Mohon tunggu...
Fadli Muhamad
Fadli Muhamad Mohon Tunggu... Pustakawan - Writer

Love reading, love writing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Apa yang Akan Kau Lakukan, Saat Tahu Kapan Kau Akan Mati?

9 Desember 2023   08:27 Diperbarui: 9 Desember 2023   09:00 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Itulah mengapa jika aku tahu kapan aku akan mati, aku akan lebih banyak menghabiskan waktuku bersama Fiona. Tertawa bersamanya, mendengarkan segala keluh kesahnya, berjalan-jalan, menikmati senja bersamanya di taman kota sambil menikmati es krim stroberi favoritnya. Semua hal yang berhubungan dengan Fiona, aku ingin kembali mengulanginya. Dan ingin menjadi lebih baik untuk dirinya.

Tetapi sayangnya, itu sudah agak terlambat bagiku. Bukan agak terlambat lagi, tapi sudah sungguh sangat terlambat. Karena hanya tinggal hitungan beberapa menit lagi, kesadaranku sudah akan menghilang, meninggalkan ragaku yang rapuh dan jauh dari kata sempurna ini. Yang bisa kulakukan saat ini hanyalah melayangkan jawaban-jawaban dari satu pertanyaan bodoh itu ke atas langit yang tak berujung. Memainkan semua peranku yang bisa kulakukan dengan lebih baik dalam sebuah angan-angan. Membayangkan akan betapa cantiknya sosok Fiona kelak saat dia seusiaku, lalu mulai bertemu dengan dambaan hatinya, berjalan di altar dalam dekapanku dengan diriku yang semakin diselimuti dengan banyaknya kerutan di wajahku sementara dirinya dengan memakai gaun serba putih yang memang sangat cocok untuk dirinya. Oh, betapa cantiknya Fionaku!

Kemudian aku akan mulai merubah peranku dari sosok ayah yang gila akan pekerjaannya, menjadi sosok kakek yang akan terus menjaga malaikat-malaikatku saat mereka membutuhkanku. Membayangkan Fiona akan memiliki buah hati yang memiliki mata secantik dirinya, juga senyuman seanggun miliknya, serta rambut pirang yang terurai dengan aroma jeruk yang tercium seiring dengan embusan angin mengibas rambutnya. Oh, betapa sangat cantik membayangkan sosok Fiona yang sedang berlari-lari dengan sosok Fiona Kecil yang memiliki semua kebaikan dan keindahan dari Fionaku. Berlari dengan kaki-kaki kecilnya yang lucu tanpa mempedulikan segala masalah tentang kehidupan. Hanya kesenangan dan keceriaan yang ada di hadapannya.

Semua angan-angan itu kini perlahan lenyap, meninggalkan diriku seorang diri yang sedang terbaring lemah menatap langit-langit kediamanku yang hampir seluruhnya berwarna kelabu. Entah karena pandanganku yang mulai kehilangan cahayanya setiap detik atau karena memang seluruh ruangan ini diselimuti kegelapan. Apapun itu, entah mengapa kegelapan ini justru sekarang menjadi teman bagiku untuk bisa menghabiskan saat-saat terakhir hidupku yang kupikir akan mencapai batasnya beberapa saat lagi.

Dengan susah payah aku menggulingkan tubuhku, mencoba merangkak menuju ke arah meja kerjaku yang dipenuhi dengan beberapa dokumen yang berisikan rumus, formula dan hasil dari penelitian-penelitanku selama beberapa tahun terakhir. Tapi bukan itu tujuanku menghampiri meja kerjaku. Bukan untuk menuju ke dokumen-dokumen itu yang saat ini tidak lebih hanya menjadi sampah yang tertumpuk di atas meja kerjaku. Tapi aku ingin menuju ke salah satu foto yang tertampang di sana. Aku ingin meraih foto yang selalu membuat jiwa dan batinku merasa tenteram setiap kali aku memandangnya. Sebuah foto yang diambil tiga tahun yang lalu, yang memperlihatkan bagaimana indahnya duniaku sebelumnya saat Fiona masih bisa dengan lepas melemparkan senyuman terbaiknya kepada dunia. Sebuah swafoto yang kuambil melalui ponselku yang menampilkan sosok diriku bersama malaikatku, Fiona, yang tersenyum sangat lebar, yang mampu membuat semua beban dunia yang berada di pundakku mencair dan melebur tak bersisa.

Aku merangkak dengan seluruh sisa tenagaku yang kian lama kian menipis. Inci demi inci tubuhku bergerak, inci demi inci diriku semakin dekat dengan mejaku. Aku mencoba meraih kaki meja itu untuk mengangkat beban tubuhku, tapi itu sangat mustahil untuk dilakukan, karena aku merasakan sakit yang sangat perih di sekujur tubuhku ketika aku mencoba melakukannya. Hingga akhirnya aku mencoba untuk menarik kaki meja itu, berusaha menggulingkannya agar terjatuh dan menumpahkan semua yang ada di atas sana. Dengan mengerahkan semua tenagaku, usahaku pun tidak sia-sia. Tapi aku tahu bahwa itu akan sangat berdampak buruk bagi kondisi tubuhku sekarang ini. Tapi tak apa, ini akan sangat sepadan dengan apa yang sedang kucoba untuk kuraih.

Detik berikutnya sebuah dentuman yang cukup menggelegar menggema ke seluruh penjuru ruangan, dengan semua benda, tumpukan dokumen dan beberapa alat tulis berhamburan ke segala arah. Aku sungguh tidak peduli dengan semua peralatan yang berantakan itu, karena beberapa menit yang lalu seisi rumahku juga sudah menjadi porak poranda karena sebuah insiden. Insiden yang seharusnya tidak pernah terjadi jika aku bisa lebih bijak terhadap pilihan hidupku yang kuambil sebelumnya.

Aku berhasil meraihnya. Meraih sebuah bingkai foto yang didalamnya menampilkan sosok Fiona dengan senyuman cantiknya. Oh! Betapa aku merindukan dirinya. Betapa aku kini sangat ingin bersama dirinya! Betapa aku sangat ingin memeluknya! Tanpa kusadari air mataku pun mulai membumbung dan membasahi kedua pelipisku lalu turun dengan sangat perlahan meninggalkan semua kenangan yang sangat menyakitkan. Kembali semua kenangan yang sebelumnya sempat sirna kini terpampang kembali dengan penuh sendu. Membawaku kembali kepada kenangan itu yang hanya semakin menambah sakit kepada relung hatiku yang sangat rapuh. Bahkan rasa sakit akan kenangan itu dapat meleburkan seluruh rasa sakit yang sudah menjalar ke sekujur tubuhku ini. Sungguh, sebuah rasa sakit dan kehampaan yang tak berujung.

Perlahan nafasku mulai terasa sangat berat dan pandanganku mulai semakin memandang semuanya dengan warna kelabu. Yah, mau bagaimana pun juga, di sinilah aku, pada akhirnya. Walaupun aku mencoba menelepon ambulans sekarang ini, itu akan percuma. Bukan karena tanganku yang tidak bisa menggapai ponselku karena mulai mati rasa, atau pun bukan karena mulutku yang tidak bisa berbicara karena tersumbat dengan darahku yang mencoba keluar melalui saluran pernapasanku karena adanya beberapa pendarahan hampir di seluruh organ dalamku. Bukan, bukan karena itu. Tapi karena kurasa memang percuma, dan walaupun aku berhasil menelepon mereka, aku yakin saat mereka tiba di kediamanku, mereka tetap akan menemui kondisiku yang sudah kehilangan kesadaranku seratus persen.

Karena aku masih bisa merasakannya dari awal insiden tadi sampai sekarang ini. Darahku masih terus mengalir keluar membasahi lantai kayu kamarku dengan tidak terkendali. Walaupun aku mencoba untuk menghentikan pendarahannya dengan menggunakan tanganku, tetap saja, darah yang keluar dari dada bagian kiriku terus mengalir membasahi sekujur tubuhku yang kian lama kian melemah. Lagipula percuma, saat tangan kiriku sedang mencoba menekan dada bagian kiriku, darah yang menjadi bagian vital dari keberlangsungan hidup seorang manusia itu, juga mengalir deras dari beberapa bagian tubuhku yang lainnya. Terhitung ada lima tikaman yang cukup dalam yang bersarang di sekujur tubuhku. Satu di bagian perut sebelah kananku, dua masing-masing berada di dada kiri dan kananku, satu tepat di diafragmaku, dan satu lagi di paha sebelah kananku. Ditambah ada beberapa jumlah sayatan yang entah ada berapa banyak yang menyelimuti seluruh tubuhku ini yang hanya berbalutkan piyama tidurku. Entah aku harus bersyukur atau tidak, tapi dari semua tikaman dan sayatan itu tidak ada yang benar-benar melukai organ vitalku, dan hanya membuatku menderita dengan sangat perlahan. Sungguh!

Kini yang bisa kulakukan hanya berbaring, menunggu hingga kesadaranku pergi meninggalkan raga dan pikiranku yang sudah mulai menampakkan sesuatu yang sudah tidak masuk akal lagi. Yang pertama kali pikiranku tampilkan adalah sebuah pemandangan tentang sebuah taman impian yang sangat indah dengan perpaduan warna-warna cerah yang sangat menyejukkan hati. Kemudian dengan cepat pemandangan yang menyejukkan itu segera berganti bagai angin lalu; hanya dalam hitungan detik, pemandangan dengan semua warna-warna cerah itu berubah seketika menjadi kelabu. Lengkap dengan semua perasaan putus asa, kekhawatiran, ketakutan, dan ketidakberdayaan datang seiringan dengan pemandangan yang berwarna kelam dengan nuansa kelabu. Mungkin itu adalah gambaran sekilas yang diberikan Tuhan kepadaku untuk menunjukkan ke mana diriku akan berada setelah aku mengembuskan nafas untuk yang terakhir kalinya. Sebuah gambaran untuk menunjukkan kekuasaan-Nya yang digunakan sebagai hukuman atas apa yang sudah kulakukan selama ini. Oh, pikiranku sudah semakin tidak keruan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun