Ngomong-ngomong soal boikot, penulis teringat saat baru masuk kuliah S1 di Kota Kembang pernah mendengar bahkan membaca selebaran yang mengajak untuk memboikot berbagai produk Amerika Serikat dan Israel. Ajakan serupa itu muncul dan muncul lagi manakala militer Israel lagi-lagi melancarkan serangan militernya ke kawasan Palestina.
Saya belum tahu bagaimana pelaksanaan dan tingkat keberhasilan aksi boikot terhadap produk-produk Amerika Serikat dan Israel di masa lalu. Namun di negeri ini, (asumsi saya) sepertinya belum terjadi secara efektif dan efisien. Karena itu, bisa jadi, hal ini menyumbang ‘saham’ bagi masih digdayanya zionis Israel yang disokong Amerika Serikat itu, dalam mengokuvasi Palestina.
Boikot ini sebuah istilah yang terdengar aneh dalam perbendaharaan bahasa Indonesia. Bunyinya mirip binatang bekicot. Karena itu saya tertarik untuk mengulas sejarah lahirnya istilah ini, bahkan menyentil sedikit sekali mengenai teori aksi boikot.
Begini: Boycott merupakan kata kerja dalam bahasa Inggris. Ia diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia menjadi boikot. Artinya tindakan tidak menggunakan, tidak membeli, atau tidak berurusan dengan seseorang atau suatu organisasi, baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama, sebagai wujud protes atau bentuk pemaksaan sikap kepada pihak yang diboikot tetapi umumnya tanpa kekerasan (non-violence).
Istilah boikot pertama kali diperkenalkan di Inggris dan diambil dari nama seorang purnawirawan kapten Angkatan Darat (AD / Army) yaitu Charles Boycott Cunningham (lahir 12 Maret 1832 dan meninggal 19 Juni 1897). Bagaimana ceritanya nama tengah seorang purnawirawan AD Inggris itu menjadi penanda bagi tindakan dimaksud?
Alkisah pada abad ke-19, Irlandia dikuasai Inggris. Boycott (Charles Boycott Cunningham) yang berkebangsaan Inggris itu bekerja pada seorang tuan tanah di Irlandia bernama Lord Erne. Jadi dalam konteks ini, Boycott adalah orang penting. Ia tangan kanan atau kekuatan nyata pendukung Lord Erne dalam praktik penguasaan tanah di Irlandia. Dalam posisi itu, Boycott berwenang mengambil kebijakan-kebijakan strategis untuk menyukseskan usaha Lord Erne.
Saat itu, kedudukan penyewa tanah berkebangsaan Irlandia sangat lemah meski mereka penduduk asli negara itu. Karena itu muncul reaksi pada 1880 dari kaum nasionalis Irlandia berupa kampanye hak-hak penyewa tanah. Kampanye ini menuntut adanya “sewa yang adil, kepastian waktu sewa, dan penjualan hasil secara bebas“.
Untuk memperkuat gerakan kampanye tersebut, Liga Tanah Irlandia yang dipimpin Charles Stewart Parnell dan Michael Davitt menarik tenaga kerja lokal yang diperlukan untuk menyimpan hasil panenan perkebunan Lord Erne. Dan yang terkesan lucu namun serius, dalam gerakan ini pimpinan kampanye yang diamini warga asli Irlandia menyerukan dan serempak mengucilkan si Boycott (orang penting yang mendukung tuan tanah Lord Erne itu).
Bagaimana bentuk aksi pengucilan itu? Warga Irlandia mengisolasi kegiatan si Boycott dengan cara toko-toko, binatu, dan petugas pos di Ballinrobe (wilayah dekat kebun Earl Erne) menolak melayani si Boycott. Nah si Boycott meringis sedih. Ia pun menulis surat kepada surat kabar “The Times”. Isinya pengaduan tentang situasi pengucilan yang dialaminya di Irlandia. Maka kampanye Liga Tanah Irlandia melawan si Boycott pun populer di Inggris.
Akibat aksi ini, hasil panen perkebunan Lord Erne terancam melorot. Maka singkat cerita, kerajaan Inggris mengambil kebijakan penyelamatan. Kebijakan ini menelan biaya lebih dari £ 10.000 dan dikeluarkan langsung dari kas kerajaan Inggris sendiri. Jadi aksi ini lumayan merepotkan Lord Erne, kerajaan Inggris, bahkan cukup membuat sengsara si Boycott.
Sejak peristiwa itulah, nama Boycott menjadi kata kerja bahasa Inggris boycott, yaitu kegiatan yang menggambarkan aksi kaum nasionalis Irlandia dalam mengucilkan si Charles Boycott Cunningham di Irlandia. Dalam bahasa Indonesia, istilah boycott diadaptasi menjadi boikot.
Bagaimana menilai keberhasilan aksi boikot? Boikot sukses jika pengorbanan selama melakukan boikot menghasikan sesuatu sebagaimana yang diharapkan dan nilainya sepadan dengan nilai pengorbanan pada saat melakukan boikot.
Kemungkinan besar, boikot akan berhasil jika tujuannya jelas dan terukur, didukung kekuatan nyata (bukan khayalan), dipersiapkan dengan baik, dilaksanakan dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi, dan dipimpin oleh pimpinan yang cakap dan disegani. Dan yang tidak kalah pentingnya, aksi ini harus diketahui para partisipan aksi boikot. Kenapa? Biar para partisipan aksi boikot paham, sehingga aksi boikot pun dapat berjalan secara efektif dan efisien.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H