Aku terdiam. Kata-kata anakku meresap ke dalam batinku. Tangisannya kunikmati dalam-dalam. Lama-lama terdengar begitu panas dan membakar hatiku.
Menurutku, anakku tak mengerti. Percuma saja kujelaskan panjang lebar padanya. Dia tetap tak mau berhenti menangis. Seorang temanku, pengusaha kopi yang menyambangiku saat itu tersentak oleh protes anakku. Tak berpikir dua kali, sehelai uang kertas langsung dirogohnya dari kantongnya dan menyalamkannya kepada anakku, sambil mengelus kepalanya. “Sudahlah, namanya juga anak-anak,” ujarnya sambil tersenyum padaku. Tangis anakku reda seketika. Aku terhenyak. Akulah yang tak mengerti, bukan anakku.
Aku belajar dari peristiwa itu. Aku berguru pada anakku. Aku harus mengatasi masalahku dengan hutang. Aku insaf, keadaan yang terjadi tak bisa mencukupkan diri dan menyabarkan seorang anak kecil seperti anakku. Setiap saat iklan dan tontonannya juga temannya adalah kemewahan dan pesta. Malah, aku, isteriku, temanku, orang lain juga semuanya, siang malam, ke segenap penjuru mata angin telah dikepung iklan, promosi produk dan penyebaran publikasi untuk membeli dan pesta.
Dua sisi kenyataan yang bertolak belakang iklan dan kemiskinan harus kuhadapi. Aku tak bisa lari karena anakku. Anakku tak bisa lari karena ia bermain, bercanda dan belajar bersama teman-teman usianya. Aku kalah. Aku berhenti menjadi orang yang ingin terlihat idealis, kelihatan tidak konsumtif, bila perlu pelopor perlawanan kapitalis dan neoliberalisme. Omong kosong itu semua.
Mulai saat itu, aku mulai belajar bagaimana mengatur keuanganku dengan cara lembaga moneter mengatur keuangan dunia. Mula-mula aku mengamat-amati keadaan pasar, kemudian mencari peluang dalam proses pemasaran berlangsung, sampai akhirnya dapat menghidupi seluruh ekonomi dunia, meminjamkan uang, mendorong terjadinya pembangunan, bahkan mengendalikan situasi politik dengan memainkan peran moneternya. Luar biasa, pikirku.
Setelah kuamat-amati. Aku pun mulai membenci kemiskinan di saat banyak orang berpesta dalam kemiskinannya. Aku benci pada sejumlah tetanggaku yang ikut berebut berdesak-desakan bahkan saling injak untuk mendapatkan beberapa kilo beras, sehelai uang kertas dengan berteriak, “Kami miskin!” Agar mereka pantas mendapatkan bantuan. Aku benci pengemis yang memasang wajah menghiba agar orang-orang mengasihaninya karena kemiskinannya. Aku benci orang-orang pintar yang mengumpulkan data kemiskinan untuk mendapatkan proyek dari kemiskinan yang didatanya. Aku benci Negara-negara yang bangga menyebutkan statistik penduduk miskinnya untuk mendapatkan perhatian dunia. Tapi sekali lagi, aku juga ternyata menikmati pesta dari dari kemiskinan itu.
Aku bekerja mencari nafkah untuk anak istri terpaksa harus menghadapi kenyataan. Aku harus ikut masuk ke dalam pesta kemiskinan. Aku sadar kemiskinan masih laku dijual, maka aku harus menjualnya. Tetanggaku punya barang-barang pengisi rumahnya, teman-temanku punya fasilitas yang memudahkan aktifitasnya mendapatkan sesuatu dari kemiskinan. Kenapa aku tidak? Anakku diberi temanku selehai uang jajan karena dia meneriakkan kemiskinannya, kemiskinanku juga? Tidak. Aku tidak mau disebut miskin! Kenyataannya?
Aku harus bisa, karena semua orang bisa mengaku miskin, mempelajari secara akademik masalah kemiskinan, menganalisis dan membicarakan panjang lebar upaya mengatasi kemiskinan. Maka, aku harus berhenti meragukan kemiskinan itu. Kemiskinan bukan sesuatu yang patut dibenci apalagi dicurigai. Kemiskinan adalah alasan.
Begitulah. Setelah belajar dengan tekun, mencari referensi dan sumber yang patut dipercaya guna menjelaskan segala yang berhubungan, baik langsung maupun tidak langsung dengan kemiskinan, akhirnya aku mulai berdamai dengan istilah yang yang sangat fenomenal itu.
Sekarang, setiap anakku minta jajan, aku tidak pernah lagi mengecewakannya. Sebelum uangku habis, seperti sebuah bank, aku tetap punya dana cadangan walaupun harus ditalangi dari hutang dan hutang, pinjaman dan pinjaman. Kehidupanku telah berjalan normal dan siap untuk membeli.
Cukup lama aku terhenyak dalam kegalauanku. Kubiarkan segala gundahku mengepung batin. Aku menyukai kemiskinan agar selau ada. Kredit harus ada. Aku harus mencari peluang dari inflasi, menyebarluaskan uang kertas sebelum didaur ulang Bank Central menjadi cinderamata, sebelum dilemparkan kepada pengemis di trotoar jalan saat mereka menjalani profesi mereka. Semua jerih usaha orang, tetes keringat orang, pikiran dan kerja keras orang, bahkan semua orang yang menaruh kepercayaan padaku sudah dapat kumanfaatkan menjadi komoditas ekonomiku. Aku bahkan bisa menekan inflasi. Gajiku sampai tujuh tahun mendatang sudah bisa kuhitung dengan prediksi dan analisis pasarku. Lintah darat, sebenarnya bukan pilihanku.