Oleh M.D. Atmaja
Konon, hidup seperti sebuah permainan dimana manusia dituntut bergerak di dalamnya. Permainan yang membawa kita untuk masuk ke dalam berbagai keadaan, kadang menguntungkan dan juga terkadang sangat memojokkan sampai membuat kita menangis tersedu, atau marah dalam kekecewaan hebat. Namun, saya hanya bisa menghela napas ketika menghadapi kenyataan lain, kenyataan kolektif yang sungguh menyakitkan. Sudah enam puluh lima tahun, kita berbangga dengan perjuangan kemerdekaan sampai pada puncak revolusi terindah itu, Soekarno-Hatta mewakili rakyat Indonesia memproklamasikan kemerdekaan bangsa.
Begitu banyak korban yang telah diberikan para leluhur dalam merengkuh arti dari sebuah kata: merdeka. Terlalu banyak yang dibayarkan, sampai setiap generasi yang uforia dengan modernitas tidak akan sanggup melakukan pembayaran atas pengorbanan itu. Setiap darah yang menetes dari luka dan air mata, setiap sayatan, setiap penderitaan begitu agung di angkasa raya Indonesia. Namun, semua itu telah terdengar sebagai dongeng belaka. Kemerdekaan tidak menawarkan apa pun selain pertukaran tirani yang dahulu jauh di Nederland, sekarang tinggal setanah dengan kita. Pun, dari bangsa kita sendiri.
Sampai saya bertemu pengalaman fenomenologis yang sungguh menyakitkan. Tidak sekedar seperti yang Taufik Ismail bilang, yang mengatakan kita belum merdeka. Jauh lebih menyakitkan ketimbang itu, kalau ternyata saya berpapasan dengan sandiwara kemerdekaan, mungkin sandiwara proklamasi yang selama ini dibangga-banggakan. Pengalaman yang memberikan tamparan keras kemudian berpikir, “Kenapa kita tidak memberontak saja? Rakyat miskin, orang-orang desa, petani, buruh, nelayan, kenapa kita tidak memberontak dan mencapai kemerdekaan yang nyata?”
[caption id="attachment_821" align="alignleft" width="300" caption="“Kemerdekaan Semu” karya Iksan Brekele, 122 x 244 cm di atas hardboardcut tahun 2008."] [/caption]
Kemerdekaan yang selama ini terpampang tidak memberikan suatu perubahan yang nyata dalam kehidupan rakyat kecil, rakyat di pedesaan yang polos menerima pemerintah yang sungguh mengesampingkan mereka. Hal ini saya temukan dalam media seni grafis berjudul “Kemerdekaan Semu” Karya Iksan Brekele (2008) 122 x 244 cm di atas hardboardcut. Kondisi yang sangat memprihatinkan, membawa saya berkontemplasi ulang untuk menilik setiap tulisan yang telah saya buat. Merefleksi diri untuk mendapatkan jawaban tentang hakekat dari kemerdekaan bangsa Indonesia, bangsa kita ini.
Penggambaran realitas yang dapat diketemukan bahwa mayoritas rakyat Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan, menderita, terlunta-lunta dan tidak memiliki naungan, pun tempat untuk mengadukan persoalan. Lantas, apa gunanya sebuah negara kalau rakyatnya terpuruk dalam keterasingan dan penderitaan? Atau dibubarkan saja pemerintahan bernama Indonesia ini?
Penderitaan rakyat di tanah Indonesia yang merdeka saya pandang sebagai ketabuan yang harus diatasi. Masih banyak sekali, penggambaran dari lukisan tersebut, kenyataan kalau rakyat tidak merasakan kemerdekaan yang sebenarnya. Penderitaan di mana-mana dan tokoh Presiden memandang penderitaan rakyatnya dengan sebelah mata. Menggambangkan persoalan rakyat kecil, sampai tidak memperdulikannya. Realitas saat ini, dapat memberikan kita penggambaran itu. di mana saat banyak sekolah yang gedungnya rusak, anggota dewan justru merencanakan pembangunan gedung baru. Pun, dalam aspek ini pemerintah seolah tidak mau perduli.
Dari berbagai macam polemik, masih ada rakyat yang tidak mampu mencukupi kebutuhan pokok. Kita bisa melihat poster tuntutan untuk menurunkan harga, karena memang kemampuan ekonomi rakyat masih jauh dari sempurna. Di sana kita akan menemukan adanya berbagai bencana alam yang membuat rakyat semakin terpuruk dalam penderitaan. Terpuruk untuk jatuh dan tenggelam dalam kemelaratan, ketidak-adilan sosial.
Seorang perempuan setengah telanjang, seperti habis mandi memangku sebuah sepatu yang sebagai tonggak bagi berkibarnya merah putih, lambang kemerdekaan itu sendiri. Merah putih berkibar setengah tiang, memberikan kesan akan rasa sakit dan kesedihan. Kombinasi antara subjek merah dan putih kemudian berkolaborasi dengan sosok Presiden memberikan kita pengetahuan tersendiri. Sosok Presiden memandang setiap penderitaan rakyat dengan sebelah mata, menandakan ketidak-pedulian pemerintah pada rakyatnya.
Apa selama ini, kita merasakan manfaat adanya pemerintah bangsa selain birokrasi dan formalitas yang semu? Atau mungkin saja kemerdekaan seperti ini yang dimaksudkan, hanya semu belaka. Seolah kalau proklamasi kemerdekaan 1945 yang begitu indah dalam teks dongeng sejarah, melaju sebagai naskah drama suatu pertunjukan yang seringkali dimainkan komunitas teater. Sekedar sandiwara saja, tidak berarti apa-apa selain menjadi hiburan bagi hati yang resah.
Kalau memang kita sudah merdeka, semoga saja pemerintah yang sudah digaji dengan jerih payah rakyat dengan gaji yang mahal meskipun masih mengeluhkan gaji tidak naik, menjadi sadar dan memperjuangkan hak dan kepentingan majikan. Presiden itu hanya babu, pemerintah itu budak dan tuannya adalah rakyat. Kalau memang kita sudah merdeka, semoga para birokrat sadar dengan kebabuan yang harus mereka tanggung. Hingga, kita bisa menemukan kalau bangsa kita sudah benar-benar merdeka, tidak hanya semu, tidak hanya dalam sandiwara dongeng sejarah.
*) Ulasan lukisan berjudul “Kemerdekaan Semu” karya Iksan Brekele, 122 x 244 cm di atas hardboardcut tahun 2008.
Studio SDS – masih dalam Perjalanan Pulang, 25 April 2011
Tulisan terkait:
- LORONG WAKTU; Melihat Sisi-sisi “DEFERENSI” Iksan Brekele
- Pencapaian Kemerdekaan dengan Membunuh
- Di Sini Perempuan Yang Dihidangkan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H