Mohon tunggu...
Muhammad Dwi Adriansyah
Muhammad Dwi Adriansyah Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa UPS Tegal

Seorang Manusia Biasa yang ingin berkarya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pantaskah Kita Merdeka?

21 Mei 2018   16:17 Diperbarui: 21 Mei 2018   16:19 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sinar mentari pada siang itu bersinar dengan cerahnya. Di dalam sebuah ruang keluarga di suatu rumah terdapat seorang lansia yang sudah berumur 75 tahun sedang duduk menikmati hari tuanya sembari mendengarkan berita di radio bututnya yang masih berfungsi. Lansia tersebut biasa dipanggil dengan nama Mbah Jalu. Berita yang didengarkan oleh Mbah Jalu tersebut memuat berbagai macam problematika yang menghantui Indonesia Raya ini. Sehingga terkadang berita tersebut membuat Mbah Jalu menggeleng-gelengkan kepalanya.

Saat Mbah Jalu sedang seriusnya menonton siaran berita pada siang itu, Ia dikejutkan dengan suara bantingan tas cucunya yang bernama Fido.

"Astagfirullahaladzim. Kamu kenapa, Do? Pulang dari sekolah bukannya ucapkan salam malah mengagetkan Mbah"

"Iya, maaf Mbah. Habis Fido kesal dengan teman Fido" jawab Fido ketus.

"Kamu kesal kenapa emangnya? Coba sini ceritakan ke Mbah. Mungkin saja Mbah bisa membantumu"

Fido yang pada saat itu berada di depan pintu mulai masuk dan mengambil tasnya. Ia kemudian mendekati Mbah Jalu yang pada saat itu masih duduk menyender sembari mendengarkan radio. Fido kemudian mencium tangan Mbah Jalu dan duduk di sebelahnya.

"Nah, ayo coba ceritakan kenapa kamu bisa kesal dengan temanmu" kata Mbah Jalu sembari mengelus-elus kepala Fido yang saat itu menyender di bahu Mbah Jalu.

"Mbah, kenapa sih kita selalu miskin? Fido kan jadi kesal selalu saja diejek sama teman Fido karena Fido anak orang miskin"

"Lho, Emang kenapa kalau kita miskin? Dan kalau kita kaya, apakah itu bisa menjadikan kita orang yang bahagia? Memang benar bila kita kaya kita akan bahagia. Semua kebutuhan pasti akan terpenuhi. Tapi kekayaan itu hanya bersifat sementara saja. Bila sudah waktunya untuk dikembalikan, kamu bisa apa? Yang ada bila kita gila harta, apapun caranya pasti akan ditempuh agar kita tidak kehilangan harta kita dan kembali jatuh miskin"

Mendengar ucapan Mbah Jalu membuat Fido terdiam seribu kata. Dia sekarang mengerti dan mulai terukir senyuman di wajahnya yang sebelumnya cemberut. Namun, tiba-

tiba ia kembali bermuka masam ketika terdapat suatu berita yang ia dengar melalui radio butut milik Mbah Jalu dan ia sangat ingin untuk menanyakannya kepada Mbah Jalu.

"Mbah. Apakah aku boleh menanyakan sesuatu hal?" Tanya Fido agak gugup

"Tanyakanlah. Kau ingin bertanya apalagi kepadaku?"

"Tetapi aku takut apabila nanti Mbah tidak menyukai pertanyaanku. Aku takut bila nanti Mbah memarahiku"

"Hahahaha. Kau ini, belum saja kau bertanya sudah mempunyai pikiran yang negatif saja. Tak apa-apa, tanyakanlah sesuka hatimu"

"Baiklah. Mbah, mmm. Pantaskah..."

"Pantaskah kenapa?"

"Pantaskah kita merdeka sekarang ini, Mbah?"

Kali ini pertanyaan Fido membuat Mbah Jalu terdiam seribu bahasa. Mbah Jalu yang semula menunjukkan senyumnya kini hilang begitu saja terhapus dari raut mukanya yang sekarang telah berganti dengan wajah penuh dengan amarah bercampur dengan kesedihan. Nafasnya kini mulai tidak beraturan dikarenakan perasaannya yang telah campur aduk. Ia sangat kaget atas pertanyaan yang dilontarkan oleh Fido kepadanya. Ia seolah tidak percaya bocah seumuran Fido yang saat ini berada di bangku SMP bertanya seperti itu.

Fido yang melihat ekspresi Mbah Jalu yang mulai berubah 180 derajat langsung menundukkan kepalanya karena takut bertatapan muka dengan Mbah Jalu. Ia menyadari akan pertanyaannya yang sangat menyinggung hati Mbah Jalu. Tetapi, ia sangat ingin menanyakan hal itu dikarenakan rasa penasarannya yang tinggi akan kemerdekaan yang selama ini diperoleh Bangsa Indonesia apakah masih pantas untuk disebut sebagai bangsa yang merdeka mengingat masih banyaknya korupsi dan hukum yang tidak adil bagi rakyat kecil.

"Kau menanyakan pantaskah kita merdeka?! Apa itu yang ingin kau tanyakan kepadaku setelah semua perjuangan yang Mbah dan para pejuang-pejuang lainnya lakukan terhadap bangsa ini?! Siapa yang mengajarimu berkata seperti itu?! Dan kenapa dengan beraninya kau menanyakan hal seperti itu! Kita sudah MERDEKA. KITA SUDAH MERDEKA, FIDO! Janganlah kau pertanyakan lagi kebenaran kemerdekaan bangsa kita ini!" seru Mbah Jalu penuh dengan amarah yang bergejolak di hatinya.

"Tapi mengapa kita masih tidak merasakan kebebasan, Mbah? Mengapa kita selalu tertindas oleh kekejaman penguasa bangsa ini, Mbah? Bukankah kalau kita merdeka kita dapat merasakan kebebasan yang hakiki, tetapi yang kita dapatkan kini hanyalah sebuah keterpaksaan untuk hidup di bangsa ini Mbah. Apakah itu pantas disebut sebagai kemerdekaan?" jawab Fido gemetar

Mendengar pernyataan yang dilontarkan oleh Fido membuat Mbah Jalu terdiam kembali. Kali ini ia merasa bahwa perkataan Fido benar. Memang bangsa ini telah merdeka, tetapi itu hanyalah sebatas angin yang lewat begitu saja.

Petinggi negeri ini menurutnya sudah sangat keterlaluan. Mereka tidak mengerti makna sebenarnya Proklamasi Kemerdekaan yang dikumandangkan oleh Ir. Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945. Yang mereka tahu hanyalah kepentingan mereka sendiri tanpa memperhatikan dampak yang terjadi kepada rakyat kecil yang semakin lama semakin menderita seperti dirinya dan Fido.

Tubuh Mbah Jalu yang semula tegang karena amarahnya yang meluap kini berangsur melemas kembali karena Mbah Jalu tidak mampu untuk menjawab argumen Fido. Mbah Jalu menghela nafas panjang dan matanya terlihat berkaca-kaca karena ia kembali teringat perjuangannya bersama dengan para pejuang lainnya pada saat masa penjajahan bangsa asing yang berkuasa di Indonesia saat ia dilahirkan.

"Fido, maafkan Mbah atas perkataan Mbah tadi. Mbah sangat kecewa saat kamu bertanya seperti itu mengingat besarnya perjuangan yang Mbah dan para pejuang lainnya lakukan untuk mengusir para penjajah dari bangsa kita ini. Bahkan bila kamu mau tahu saat kami mengusir para penjajah yang saat itu berkuasa di negeri ini pikiran kami hanya satu, merdeka atau mati. Namun Mbah sadar, memang benar bahwa bangsa ini memang sudah merdeka Fido. Hanya saja kita masih harus berjuang untuk menghadapi era dimana korupsi merajalela dan ditambah dengan keadaan ekonomi yang masih buruk" jawab Mbah Jalu sembari memeluk Fido yang saat itu masih gemetar tubuhnya karena takut kepada Mbah Jalu.

Fido hanya terdiam dengan tubuhnya yang masih bergetar. Ia masih mencerna perkataan yang Mbah Jalu katakan kepadanya. Baginya, Indonesia yang sekarang belum bisa dikatakan merdeka karena kebengisan para petinggi negara yang meraup keuntungan untuk dirinya sendiri. Sehingga rakyat kecillah yang menerima akibat dari para petinggi yang korup tersebut.

Rasa haru akhirnya tidak bisa Fido tahan lebih lama. Air mata menetes dari pelupuk matanya diiringi dengan tarikan nafasnya yang berat. Mbah Jalu yang masih memeluk Fido kemudian mengatakan bahwa Fido harus berjanji agar kelak dapat mengharumkan nama Indonesia dengan kerja kerasnya sendiri. Anggukkan kepala Fido menandakan kesediaannya untuk memenuhi janji yang Mbah Jalu berikan kepadanya. Di dalam hatinya Fido berjanji untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa yang sangat ia cintai ini.

"Sudahlah, Fido. Usap air matamu itu. Negara ini tidak ingin melihat putra emasnya menangis. Tetapi negara ini butuh kamu untuk maju membela dan membawa nama baiknya di mata dunia. Mbah berharap kepadamu agar kamu dapat sukses dikemudian hari nanti" kata Mbah Jalu sembari membelai rambut hitam Fido.

Fido kemudian menghapus air matanya dan mulai tersenyum kembali. Ia sangat bangga dapat hidup bersama seorang Mbah Jalu yang sangat menyayanginya dan juga menyayangi negaranya. Fido lalu mengambil tas yang ia sandarkan di dinding dekat Mbah Jalu duduk dan pamit kepada Mbah Jalu untuk pergi ke kamarnya. Setelah ia melangkahkan kakinya menuju kamarnya, Fido mendengar lagu Rayuan Pulau Kelapa yang mengalun dengan merdu dari radio tua milik Mbah Jalu.

Sepuluh tahun telah berlalu, kini bangsa Indonesia telah mengalami perubahan yang lumayan signifikan. Peralatan-peralatan modern telah memasuki bangsa ini. Bangsa Indonesia yang dahulu masih belum mengenal apa itu teknologi modern, kini telah mengerti kemajuan teknologi yang berkembang saat ini. Beragam penemuan modern seperti handphone, televisi, internet, dan alat-alat transportasi kini telah menyebar luas di Indonesia.

Sepeninggalnya Mbah Jalu lima tahun silam masih membuat hati Fido menangis. Ia masih mengingat kejadian-kejadian suka maupun duka yang ia alami bersama Mbah Jalu. Ia juga masih mengingat janji yang ia tekadkan dalam hatinya saat Mbah Jalu memberikannya nasihat. Kini ia dapat membuktikannya kepada Mbah Jalu. Sekarang ia merupakan seorang dokter yang akan selalu mengabdi bagi bangsa Indonesia.

Pengobatan yang diberikan oleh Fido kepada masyarakatnya terkadang tidak dibayar dengan uang. Sebuah senyuman dan ucapan terima kasih dari pasiennya yang berobat kepadanya pun dapat menjadi sebuah materi yang tidak terhitung harganya daripada sebuah uang. Fido kini menjadi seorang dokter yang bersedia untuk tidak dibayar oleh pasiennya

yang kebanyakan dari golongan masyarakat kecil. Itulah bentuk pengabdian Fido untuk bangsa Indonesia yang sangat ia cintai keberadaanya.

Bagi Fido, melihat senyuman dari para pasiennya yang datang di kliniknya sudah membuat hatinya sangat bahagia daripada ia harus membebankan biaya kepada pasiennya dan tidak dapat melihat sebuah senyuman walaupun sekecil apapun. Ia sangat mengetahui bagaimana susahnya saat ia menjadi masyarakat kecil sewaktu ia masih bersama Mbah Jalu dahulu. Berbagai macam problema datang silih berganti menemuinya dan Mbah Jalu. Dari hal itulah ia ingin membantu rakyat kecil agar dapat memberikan kesejahteraan kepada mereka.

"Indonesia, inilah usahaku untuk mengurangi penderitaanmu selama ini. Aku harap kau dapat ceria suatu saat nanti. Karena aku yakin, akan ada beribu-ribu pemuda-pemuda yang akan menopangmu dari bawah agar kau berdiri dengan tegak di atas langit. Semoga kau akan terus berjaya hingga akhir nanti" ucapku dalam hati untuk Indonesiaku yang indah nan damai ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun