi masyarakat sebelumnya, yang sudah terlihat mapan sekalipun. Yang lebih dimaknai jamak kini hanya satu, bagaimana uang dan pendapatkan bisa diperoleh dan dinikmati dengan mudah.
Kondisi keuangan yang stabil, maka keseharian kita dan keluarga akan baik-baik saja. Simpel dan tidak ada yang salah memang pemikiran semacam ini!
Yang cukup memrihatinkan sebenarnya, kondisi pandemi serba sulit ini akhirnya melemahkan etos bekerja dan daya juang siapapun. Terlebih, jika terjadi pada orang dengan status sosial lebih baik. Pendek kata, pandemi yang harus dihadapi kini akhirnya mudah saja menjadikan siapapun 'Saya miskin' atau 'Kami kurang sejahtera' karena terdampak covid-19. Miris bukan?
Soal predikat dan label 'miskin atau kurang sejahtera' ini, belakangan memang banyak tersaji angkanya. Padahal, status sosial ekonomi calon penerima sebelumnya tidak termasuk di dalam kategori ini.
Ini beriringan dengan adanya berbagai program bantuan stimulus pemerintah. Sebut saja, Bantuan Sosial Tunai Kemensos, BLT Dana Desa Kemendesa-PDT, atau bantuan sejenis yang dikaitkan penanggulangan dampak covid-19.
Terlepas karut marut atau kredibilitas pendataan dan datakrasi yang ada soal status sosil ini, setidaknya sudah banyak contoh kasusnya. Didapati tidak sedikit penerima bansos pemerintah ini, sebenarnya usia produktif yang mudah saja bekerja, atau bahkan ada yang masih berstatus aktif mahasiswa semester awal. Sebaliknya, banyak jumlahnya yang mungkin lebih membutuhkan bansos ini, namun tidak bisa menikmatinya.
Mencukupi Kebutuhan atau Mensejahterakan?
Sekali lagi, banyak munculnya gejala sosial 'Saya juga miskin' atau 'Kami kurang sejahtera' terlebih masa pandemi kini, bisa jadi fenomena baru. Lebih disayangkan, pihak yang mestinya kurang layak mendapatkan bansos atau menjadi penerima bantuan lain seperti PKH, terkesan 'bangga' atau menerima begitu saja (sustain), sebagai sasaran tetap bertahun-tahun. Padahal, jika nyatanya masih mampu menjadi tukang borongan dan karyawan harian di pabrik, apakah ini tergolong miskin?
Bisa dikatakan, kebijakan pemerintah menyangkut masalah kemiskinan cukup kuat, sejak era Pemerintahan Presiden SBY hingga jalan dua kali rejim Pemerintahan Joko Widodo. Kebijakan melalui program Jaring Pengamanan Sosial (JPS) bagi rakyat Indonesia selalu menjadi prioritas pembangunan sosial ekonomi era Jokowi.
Hingga 75 tahun usianya Indonesia kini masih saja dibayang-bayangi fobia, khawatir kehidupan warga negara dan rakyatnya tidak berkecukupan bahkan kelaparan. Karuan saja, angka dan kondisi kemiskinan tak sedikitpun lepas dari perhatian negara. Tak hanya kondisi saat ini, bahkan juga sudah bisa diasumsikan dari tahun ke tahun, bahkan antargenerasi.
Dalam konteks adanya ketimpangan dan gejala 'suka miskin' ini, pemerintah mungkin juga dihadapkan kebijakan sulit. Mencukupi kebutuhan dasar dan pokok rakyat memang wajib. Namun demikian, meningkatkan kesejahteraan tentunya juga tak kalah penting.
Semua pihak pun bersekapat, bisa tercapainya taraf hidup dan derajat kesejahteraan masyarakat, bermula dari adanya perhatian pada sejumlah hal pokok. Diantaranya, kesehatan layak, pendidikan memadai, dan tentunya ditunjang dari pekerjaan dan kondisi perekonomian keluarga yang mapan.
Sebuah hasil survey tingkat kesejahteraan Indonesia sempat dirilis okezone.com awal 2019 lalu. Survey ini dilakukan perusahaan penyedia jasa kesehatan Cigna Corporation yang merilis Survei Skor Kesejahteraan 360, yaitu tentang persepsi kesejahteraan masyarakat di 22 negara terhadap 13.200 responden. Kesejahteraan yang di survei mengacu pada lima pilar utama, yakni fisik, keluarga, sosial, keuangan, dan pekerjaan.
Salah satu hasil survey terungkap, masyarakat Indonesia juga merasa semakin mampu menjaga kesejahteraan keluarga mereka, dilihat dari kemampuan menjaga kesehatan dan menjamin keuangan pasangan, anak, dan orang tua mereka. Secara keuangan, masyarakat Indonesia juga semakin percaya diri. Hal itu dilihat dari kemampuan mereka membayar kebutuhan edukasi keluarga mereka.
Badan Pusat Statistik (BPS) juga merilis, hingga Februari 2020 lalu tercatat jumlah penduduk usia kerja di Indonesia adalah 199,38 juta orang. Dari angka itu, sejumlah 137,91 juta orang merupakan angkatan kerja (usia 15 sampai 64 tahun), naik 1,73 juta dari tahun lalu. Dan dari angka ini, didapati jumlah pengangguran mencapai 6,88 juta orang, naik 60 ribu orang dibanding 2019 lalu.
Bagaimana tingkat kesejahteraan masyarakat kita (kini)? Yang terjadi, sejak awal 2020 Indonesia sebenarnya juga sudah terguncang pandemi covid-19 berikut berbagai ekses yang ditimbulkannya.
Publik akhirnya harus banyak bekerja dari rumah, dan kehilangan penghasilan bahkan mata pencaharian sehari-hari. Bahwa, sebagian akhirnya mendadak jatuh miskin, atau mengaku-ngaku miskin, mungkin juga realistis adanya.
Akan tetapi, melihat kesejahteraan sosial ekonomi rakyat tetap tentunya harus utuh, tidak semata diukur dari punya pekerjaan atau tidak, atau berapa penghasilan yang didapat. Kebutuhan sehari-hari keluarga, juga gaya hidup, mestinya juga menjadi variabel penting yang tidak bisa begitu saja dikesampingkan.
Setidaknya kita bisa bandingkan dari ilustrasi berikut. Si Toni sehari-hari bekerja di sebuah bengkel, dengan penghasilan tak bisa dipastikan, namun juga kerap mendapatkan tambahan upah atau bonus bulanan yang lumayan. Ia memang jarang menabung untuk sisa penghasilannya, namun kebutuhan keluarga dan pribadinya tidak lah banyak dan bisa tercukupi sewajarnya.
Usia kerja lainnya, sebut saja si Rama, bekerja di sebuah kantor lembaga keuangan. Gaji dan penghasilannya cukup besar. Tetapi ia juga termasuk gampang menghabiskan uangnya untuk kebutuhan pribadi.
Tidak jarang, yang dibelinya suka mahal dan berganti baru, meski sebetulnya tidak begitu dibutuhkannya. Memenuhi apa yang menjadi kebutuhan anggota keluarganya kerap sulit bisa disisihkannya.
Keduanya, si Toni ataupun Rama, kini sama-sama terdampak pandemi covid-19 cukup lama. Jika ada jenis bantuan apapun, keduanya pun sama-sama ingin mendapatkannya. Harus bagaimana hal semacam ini semestinya disikapi?
Program prakerja misalnya, sejak April 2020 Â disiapkan pemerintah menjadi salah satu program mengurangi kemiskinan akibat pengangguran. Seperti dilansir beberapa media, dalam Laporan Tahunan Jokowi Ma'ruf 2020 menyebutkan, hingga 2 Oktober 2020 sudah ada 5,6 juta penerima manfaat Kartu Prakerja.
Sejak program ini berjalan hingga 10 gelombang, sudah ada Rp 19,8 triliun dana yang diserap, dengan total pendaftar hingga 34,1 juta orang. Juga disusul bantuan tambahan bantuan Rp 600 ribu selama empat bulan bagi pekerja dengan gaji/upah di bawah 5 juta/bulan.
Bisa diartikan sederhananya, rakyat Indonesia memang tengah diupayakan terentas dari kemiskinan dan meningkat kesejahteraannya. Sebaliknya, jangan sampai berbagai program sosial ekonomi yang ada justru melahirkan kemalasan, daya juang rendah, atau kemiskinan baru, karena merasa sudah 'dimanjakan' negara. Emangnya, jadi miskin dan kurang sejahtera itu enak? (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H