Mohon tunggu...
Mohammad Afif Hidayatulah
Mohammad Afif Hidayatulah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Manusia Abadi dalam kebahagiaan

Bismillah lancar jaya dalam segala hal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hidup Terlalu Indah

15 Juli 2021   18:54 Diperbarui: 15 Juli 2021   19:09 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sinopsis : Seorang pria muda berjuang mempertaruhkan nyawa dan harga dirinya dari siksaan yang begitu menyakitkan. Cerita ini di angkat dari kisah nyata penulis cerpen.

Di suatu malam aku sedang bersantai di 0 km Yogya dengan teman-temanku menikmati indahnya langit malam.

Awalnya aku merasa terusik, aku merasa ada aura negatif yang merasuki jiwaku, aku merasa ini tidak biasa. Aku mencoba untuk tetap fokus berdiri di tempat yang ramai ini menikmati keseruan yang ada. Lama lama aura itu sangat menganggu dan membuatku tidak nyaman, aku seperti orang yang sedang kesurupan dan tidak bisa terkontrol.

Tanpa basa-basi aku berlari sekuat kuatnya menerjang badai dan aku tak tahan jika terlalu lama di sini. Aku tidak tenang di tempat yang ramai seperti ini, aku tak nyaman.

Aku ingin berteriak tapi aku menahannya di dalam hati, aku berlari tanpa henti dan terus mencari.

Aku sangat gundah dan khawatir dengan semua ini, aku harus bisa aku harus berlari terus mencari cari aura apa yang menggangguku ini.

Aku mengerahkan semua kekuatanku tak mampu mendengarkan perkataan orang-orang di keramaian ini. Aku merasa malu, aku benci dengan kondisi ini, aku tetap harus terus berlari tanpa henti dan terus mencari kesana kemari.

Semakin jauh aku berlari semakin membuatku merasa hancur. Aku ingin sekali berhenti dan sudah sangat lelah. Kapan aku menemukan apa yang kucari untuk memperbaiki kegundahanku di tempat yang ramai ini.

Tak ada satupun yang mengerti keadaanku, jikapun ada yang mengerti pasti mereka sangat mengerti bagaimana perasaanku ini dan pasti mereka ikut berlari bersamaku dan mencarinya bersamaku tetapi mereka tidak mengerti apa maksudku, karena aura ini hanya datang menghampiriku.

Kemana aku harus mencari, tak ada teman yang mengerti, aku sudah sangat bosan mencari. Aku ingin menangis tapi berusaha jangan sampai menangis. Aku tak boleh menyerah, jika aku menyerah selesai sudah.

Di situasi yang genting ini aku memutuskan berhenti mencari dan memilih pulang saja. Aku pulang dengan rasa lelah, berjalan sambil merintih berkeringat deras, mataku tak mampu memandang apa-apa hanya kesakitan yang sungguh menyakitkan yang ku rasa.

Kakiku gemetar sudah sangat susah untuk bergerak. Kedua tanganku mengepal dengan keras dan nafas yang menggebu-gebu di hiasi mata merah dan bekaca kaca.

Aku sampai di rumah dengan sangat lemas dan lelah, aku sadar tenagaku sudah habis, aku berjalan dengan sabar sambil berkata kasar dan merintih bahkan kepalan tanganku tetap mengepal dengan keras. Aku sudah tidak kuat dan hanya bisa pasrah jika nyawaku di ambil hari itu.

Aku melihat sebuah ruangan gelap tak bercahaya, aku berjalan perlahan masuk ke ruangan gelap itu, udara dingin membelai seluruh ragaku dan disaksikan oleh para penghuni penghuninya. Aku menyalakan lampu dengan sisa kekuatanku yang masih tersisa.

 

Lantas aku membuka celanaku, dan duduk di closet WC tercintaku~~

Untung tidak pecah di jalan. Jika hal itu terjadi maka selesai sudah. Hal ini benar benar membuatku merasa lega

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun