[caption id="attachment_78370" align="alignleft" width="300" caption="sumber : http://inspirasikumu.files.wordpress.com/2008/10/003-gold-fish-aquarium.jpg?w=435&h=271"][/caption] PERISTIWA paling membekas sampai saat ini yang tidak akan pernah terlupakan adalah sebuah jawaban arogan dari seorang sekretaris rektor sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta. Sebagaimana lazimnya, setiap ramadhan, universitasku selalu mengadakan event-event akbar untuk memeriahkan ramadhan. Posisiku adalah Sekretaris Umum Ramadhan Di Kampus (RDK). RDK adalah trademark kampusku yang tiap tahun bisa menarik sponsor dari perusahaan besar dan para donatur besar di Jakarta. Sudah menjadi tabiat dan maklumat bahwa mahasiswa-mahasiswa yang ikut aktifitas organisasi selalu telat lulusnya alias mahasiswa abadi. Hehehehe. Karena ‘abadi’ itu pula seorang teman dari fakultas peternakan harus membiayai kuliahnya dengan berjualan kambing dan dititipkan di sebuah desa di lereng Merapi. Kawanku itu pula yang punya hobi untuk memelihara ikan dalam akuarium. Dulunya dia juga pernah memelihara beberapa anak kucing. Ketika sudah besar-besar, hilanglah semua kucing-kucing itu, cari makan sendiri-sendiri. Peristiwa ‘pahit’ itu terjadi ketika kami bertiga (ketua umum, sekretaris umum dan bendahara) akan silaturahmi dengan Rektor. Gelanggang Olah Raga yang dijadikan basecamp kegiatan RDK Jamaah Shalahuddin tiba-tiba mengalami mati listrik dari pagi. Karena itu, kami sepakat membagi tugas, ketua umum dan bendahara masuk dulu ke ruang rektor, saya mengurus listrik mati di gedung rektorat. Begitu selesai dengan teknisi di rektorat, saya bergegas ke ruang rektor. “Pagi, Bu. Saya mau menghadap Rektor” kataku “Kenapa, terlambat?” sekretaris Rektor menatapku tak bersahabat “Maaf, saya harus mengurus listrik mati di bagian teknisi di rektorat. Kalau kelamaan mati, ikan-ikan di akuarium Shalahuddin bisa mati” jawabku menjelaskan “Oooo, jadi ikan-ikan itu lebih penting ya dibanding ketemu dengan Rektor? jawab sekretaris Rektor “Anda tidak usah masuk, Pak Rektor tidak suka melihat orang yang terlambat” tegas sekretaris Rektor. Aku terdiam seribu bahasa. Kaget sekali dan tidak pernah menyangka akan mendapatkan jawaban seperti itu. Jawaban yang bernada arogan dan tidak bersahabat. Saya pada saat itu berani dikonfrontasi dengan Rektor dan pasti beliau tidak marah dan memaklumi keadaan saya. Tapi sang sekretaris rektor tak bergeming. Anehnya, beberapa proposal dan booklet yang saya titipkan untuk dimasukkan ke ruang rektor malah bisa masuk dengan sukses. Panas sekali hati ini, tapi saya berusaha menghibur diri. Sang sekretaris rektor hanyalah lakon-lakon kehidupan. Pengabdiannya hanya sebatas luas ruangan rektor saja. Tidak lebih dari itu. Sedangkan saya. Saya masih muda. Saya masih bisa berbenah. Masih bisa mengabdi tidak hanya untuk pimpinan, untuk lembaga, untuk universitas dan untuk kabupaten atau provinsi dan bahkan untuk negara dan bangsa. Saya bisa mengabdi seluas ilmu yang saya miliki. [caption id="attachment_78371" align="alignleft" width="300" caption="sumber: Dok. pribadi"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H