BANGSA ini memang sedang sakit. Lihatlah. Betapa bangsa sebesar Indonesia masih tetap harus bertumpu pada ramalan sakti masa lalu, Jangka Jayabaya, dalam memprediksi pemimpinnya. Betapa konyol dan menggelikannya.
Cobalah Anda bayangkan dan berandai-andai sejenak. Jika sebuah maskapai penerbangan seperti sebesar Garuda Airlines, misalnya, harus terpaksa tidak bisa memberangkatkan penumpangnya hanya karena ramalan atau prediksi seorang peramal sakti yang mengatakan bahwa pesawat Garuda akan kecelakaan jika pilotnya bukan seorang perempuan yang tidak tamat universitas. Kemudian boleh saja kita berandai-andai lagi. Bayangkan jika ada ramalan seorang sakti yang mengatakan bahwa sebuah koran terkemuka, misalnya seperti sekaliber koran Kompas, akan bangkrut jika tidak dipimpin oleh orang yang memiliki pendidikan setingkat SMA. Betapa konyolnya kehidupan yang sangat berharga dan betapa memalukannya kita sebagai manusia yang masih berpikir dan terjebak oleh segala bentuk ramalan-ramalan metafisis seperti itu.
Indonesia memang bangsa yang sedang sakit. Tiap hari Indonesia menderita sakit. Betapa tidak. Hampir tiap hari, jutaan rakyat Indonesia kena tipu di perempatan jalan oleh pengemis yang terorganisir dengan baik. Jaman sekarang, pengemis belum tentu miskin. Bisa jadi pengemis lebih kaya daripada yang memberi.
Bangsa ini memang sedang sakit, cobalah renungkan sejenak. Mengherankan bukan? Jika para pakar analis politik yang notabene doktor lulusan luar negeri, tapi masih terjebak dan terkooptasi pada pemikiran sempit bahwa Presiden Republik Indonesia ternyata sudah digariskan oleh tokoh sakti masa lalu dalam kitab jangka Jayabaya, sebuah kitab buatan manusia produk abad 17 Masehi? Kekonyolan yang mengerikan.
Sekali lagi kita berandai-andai. Bisa tidak kita membayangkan, apa jadinya tentara Indonesia yang akan berhadapan dengan musuh, harus menyerah sebelum berperang hanya gara-gara sebuah ramalan yang belum tentu kebenarannya, yang ramalan itu mengatakan bahwa tentara Indonesia akan kalah tanpa ampun. Sebuah kekonyolan yang tidak bisa diampuni.
Naik dan berkembangnya kelas menengah anak muda perkotaan di Indonesia yang diiringi dengan kualitas pendidikan yang adequate dan melek politik ternyata juga masih belum bisa membebaskan diri dari stereotip sejarah politik aliran dan “suratan takdir” dari jangka Jayabaya. Kemungkinannya, kelas menengah muda Indonesia terlalu sibuk untuk aktualisasi diri, sementara para seniornya juga sibuk dan masih terkungkung pada dunianya sendiri dan masa lalu. Sayang.
Selamat hari Jum’at
Tersenyumlah pada pengemis, sudah cukup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H