Mengutip dari Kompasiana.com, bahasa tidak formal cenderung kurang terstruktur dan kurang memperhatikan tata bahasa yang benar. Hal ini dapat menyebabkan generasi muda mengalami kesulitan dalam menulis atau berbicara dengan bahasa yang baik dan benar. Ketidakmampuan ini bukan hanya berdampak pada kemampuan komunikasi sehari-hari, tetapi juga pada prestasi akademik. Dalam ranah pendidikan, kemampuan untuk menggunakan bahasa Indonesia baku sangat penting, karena hal ini memengaruhi cara siswa menyampaikan ide dan argumen secara jelas dan efektif. Lebih jauh lagi, kebiasaan menggunakan bahasa gaul dapat menciptakan jarak komunikasi antara remaja dengan orang dewasa atau dalam situasi formal lainnya. Remaja yang terbiasa dengan gaya bahasa santai mungkin merasa canggung atau tidak percaya diri ketika harus berbicara dengan senior atau dosen. Hal ini dapat menghambat perkembangan keterampilan komunikasi interpersonal yang diperlukan dalam dunia kerja maupun kehidupan sosial.
Kemudian, dibuat juga survei menggunakan metode kuantitatif melalui kuesinoer untuk mengetahui interferensi penggunaan bahasa gaul pada kalangan mahasiswa di Daerah Istimewa Yogyakarta, berikut data yang diperoleh dan telah dikumpulkan.
Hasil kuesioner yang melibatkan 23 mahasiswa di Daerah Istimewa Yogyakarta, menunjukkan bahwa penggunaan bahasa gaul telah menjadi sesuatu yang sangat umum di kalangan remaja. Seluruh responden mengakui pernah mendengar dan menggunakan istilah bahasa gaul, menandakan bahwa bahasa ini telah mengakar kuat dalam komunikasi sehari-hari. Faktor utama yang memengaruhi fenomena ini adalah lingkungan pertemanan dan media sosial. Lingkungan pertemanan memberikan ruang bagi remaja untuk berekspresi secara bebas, menggunakan bahasa gaul sebagai simbol solidaritas dan identitas kelompok. Dalam pergaulan sehari-hari, bahasa gaul tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga mencerminkan dinamika sosial yang berkembang.
Media sosial juga memainkan peran signifikan dalam penyebaran bahasa gaul sebagai sarana utama bagi remaja untuk memperkenalkan dan mempopulerkan istilah-istilah baru. Kosakata seperti bucin, mager, sotoy, bokap, nyokap, japri, cmiiw, serta pansos muncul melalui tren viral, meme, atau konten populer yang beredar di media sosial. Proses adopsi ini sangat cepat, istilah yang baru muncul dapat dengan mudah menyebar luas dalam hitungan hari atau bahkan jam. Penggunaan bahasa gaul di media sosial juga memperkuat identitas digital para remaja, yang sering kali menggunakan istilah-istilah ini untuk menunjukkan keterkaitan dengan tren atau komunitas tertentu. Kosakata bahasa gaul yang paling sering digunakan oleh remaja Yogyakarta mencerminkan pola adaptasi dan kreativitas linguistik. Istilah seperti anjay dan njir merupakan modifikasi dari kata-kata kasar yang diubah menjadi lebih ringan dan dapat diterima dalam percakapan informal. Kata mager adalah bentuk singkatan dari malas gerak, yang menunjukkan kecenderungan untuk menyederhanakan ekspresi dan menciptakan efisiensi dalam berbahasa, hal ini memperlihatkan bagaimana bahasa gaul tidak hanya menambah warna dalam komunikasi, tetapi juga menjadi cerminan dari dinamika budaya pop yang terus berkembang.
Penggunaan bahasa gaul di kalangan remaja, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta telah menjadi fenomena yang menarik. Bahasa gaul yang merupakan bentuk komunikasi informal yang sering digunakan oleh kelompok sosial tertentu sudah mengakar kuat dalam budaya remaja dan semakin berkembang seiring dengan kemajuan teknologi dan media sosial, penting untuk merumuskan solusi yang dapat membantu menjaga keseimbangan antara penggunaan bahasa gaul dan bahasa Indonesia baku, terutama dalam situasi akademik. Pertama-tama, pendidikan bahasa di sekolah-sekolah perlu diperkuat dengan pendekatan yang lebih komprehensif. Kurikulum harus dirancang sedemikian rupa agar siswa tidak hanya diajarkan tata bahasa dan kosakata formal, tetapi juga diberikan pemahaman tentang perbedaan antara bahasa gaul dan bahasa baku. Melalui pengajaran yang kontekstual, siswa dapat memahami kapan dan bagaimana menggunakan kedua bentuk bahasa tersebut secara efektif. Misalnya, dalam pelajaran bahasa Indonesia, guru dapat memperkenalkan istilah-istilah gaul yang populer di kalangan remaja dan menjelaskan padanan kata dalam bahasa formal. Dengan cara ini, remaja sebagai generasi penerus bangsa akan lebih mudah mengaitkan penggunaan bahasa gaul dengan kehidupan berbahasa di lingkungan sosial mereka tanpa mengabaikan keharusan untuk berkomunikasi dengan baik dalam situasi formal. Penting juga untuk melibatkan orang tua dan masyarakat dalam upaya menjaga penggunaan bahasa yang baik. Sosialisasi mengenai pentingnya berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia baku perlu dilakukan agar orang tua dapat memberikan contoh yang baik bagi anak-anak mereka. Di sisi lain, media sosial sebagai platform komunikasi yang dominan di kalangan remaja harus dimanfaatkan secara positif. Kreativitas dalam menggunakan media sosial bisa diarahkan untuk mempromosikan penggunaan bahasa Indonesia baku melalui konten-konten menarik seperti video edukatif atau kampanye hashtag yang mendukung penggunaan bahasa yang baik. Dengan demikian, remaja dapat terinspirasi untuk mengekspresikan diri mereka tanpa kehilangan identitas budaya.
Simpulan
Bahasa gaul di kalangan remaja Daerah Istimewa Yogyakarta merefleksikan dinamika budaya lokal dan global yang saling memengaruhi. Penggunaan bahasa tersebut tidak hanya mencerminkan identitas kelompok dan solidaritas sosial, tetapi menghadirkan tantangan dalam penggunaan bahasa Indonesia baku, khususnya di lingkungan akademik. Untuk menjaga keseimbangan ini, diperlukan kesadaran akan peran masing-masing ragam bahasa. Pendidikan dan lingkungan sosial harus mendorong remaja memahami ranah penggunaan bahasa formal dan informal. Bahasa gaul bukan sekadar tren, melainkan bagian dari ekspresi budaya yang jika dikelola dengan baik, dapat memperkaya komunikasi tanpa mengorbankan identitas bahasa resmi.
Daftar pustaka:
Suratno. (2016). Bahasa Gaul dan Implikasinya terhadap Bahasa Indonesia. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 2(1), 23-34.
Kridalaksana, H. (1984). Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.