Untuk Anakku – Ahnaf Raditya Fadlurrahman
Sumber: Menuju Lelorong Sunyi, 2012, hal 33-36
Ada dengung seringkali kita dengar, diketika engkau duduk di pangkuan.
Puja-puji beriring cerita perjalanan Nabi. Orang-orang desa bersukaria,
melantun tembang di hening malam.
Mengoyak derum sungai yang mendebur ke genderang telinga.
Suara orang-orang desa lebih keras lagi.
Teriakan di ujung pengeras suara yang parau –
penuh kesombongan. Anakku, apa mereka pikir,
kalau Tuhan kita tuli? Mereka memanggil keras-keras, seolah berada di puncak jauh.
Marilah sayang, anakku
kita coba berjalan sejenak menuju rumah Nabi
lalu kita sama-sama menyibak tirai.
Marilah sayang, anakku
kita sama mengintip dari sana;
bagaimana kelembutannya, bagaimana pelan perulangan suaranya.
selalu ia berpesan,
bahwa Ia dzat Maha Mendengar dan Maha Mengetahui
karena Tuhanmu mengetahui apa yang disembunyikan dan apa yang mereka nyatakan.
Pelankan suaramu, sayang, anakku...
Pelankan, Tuhan kita, Maha Lembut.
Sayang, anakku.
Di jalan-jalan,
di toko-toko,
di rumah-rumah.
Di masjid-masjid pun
kita seringkali melihat gemerlap dunia
jadi kebanggaan.
Kemiskinan seolah hina,
seperti mata setan melihat tanah.
Kita pun menemu, sayang, anakku, dunia dijadikan tempat berpesta pora.
Ber-orgy dalam kesenangan, permainan, persaingan.
Gemerincing emas dan perak membuat kepala seringkali setegak beton-beton yang ditanam.
Angkuh dan sombong.
Seperti kita ini, lupa akan tanah, dari mana tubuh-tubuh indah dicipta.
Marilah sayang, anakku
sekali lagi kita menempuh sunyi
mengunjungi rumah Nabi.
Dan mengintip dari tirainya:
sayang, anakku lihatkah
bagaimana perabotannya,
bagaimana baju-baju yang dikenakannya
berapa yang tersulap tambalan –
bagaimana kasarnya?
Anakku sayang, kamu dengar
Dentum lambung menahan lapar dan
bagaimana jawabnya ketika ada orang yang mencintainya?
“Bersedialah untuk miskin”
Sayang, anakku
dengarkah engkau?
lihatkah engkau?
Dalam temaram itu, dibawah lelampu berpendar sombong
seringkali kita mendengar teriakan garang atas kecintaan mereka
pada Nabi,
mereka menjadikan dunia tempat berpesta pora, sedang –
Nabi menjadikan dunia setapak jalan dilalui
hanya dilalui, tidak menghentikan perjalanan.
Dan bagaimana kita-kita, sayang, anakku?
Berhenti di dunia, memandang kagum sampai jatuh cinta
tersembunyikan
untuk bernikmat-nikmat dan ditipu di sana.
Sayang anakku, marilah kita mengunjungi rumah Nabi.
Mengintip dari tirainya
untuk terus melangkah maju mengikuti
meninggalkan dunia seperti Nabi mengajak kita
dalam pesan yang seringkali kita dengar,
bahwa kesenangan dunia itu sedikit
bahwa yang terus meminta dalam keadaan kaya,
sesungguhnya ia memperbanyak bara neraka...
Sayang anakku,
mari kita berjalan kembali
sebab dunia ini jalan
bukan tujuan – marilah sayang, anakku
kita mengikuti Nabi berjalan lurus sampai jauh
ke asal kita, tempat dimana sebelum Bapak dan Ibu
di tipu setan!
Marilah sayang, anakku kita mengikuti.
Biar lekas kembali bertahta dan memandang permata terjaga,
selamanya!
Lengkong – Banjarnegara, 2012.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H