Mohon tunggu...
Fadli Muhamad
Fadli Muhamad Mohon Tunggu... Pustakawan - Writer

Love reading, love writing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Apa yang Akan Kau Lakukan, Saat Tahu Kapan Kau Akan Mati?

9 Desember 2023   08:27 Diperbarui: 9 Desember 2023   09:00 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hingga akhirnya pada malam harinya, tepatnya pada pukul sepuluh malam, atau kurang lebih dua jam yang lalu, aku kembali untuk menemui Fiona yang diam tidak bergerak di ruang tengah kediamanku. Suasana di sana sudah sangat sepi, beberapa kerabatku yang menginap di sini pun sudah terlelap tidur. Termasuk adik dan istriku yang terlelap di sofa ruang tengah. Aku menghampiri Fiona dengan membawa satu dosis lagi ramuan booster itu. Kemudian aku menyuntikkannya di lengan sebelah kirinya yang terasa sangat dingin. Aku tidak tahu dengan apa yang kulakukan ini, tapi aku memiliki keyakinan bahwa ramuan ini seharusnya bisa menyembuhkannya. Kutunggu hingga beberapa menit setelah selesai kusuntikkan, tapi sama sekali tidak ada tanda-tanda perubahan. Akhirnya aku mencoba untuk benar-benar mengikhlaskannya sekarang. Aku pun kembali ke kamarku yang berada di lantai 2 dan meninggalkan Fionaku yang sedang tertidur lelap dalam balutan peti kayu yang akan menjadi teman dalam perjalanannya menuju nirwana.

Tanpa kusadari aku benar-benar kelelahan, dan terlelap kurang lebih sekitar satu jam. Karena ketika aku terbangun aku sempat melihat jam dinding yang terpampang di atas meja kerjaku, yang menunjukkan hampir tengah malam. Ketika aku terbangun aku merasakan sakit yang sangat menusuk di kepalaku, mungkin karena aku terbangun dalam keadaan terkejut. Ya, aku terkejut karena aku mendengar suara yang sangat gaduh yang datang entah dari mana, dan aku juga tidak yakin suara apa itu. Aku pun bangkit dari ranjangku dan mencoba untuk mengambil air dari dapur yang berada di lantai bawah. Namun saat aku menuruni tangga aku kembali dikagetkan dengan suara yang sangat gaduh itu, dan sekarang aku tahu suara apa itu yang mengakibatkan aku terbangun dengan sakit di kepalaku ini. Yaitu suara pecahan kaca, entah seperti gelas atau piring dan barang-barang lainnya yang dibanting dengan sangat keras. Juga suara dentuman dari benda tumpul yang saling beradu, seakan ada seseorang yang sedang berlatih tinju di tengah malam di dalam ruang tengah kediamanku.

Dengan perlahan aku menuruni sisa anak tangga yang menuju ke lantai bawah dengan perasaan yang tidak keruan. Karena aku dapat mendengarnya dengan jelas bahwa suara itu berasal dari lantai bawah rumahku. Entah itu dari arah dapur atau dari arah ruang tengah tempat di mana kerabatku semua berkumpul. Tapi sedikit agak aneh, jika memang suara itu berasal dari lantai bawah, seharusnya kerabatku yang lain juga akan mendengarnya, bukan? Termasuk istriku. Juga, dengan adanya suara gaduh seperti itu dengan ada banyaknya kerabatku di sana, pastilah seharusnya ada suara orang lain di antara suara kegaduhan itu. Dan anehnya, dari suara-suara yang timbul itu, tidak ada satu suara orang lain pun yang terdengar.

Dengan perasaan yang semakin tidak keruan akhirnya aku tiba di lantai bawah; dan betapa terkejutnya aku dengan apa yang kutemukan di sana. Awalnya kukira itu adalah mimpi, tapi dengan apa yang kualami sampai sekarang ini, kuyakini bahwa ini bukanlah sebuah mimpi. Kau mungkin tidak akan percaya, tapi memang inilah yang terjadi dan yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Langit-langit rumahku yang sebelumnya berwarna krem dengan perpaduan warna coklat muda pada setiap sisinya kini berubah menjadi berwarna merah. Juga lantai keramik yang sebelumnya berwarna putih dengan beragam corak kini juga berwarna senada dengan langitnya-langitnya. Seakan seseorang telah meledakkan kaleng cat berwarna merah sehingga itu menyebar hingga ke seluruh penjuru rumah.

Keterkejutanku pun tidak berhenti sampai di situ. Setelah aku memfokuskan pandanganku dan menyapu seluruh area ruang tengah itu, aku mendapati sebuah pemandangan yang membuat bulu kudukku berdiri. Bukankah sudah kubilang bahwa seluruh kerabatku tidur di ruang tengah itu? Ya, mereka memang tidur di sana, bahkan saat aku tiba di ruang tengah itu dan melihat suasana yang tidak keruan itu, mereka semua memang masih terlihat terlelap tidur. Tapi dengan diselimuti warna merah yang senada hampir di setiap bagian tubuh mereka. Wajah, badan, lengan, kaki yang berserakan pun tidak ada yang luput dari warna merah itu. Awalnya aku agak lama mencerna semua itu, tetapi saat aku melihat wajah istriku yang sedang terbaring di atas sofa di dekat perapian, barulah aku mulai kehilangan akal sehatku dan membuat lututku terasa lemas seakan kehilangan ototku untuk menopang berat tubuhku. Karena kutemui bagian tubuh istriku yang lainnya juga tergeletak di sofa lainnya yang berada di seberangnya serta lengannya yang memperlihatkan cincin kawin kami tepat berada di bawah kakiku.

Kepalaku berputar, kesadaranku mulai mengambang entah ke mana. Aku tidak percaya dengan pemandangan yang ada di hadapanku ini. Pemandangan yang aku sendiri tidak tahu bagaimana menggambarkannya. Ini terlalu gila, ini terlalu mengada-ngada, ini terlalu tidak masuk akal! Dan kau tahu apa yang menjadi lebih tidak masuk akal lagi. Yaitu kutemui satu sosok yang sedang berdiri di ujung ruangan yang sedang menatapku dengan tajam dengan sebilah pisau yang berada di genggamannya; lengkap dengan warna merah yang senada pada pisau itu, juga pada seluruh tubuhnya. Aku mengenali sosok itu, tapi entah mengapa di saat yang bersamaan aku juga tidak mengenalinya sama sekali. Karena aku mengenali pakaian yang dikenakannya, sebuah gau berwarna tangerine dengan sarung tangan berwarna putih yang membalut kedua tangannya. Serta rambut pirang itu, aku mengenal dengan baik rambut pirang bidadariku itu. Tapi entah mengapa tatapan itu . . . ya, tatapan itu, aku sama sekali tidak bisa mengenalinya.

Secara mengejutkan dia berlari ke arahku, dan aku yang masih mencoba memproses semua ini tidak bereaksi apa pun. Bahkan hingga beberapa tusukan bersarang di badanku, aku masih tidak bereaksi apa pun. Aku tidak tahu apa yang terjadi dan aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku mencoba melepaskan cengkeramannya dengan sekuat tenaga dan melemparnya jauh hingga terbanting ke atas meja kaca yang berada di depan sofa, lalu aku mencoba sekuat tenaga untuk naik ke atas dan kembali ke kamarku. Namun ternyata dia lebih cepat dari dugaanku, karena dalam hitungan detik saja dirinya sudah lompat ke belakang punggungku dan kembali mencabik-cabik bagian tubuhku. Kembali kulempar dirinya setelah aku sampai di kamarku, dan dirinya pun mendarat tepat ke arah kursi kayu dengan kepalanya terlebih dahulu yang mendarat tepat di tepian kursi. Di sinilah aku pada akhirnya, dengan dirinya yang masih tidak sadarkan diri di ujung ruangan sampai sekarang ini, aku mencoba untuk mencerna apa yang sudah terjadi.

Sesaat setelah aku membanting meja untuk mengambil foto yang berada di atas meja kerjaku, dirinya pun kembali bangkit, berdiri, dengan tatapan mengerikan yang sama sekali tidak kukenali. Tapi mau bagaimana pun dia sekarang ini, dia adalah Fiona, dan aku sama sekali tidak ingin menyakiti Fiona. Dengan perlahan dirinya pun berjalan mendekat ke arahku yang sudah tidak mampu untuk melawan dan hanya terbaring di atas lantai kayu kamarku. Sedetik kemudian dia pun melompat ke arahku dan mulai kembali mencabik-cabik tubuhku dengan pisau yang ada di genggamannya. Aku sudah mulai kehabisan tenaga, dan hampir tidak mampu untuk melawan balik, jadi dengan sisa tenaga yang ada aku langsung mencengkeram lehernya dan menjepitnya di antara lengan dan dadaku. Dirinya kini tepat berada di dekapanku dengan masih mencabik-cabik tubuh bagian kiriku, dan lenganku tepat mencengkeram di bagian lehernya. Aku tidak tahu apa yang menjadikan dirinya seperti ini, bahkan berkali-kali aku berteriak kepadanya dan berbicara kepadanya, tapi seakan dirinya sama sekali tidak mengenaliku. Seakan dia bukanlah Fiona yang selama ini menjadi bidadariku.

Aku mulai kehabisan tenaga, pandanganku mulai seutuhnya berwarna gelap, tapi bisa kurasakan bahwa dirinya yang semula menggeliat dengan kekuatan yang brutal, kini mulai melemah dan terasa seperti sudah kehabisan nafas di dalam dekapanku. Jadi, kurasa jika aku bisa menahannya lebih lama lagi, aku bisa menghentikannya. Apa pun caranya, aku harus menghentikannya. Bukan hanya karena aku tidak ingin orang lain celaka karena tindakannya, tetapi aku juga tidak ingin meninggalkan Fiona dalam keadaan seperti ini. Dan mau bagaimana pun nantinya, kali ini aku tidak akan meninggalkan Fiona, aku akan tetap berada di sini sampai dirinya yang sekarang ini lenyap dan hilang dari Fionaku yang anggun bak bidadari. Aku kini bisa merasakannya, bahwa dirinya sekarang mulai berhenti menggeliat dan akhirnya berhenti secara total. Dengan perlahan aku pun mulai melepaskan cengkeramanku di lehernya, tapi masih dalam posisi mendekapnya.

Aku pun tersadar dengan apa yang terjadi, dan yang semula kukira semua ini adalah karena ramuan booster dariku itu, kini kubuang jauh-jauh gagasan itu. Tidak, sesungguhnya ini bukan karena ramuan booster-ku yang membuat Fiona menjadi hidup kembali dengan lebih agresif dari biasanya. Bukan karena ramuanku itu yang membuat Fiona bertindak seperti zombi; bukan, ini semua bukan karena ramuanku itu. Ini semua adalah murni kesalahanku. Ya, aku meyakininya, bahwa ini adalah kesahalanku! Kesalahanku yang meninggalkan Fiona saat dirinya sangat membutuhkan diriku. Kesalahanku yang meninggalkan Fiona saat dirinya sangat membutuhkan ucapan selamat ulang tahun dariku saat ulang tahunnya yang kesepuluh tahun itu. Kesalahanku yang meninggalkan Fiona dan tidak ada di sana saat dirinya sedang terbaring lemah melawan penyakit yang sangat menyiksa dirinya. Ini semua adalah kesalahanku. Itu semua adalah kesalahanku.

Dan andai saja, aku masih bisa mendapatkan kesempatan . . .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun