Mohon tunggu...
Miraj Dodi Kurniawan
Miraj Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... profesional -

Seneng makan minum yang bergizi dan uenak. Pengen berpakaian sopan namun trendy. Punya cita-cita menjadi orang kaya raya lahir dan batin. Lumayan doyan menggauli studi sejarah, kependidikan, filsafat, agama, budaya, sosial, politik, sastra, dan seterusnya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Seks, Profesi, dan Perkembangan Istilahnya dalam Dinamika Sosial

21 Januari 2015   13:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:41 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam sebuah situs, ada kalimat kesimpulan akhir yang bunyinya begini, "Jadi istilah ‘PS atau Pekerja Seks’ jauh lebih tepat dan lebih bermartabat untuk profesi layanan seks. Sayangnya, penggunaan istilah PS atau Pekerja Seks belum terlalu populer dan menyeluruh."

Kesimpulan tersebut dimunculkan setelah penulisnya melihat penggunaan istilah pelacur atau lonte malah menambah stigma buruk terhadap profesi yang satu ini. Padahal istilah pelacur tidak bisa hanya dikaitkan pada pekerja seks, karena “melacur” adalah melakukan suatu kegiatan eksploitasi demi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Pekerja di perusahaan yang rela melakukan apa saja namun hanya untuk mengeruk gaji besar, bisa dikategorikan melacurkan dirinya kepada korporasi. Demikian negara yang sumber daya alamnya dieksploitasi habis-habisan oleh pejabat negara dengan cara memasukkan banyak investor asing, sebenarnya juga negara yang dilacurkan.

Penulis di situs itu pun melihat penggunaan istilah WTS (Wanita Tuna Susila) tidaklah tepat dan sudah sama tidak boleh digunakan karena mengandung stigma yang sama buruknya. Istilah 'Wanita Tuna Susila’ bukan saja dianggap sangat merendahkan kelompok pekerja seks, melainkan juga bias jender sebab tidak semua pekerja seks adalah wanita. Banyak diantaranya adalah laki-laki (LTS) bahkan transgender atau waria (WTS).

Bagi penulis situs tersebut, penggunaan istilah “PSK atau Pekerja Seks Komersil” juga kurang tepat dan bias. Karena meski bersifat komersil, namun pekerjaan lainnya pun tidak diembel-embeli kata komersil sebagaimana tiada istilah pengacara komersil, dokter komersil, guru komersil, dll. Jadi untuk kesetaraan, ungkap penulis itu, istilah “komersil” dihilangkan saja dan akhirnya istilah 'PS atau Pekerja Seks' jauh lebih tepat.

Sebuah Perenungan

Saya sepakat dengan kalimat yang diajukan penulis situs tersebut dalam membuka paparannya berkenaan masalah tadi. Katanya, "Penggunaan terminologi tertentu memberikan efek psikologis tersendiri. Selain efek psikologis, sebuah kata, istilah atau terminologi juga dapat memberikan konotasi negatif atau positif, memberikan efek menurunkan derajat seseorang atau kelompok tertentu, karena memunculkan dan menambah stigma buruk."

Bukan hanya itu, perkembangan dan berubahnya penggunaan istilah di tengah-tengah masyarakat dengan rasa bahasa dan nilai yang berbeda, juga, mencerminkan terjadinya perkembangan dan perubahan perspektif di masyarakat. Dalam kasus berubahnya penggunaan istilah lonte atau pelacur ke WTS dan kemudian menjadi PSK, misalnya, stigma buruk itu lebih kuat pada istilah lonte, pelacur, dan WTS. Sedangkan dengan istilah PSK, stigma buruk itu terkesan memudar meski masih terasa aneh.

Akan tetapi muncul beberapa hal yang membutuhkan diskusi mendalam:

1. Yang namanya martabat memang bertingkat-tingkat dari kurang bermartabat ke tingkat sangat bermartabat. Jadi betapa pun tidak sesuai dengan nilai-nilai agama dan norma sosial, perilaku mengkomersilkan layanan seks tentu masuk dalam kisaran tingkatan martabat tadi, lebih tegasnya dalam nilai dan norma sebagai kurang bermartabat menurut kaca mata nilai agama dan norma sosial mainstream. Persoalannya kemudian, apakah kita butuh menggunakan istilah ‘PS atau Pekerja Seks’ dan mengubur istilah lonte, pelacur, WTS, dan PSK, sehingga perilaku dan pelakunya terangkat martabatnya dan lebih bermartabat?

2. Adalah benar bahwa ketika istilah lonte, pelacur, dan WTS diganti menjadi PSK bahkan Pekerja Seks (PS), maka linier artinya terjadi peralihan perspektif dari yang semata-mata nilai agama dan norma sosial dan mengesankan nilai dan citra buruk menjadi berperspektif profesi (pekerjaan) tanpa ada kesan buruk maupun baik sama sekali. Pertanyaannya adalah, apakah kita akan mendisain komunitas sosial yang menganggap layanan seks di luar nikah sebagai profesi?

3. Kelaziman orang dewasa - untuk berbagai kebutuhan masing-masing - membutuhkan hubungan seks. Maka agama dan negara mengakomodir kebutuhan itu dalam disain substansi dan prosedur pernikahan sehingga bersesuaian dengan nilai agama dan norma sosial. Dalam hal ini, hubungan seks di luar nikah dan keberadaan lonte, pelacur, WTS, PSK, maupun PS adalah penyimpangan agama dan sosial. Dengan demikian, bagaimana agar bentuk penyimpangan tersebut berkurang bahkan hilang, dan semaraklah hubungan seks di dalam pernikahan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun