Mengapa bencana alam selalu dipandang sebagai musibah, bukan tantangan ke depan yang akan selalu ada. Mengapa bencana alam dipandang sebagai peristiwa yang tidak boleh terjadi lagi, sedemikian sehingga tidak perlu ada lessons learned dan tidak perlu ada prosedur standar atau cara untuk mencegah atau mereduksi kerugian atau korban?
Jepang yang hancur lebur oleh bom atom, dan ditambah banyak gempa dan tsunami yang bertubi-tubi toh tidak pernah mengeluh dan bertanya: Ada apa dengan bangsa ini, apa dosa yang sudah dilakukan olah bangsa ini, apakah Tuhan murka? Mereka malah mencoba mencari tahu dengan riset dan percobaan sebagai salah satu strategi dalam menganalisis gempa dan tsunami serta bagaimana mengantisipasinya.
Orang yang optimis dan mempunyai semangat kesarjanaan pasti tertantang untuk berpikir dengan akal sehat dengan langsung membuat analisis dan melakukan langkah-langkah strategis untuk mengatasi problem bencana alam. Bersikap apatis, skeptis dan cenderung menyalahkan diri sendiri, masyarakat dan lingkungan adalah tindakan yang tidak mencerminkan semangat kemodernan.
Kemodernan ini dimaknai sebagai suatu proses berpikir rasional dalam bingkai sunatullah atau hukum Tuhan yang mengejawantah dalam bentuk hukum alam. Artinya kemodernan haruslah dimaknai untuk selalu memberikan ruang kepada proses berpikir ke arah yang benar dengan tidak mengeliminasi hal-hal di luar kemampuan manusia yang tetap menjadi makhluk tidak berdaya dihadapan ciptaan tuhan.
Justru dalam ketidakberdayaan itulah, Tuhan memperkenankan manusia untuk berpikir dan bekerja agar mampu menjadi khalifah atau pemimpin. Pemimpin di sini tidak hanya dimaknai sebagai seorang pemimpin negara atau pemimpin umat, namun lebih tepat dimaknai sebagai pemimpin terhadap alam dan lingkungannya. Pemimpin dalam konteks ini lebih tepat disebut sebagai pendengar yang baik bagi alam, mengelola dan memelihara alam dan lingkungan, memberikan rasa aman pada lingkungan, memperbaiki kondisi alam dan menjaga dari kerusakan, membela alam dari kerusakan dan sebagainya. Jadi makna pemimpin bisa dielaborasi dan dimaknai secara lebih luas dan menyeluruh.
Kita harus menyadari bahwa semangat kemodernan adalah justru semangat untuk selalu mencari kebenaran, artinya selalu bergerak ke arah yang lebih baik. Kita ingat tuntunan agama bahwa hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Inilah kata kunci dari semangat kemodernan yang bisa dimaknai sebagai proses rasionalisasi untuk selalu maju ke arah yang lebih baik, untuk selalu menuju ke arah kebenaran. Mengapa demikian, karena kebenaran hari ini menurut konteks manusia belum tentu benar jika dipandang dari persepektif di hari esoknya lagi. Demikian seterusnya. Jadi kebenaran di sini selalu bergerak karena kehidupan akan terus bergerak.
Dinamika alam dan perubahannya serta anomalinya tidak cukup hanya disikapi dengan memperbanyak ritual-ritual keagamaan, namun selalu harus disertai dengan ikhtiar untuk berbuat yang terbaik sebagai pemimpin alam. Setiap individu adalah pemimpin bagi dirinya sendiri yang dengan demikian membawa pesan untuk bisa menjaga alam dan lingkungannya.
Demikian juga dengan firman Tuhan, tidak hanya berisi dalil-dalil yang berhubungan dengan perenungan dan introspeksi diri saja, namun ternyata sangat banyak sekali dalil-dalil yang menyuruh untuk bersikap optimisme dan berpikir keras (Ulil Albab) dan berjibaku dengan alam dengan cara menganalisis proses dan fenomena alam.
Saatnya kita tidak hanya bisa mengutuk keadaan dan menyerah pada persoalan. Sudah saatnya kita masuk pada level kemodernan dalam menyikapi situasi dan kondisi alam dan lingkungan untuk masa depan yang lebih baik.
Semoga bermanfaat.
Cintailah ilmu pengetahuan, karena ia adalah milik Tuhan yang dipinjamkan kepada manusia
M. Meddy Danial
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H