“Lama tidak bersua, Kawan. Bagaimana kabarmu?” tanyaku, ikut duduk di sampingnya.
“Berusaha untuk tetap bergerak. Ombak ini, terus saja bergulung meski ada batu atau tajam karang menghadang. Tidak ada protes. Aku juga tidak mendengar keluhannya. Bergerak dan terus merangsek ke depan.” Aku lihat senyumannya, sudah berbeda. Kini lebih sederhana. “Kamu?”
“Aku? Heh, idem, Din. Tidak ada bedanya.”
“Aku sedang belajar.” Ucapnya lagi, menikmati lautan dan langit. Di sana ada cakrawala. “Teruslah meraih kesempatan sebelum waktu mendesak, sebab ia seperti jatah air. Kita menenggaknya setiap hari. Pasti habis. Aku dijadikan murid di sini. Meski merasa sesuatu itu terlambat, tapi ternyata tidak. meski tinggal sekedip mata.”
“Masih dengan impianmu yang dulu, Din?”
“Masih. Meski di ambang batas hidup. Terus aku bermimpi.”
Aku mencium sesuatu di udara namun tidak dapat aku terjemahkan. Entah, itu kedukaan atau justru kepasrahan hidup yang gemilang. Angin yang lewat menjadi penuh dengan teka-teki. Pertemuan yang janggal di saat yang tidak aku duga. Ia begitu sering berkunjung ke pantai ini. Menatap ombak yang pecah. Berhamburan ke udara. Sabahat lama itu, menerima dengan wajah kurus dan pucat. Benarkah kabar itu?
“Kadang kita terlalu resah dengan hidup yang penuh ketidak-pastian.” Ucapnya pelan, pandangannya tetap jauh ke cakrawala. “Aku cukup tenang, kematian itu begitu pasti. Kepastian.”
Aku tidak bisa mengatakan apa pun. Selain menepuk bahunya yang lebih kurus dari lima tahun yang lalu. [Catatan Perjalanan | Dhian Hari M.D. Atmaja]
05 Juni 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H