Mohon tunggu...
Maria Dini Gilang Prathivi
Maria Dini Gilang Prathivi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

a grenade :D

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tragis, namun Menghidupkan: "The Fault of Our Stars" Movie Review

6 Juli 2014   00:18 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:19 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“There are infinite numbers between 0 and 1. There's .1 and .12 and .112 and an infinite collection of others. Of course, there is a bigger infinite set of numbers between 0 and 2, or between 0 and a million. Some infinities are bigger than other infinities. A writer we used to like taught us that. There are days, many of them, when I resent the size of my unbounded set. I want more numbers than I'm likely to get, and God, I want more numbers for Augustus Waters than he got. But, Gus, my love, I cannot tell you how thankful I am for our little infinity. I wouldn't trade it for the world. You gave me a forever within the numbered days, and I'm grateful.” John Green, The Fault in Our Stars
Inilah buku pertama yang membuat saya menangis.Terkadang saya memang menangis saat harus dihadapkan dengan film-film yang berakhir tragis, namun menangis di akhir sebuah buku? Belum pernah sama sekali. Saya suka membaca, fiksi terutama, dan sempat beberapa kali membaca kisah sedih. Sebut saja The Kite Runner oleh Khalled Hosseini. Namun, The Fault of Our Stars benar-benar hadir dengan nuansa yang berbeda. Tokoh-tokohnya terasa begitu dekat. Muda, datang dari kalangan biasa.
Hazel Grace, yang diperankan oleh Shailene Woodley, adalah remaja biasa, dengan keinginan yang biasa, namun peruntungan yang berbeda dengan kita. Menderita kanker paru-paru semasa kecil dan tumbuh dengan paru-paru basah akut membuatnya tidak bisa dipisahkan dengan tabung oksigen lengkap dengan selangnya yang terus dikalungkan di leher, juga Phalanxifor, obat yang sangat bisa mencegah penyakitnya menjadi semakin parah. Apatis dengan kehidupan, membuat Hazel Grace menarik diri dari pergaulan dengan teman-teman sebayanya.
Namun, yang namanya kisah cinta... Semua hal yang biasa itu menjadi luar biasa saat nasib mempertemukan Hazel dengan Augustus Waters (yang diperankan oleh Ansel Esgort), seorang lelaki humoris yang selamat dari bahaya kanker dengan mengamputasi kaki kanannya di sebuah kelompok dukungan untuk penderita kanker. Klasik dan mudah ditebak, mereka pun jatuh cinta. Hazel dengan segala keterbatasannya, Gus dengan segala penerimaannya. Hazel dengan segala keegoisannya, Gus dengan segala kesabarannya. Ansel Esgort benar-benar berhasil memerankan sosok lelaki pujaan semua wanita dengan senyumnya yang nyaris tak pernah berhenti tersungging selama film berlangsung.
Film  yang dipenuhi dengan ungkapan-ungkapan yang membuat merinding ini lengkap menggambarkan konflik psikologis seorang penderita penyakit yang mematikan. Keinginan mereka untuk bertahan dan berbuat sesuatu untuk dirinya sendiri, yang sangat sulit dilakukan karena segala keterbatasannya,  mimpi mereka untuk dikenang, terlebih lagi ketakutan mereka akan dilupakan.
Layaknya di novel, plotnya terasa agak lebih lambat di awal sampai bagian tengah film, namun semakin ke belakang, emosi kita semakin diaduk dengan kejadian-kejadian mengejutkan yang mengarah puncak kesedihan di akhir cerita.
Ini memang kisah tragis, namun menghidupkan. Kisah sedih, namun tidak mematahkan semangat. Ada beberapa pelajaran berharga yang saya dapatkan dari film ini:
The thing about the pain, it demands to be felt...
Kadang memang kita harus merasakan sakit, untuk menjadi lebih tegar. Kadang kita memang harus merasakan sakit, supaya kita memiliki kekuatan untuk merasakan sakit yang lebih lagi di masa mendatang.
Jangan pula memiliki ketakutan akan dilupakan, sepanjang kita melakukan hal yang baik kepada semua orang, pasti akan ada satu atau dua orang yang akan tersenyum mengenang kita, disaat nanti kita - seperti orang yang lain juga - harus meninggalkan dunia ini.
There will come a time when all of us are dead. All of us. There will come a time when there are no human beings remaining to remember that anyone ever existed or that our species ever did anything. There will be no one left to remember Aristotle or Cleopatra, let alone you. Everything that we did and built and wrote and thought and discovered will be forgotten, and all of this will have been for naught. Maybe that time is coming soon and maybe it is millions of years away, but even if we survive the collapse of our sun, we will not survive forever. There was time before organisms experienced consciousness, and there will be time after. And if the inevitability of human oblivion worries you, I encourage you to ignore it. God knows that’s what everyone else does.
[caption id="" align="aligncenter" width="507" caption="one sick love story"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun