Mohon tunggu...
Meddy Danial
Meddy Danial Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Galaxy Note\r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ikan-ikan Shalahuddin

16 Desember 2010   04:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:41 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_78370" align="alignleft" width="300" caption="sumber : http://inspirasikumu.files.wordpress.com/2008/10/003-gold-fish-aquarium.jpg?w=435&h=271"][/caption] PERISTIWA paling membekas sampai saat ini yang tidak akan pernah terlupakan adalah sebuah jawaban arogan dari seorang sekretaris rektor sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta. Sebagaimana lazimnya, setiap ramadhan, universitasku selalu mengadakan event-event akbar untuk memeriahkan ramadhan. Posisiku adalah Sekretaris Umum Ramadhan Di Kampus (RDK). RDK adalah trademark kampusku yang tiap tahun bisa menarik sponsor dari perusahaan besar dan para donatur besar di Jakarta. Sudah menjadi tabiat dan maklumat bahwa mahasiswa-mahasiswa yang ikut aktifitas organisasi selalu telat lulusnya alias mahasiswa abadi. Hehehehe. Karena ‘abadi’ itu pula seorang teman dari fakultas peternakan harus membiayai kuliahnya dengan berjualan kambing dan dititipkan di sebuah desa di lereng Merapi. Kawanku itu pula yang punya hobi untuk memelihara ikan dalam akuarium. Dulunya dia juga pernah memelihara beberapa anak kucing.  Ketika sudah besar-besar, hilanglah semua kucing-kucing itu, cari makan sendiri-sendiri. Peristiwa ‘pahit’ itu terjadi ketika kami bertiga (ketua umum, sekretaris umum dan bendahara) akan silaturahmi dengan Rektor. Gelanggang Olah Raga yang dijadikan basecamp kegiatan RDK Jamaah Shalahuddin tiba-tiba mengalami mati listrik dari pagi. Karena itu, kami sepakat membagi tugas, ketua umum dan bendahara masuk dulu ke ruang rektor, saya mengurus listrik mati di gedung rektorat. Begitu selesai dengan teknisi di rektorat, saya bergegas ke ruang rektor. “Pagi, Bu. Saya mau menghadap Rektor” kataku “Kenapa, terlambat?” sekretaris Rektor menatapku tak bersahabat “Maaf, saya harus mengurus listrik mati di bagian teknisi di rektorat. Kalau kelamaan mati, ikan-ikan di akuarium Shalahuddin bisa mati” jawabku menjelaskan “Oooo, jadi ikan-ikan itu lebih penting ya dibanding ketemu dengan Rektor? jawab sekretaris Rektor “Anda tidak usah masuk, Pak Rektor tidak suka melihat orang yang terlambat” tegas sekretaris Rektor. Aku terdiam seribu bahasa. Kaget sekali dan tidak pernah menyangka akan mendapatkan jawaban seperti itu. Jawaban yang bernada arogan dan tidak bersahabat. Saya pada saat itu berani dikonfrontasi dengan Rektor dan pasti beliau tidak marah dan memaklumi keadaan saya. Tapi sang sekretaris rektor tak bergeming. Anehnya, beberapa proposal dan booklet yang saya titipkan untuk dimasukkan ke ruang rektor malah bisa masuk dengan sukses. Panas sekali hati ini, tapi saya berusaha menghibur diri. Sang sekretaris rektor hanyalah lakon-lakon kehidupan. Pengabdiannya hanya sebatas luas ruangan rektor saja. Tidak lebih dari itu. Sedangkan saya. Saya masih muda. Saya masih bisa berbenah. Masih bisa mengabdi tidak hanya untuk pimpinan, untuk lembaga, untuk universitas dan untuk kabupaten atau provinsi dan bahkan untuk negara dan bangsa. Saya bisa mengabdi seluas ilmu yang saya miliki. [caption id="attachment_78371" align="alignleft" width="300" caption="sumber: Dok. pribadi"]

1292473711955014422
1292473711955014422
[/caption] Kesabaran adalah senjata paling ampuh. Beberapa kali saya mengalami peristiwa pahit yang membuat kemarahan seakan-akan adalah jalan yang paling masuk akal pada saat itu. Tapi pada akhirnya kesabaran adalah pilihan yang terbaik dan paling elegan. Tuhan tidak mungkin membiarkan hambanya yang sabar sendirian. Dia akan mengobatinya dengan cara tak terduga. Sikap pongah dan deksura pada akhirnya hanya bisa dikalahkan oleh keelokan sikap dan hati yang lapang. Berkat kesabaran itu pula, tentunya dengen energi yang terbakar dari kemarahan yang terkendali, satu buah buku berhasil diterbitkan. Buku mungil yang dengan elegannya nongkrong di sebuah toko buku ternama, sejajar dengan buku-buku yang lain. -MD-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun