Tentu sudah bukan menjadi pemikiran yang baru ketika saya di sini memulai mengungkapkan kembali mengenai nilai keuniversalan karya sastra dan skemanya sebagai suatu manifestasi dunia kehidupan. Pembacaan pada karya sastra akan membawa kita pada fenomena masyarakat atas dunia kehidupan yang dipahami seorang sastrawan sebagai salah satu agen edukasional. Saya mendasarkan ini pada pendapat Horatius yang menempatkan sastra sebagai media yang mengandungi dua nilai utama, yaitu mendidik dan menggerakkan. Berbekal nilai ini karya sastra, tidak menjadi hal yang muluk kalau, sastrawan sebagai agen edukasional bertanggung jawab sebagai “guru humanis”.Kedudukan ini merupakan suatu kehormatan bagi para sastrawan, di samping paradigma lain yang menempatkan karya sastra sebagai teks yang mensucikan jiwa manusia, khatarsis dalam bahasa Aristoteles. Mengantongi pendapat Aristoteles ini, karya sastra menempati posisi yang begitu tinggi. Tidak sekedar sebagai lembaga pengajaran bermediumkan bahasa, di dalamnya juga menanggung tanggung jawab berat. Bobot karya sastra, karena itu, dapat dilacak dari muatan edukasional yang terkandung, tentu saja edukasional yang mencerahkan. Tidak ada salahnya kalau kemudian kita mengatakan bahwa sastra memiliki kedekatan dengan agama.
Sastra dalam penyampaiannya memuat tiga faktor penting seperti yang sudah saya sebutkan di atas, yaitu mendidik, menggerakkan, dan selanjutnya mencerahkan. Tiga muatan ini akan mengarahkan kita pada sastra bertendens, mengantongi misi tertentu yang dimaksudkan oleh subjek kreator. Kita akan menemukan berbagai bentuk (sastra) propaganda, seperti yang diungkapkan Lu Hsun (1928) bahwa “semua sastra sebagai propaganda”.
Di tempat lain, Leon Trotsky mengungkapkan peran seni (dan sastra) sebagai perwujudan dari pelayanan sosial. Hal ini saya kira karena didasari oleh tiga muatan sastra tadi; melakukan pelayanan sosial dengan mendidik, berusaha menggerakkan, dan untuk mensucikan jiwa manusia.
Menjadi seorang sastrawan (pekerja sastra) bagi saya adalah sebagai suatu pilihan. Saya tidak tahu, apakan saya memiliki bakat alam atau karena faktor sosial lain. Karena menjadi pilihan itu, pekerja sastra menghadapi pilihan lain dalam menempatkan diri dan karya yang dihasilkan. Hal yang saya sadari betul sebagai tanggung jawab yang secara sadar telah saya ambil sebagai sastrawan (kalau “gelar” sastrawan itu pantas saya sandang, namun saya lebih senang disebut dengan propagandis).
KEMUNCULAN “PEMBUNUH DI ISTANA NEGARA”
Ada Pembunuh di Istana Negara, hal ini yang coba saya angkat ke dalam sebuah tema cerita, sekaligus inti dari novel (baca saja: propaganda) yang saya kreasikan. Novel ini lahir di tengah maraknya eksotis dan ekstase cinta yang menebar di dalam nuansa kesusastraan Indonesia. Hadir dalam rangka mengangkat ruh perjuangan di masa lalu ketika sastrawan memiliki keberanian untuk memainkan peran sebagai pilar penopang demokrasi. Saya menyakini, kalau sastrawan harus berani mengabil sikap, memperjelas paradigma kenegaraan sebagai warga negara untuk beroposisi atau penyokong status quo pemerintah.
Menghadapi kenyataan yang teramat nyata, sungguh terlalu banyak di kalangan sastrawan yang melepaskan kebersinggungan dengan dunia politik. Bahkan para penulis yang telah dilabeli dengan bandrol penulis paling inspiratif, penulis best-seller dan seabrek istilah lainnya, menempatkan wilayah politik dalam nuansa yang abu-abu. Saya merasa kalau banyak sastrawan yang merasa tabu berhadapan dengan masalah politik sampai terkadang hanya tersentil sedikit sebagai bumbu yang entah itu sebagai pemanis atau sebagai percikan garam.
Dengan memperkenalkan PEMBUNUH DI ISTANA NEGARA (PDIN) yang terbit tahun 2010, sebagai seorang propagandis saya merasakan kebermanfaatannya. Melalui novel itu saya berusaha menempatkan diri, memperlihatkan pada masyarakat sastra secara gamblang tentang bumi mana yang dipijak oleh M.D. Atmaja. Jelas, untuk menempatkan siapa lawan dan siapa kawan. Lawan dan kawan saya berada jauh dari peperangan dunia sastra, misalnya antara kawan Saut Situmorang (boemipoetra) VS Teater Utan Kayu (TUK). Musuh saya adalah setiap sendi kehidupan yang menjadi penghalang bagi terwujudnya “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” (PDIN, 2010: 5).
Soekarno telah memesankan pada kita untuk tidak melupakan sejarah, paradigma M-D-H (Materialisme-Dialektika-Historis) mengarahkan penulis untuk memahami realitas historis, dan juga falsafah Pancasila mengajarkan untuk menjadi “manusia”, karena itu saya memperkenalkan PDIN sebagai novel pertama. Saya yakin, bahwa sejarah bangsa Indonesia adalah sejarah perlawanan pada kesewenangan dan ketidak-adilan, sejarah perlawanan pada penindasan manusia atas manusia lain, dan saya secara sadar menempatkan PDIN sebagai mukadimah perang itu. Bahwa di tanah merah darah Indonesia, masih tersisa beberapa orang, salah satunya M.D. Atmaja sebagai propagandis, pun ada juga si Politikus Sastra (Saut Situmorang) yang belum berhasil dibinasakan. Sastra harus menempatkan dirinya, sebagai suara keadilan.
BERSAMA PDIN; PEREMPUAN, CINTA, DAN POLITIK
Penempatan novel PDIN sebagai sastra yang berada di garis politik tidak semerta-merta sebagai kedangkalan pola berpikir. Memang, tidak ada kritikus yang mengatakan kalau novel PDIN sebagai naskah penting yang memperjuangkan berbagai aspek sosial masyarakat. Tapi, apakah nilai sastra ditentukan oleh kritikus sastra yang terkadang tidak mau tahu, terkadang pula sarat dengan berbagai kepentingan? Saya rasa tidak, sastra memiliki ruhnya sendiri dan pergolakan pemikiran dan kesadaran yang akan menjawab bagaimana posisi karya di dalam kehidupan masyarakatnya.
Perempuan memiliki strukturnya yang tersendiri dalam novel ini. Tidak mencolokkan mengenai peran perjuangan dalam kebebasan seksualitas, karena saya tidak melakukan eksploitasi pada tubuh secara besar-besaran. Saya juga tidak memberikan space yang cukup besar (juga tersendiri) pada aspek seksualitas ini, namun saya tetap menyuarakan dan memposisikan perempuan dengan lebih baik.
Namun mungkin saja, ini tidak akan menjadi “perjuangan gender” seperti yang dilakukan Sastrawangi Ayu Utami melalui “Saman”nya. Tapi saya merenungi nasib, apakah harus dengan ekspolitasi tubuh dalam khasanah seksualitas sebagai gerakan pembebasan kaum perempuan?
PDIN menempatkan perempuan dalam posisi seperti ini:
Bagaimana jadinya kehidupan ini tanpa perempuan? Apakah dia [lelaki] masih mampu berdiri dan berteriak: Aku sang lelaki! (hlm. 7).
Perempuan tidak sekedar sebagai pelengkap akan hubungan seksualitas, namun dia menjadi ruh di dalam kehidupan bagi seorang lelaki. Kehadirannya bagi saya melalui PDIN adalah sebagai EMPU yang mana mengandungi kekuatan kosmis (makro dan mikro) yang kalau dalam permainan catur, perempuan adalah pemainnya sedangkan lelaki adalah bidak caturnya. Melalui pandangan ini, tidak lantas saya merendahkan lelaki, karena saya seorang lelaki, namun keberadaan perempuan jauh dari sekedar permainan seksualitas itu tadi.
Ia (perempuan) sebagai empu, yang mana memberikan pengaruh gerakan dari seorang petarung seperti Wiku Sapta Seloka. Dapat dikatakan, kalau perempuan yang bermanifestasi dalam diri Gadis Indriani membentuk dan sekaligus mengarahkan jiwa pemberontakan Wiku. Bisa kita melihat bagaimana Gadis mengembalikan semangat Wiku (yang juga suaminya). Peran tokoh Gadis membuat Wiku lebih matang dapat disaksikan dalam pandangan Wayang (hlm. 72) atau ketika Gadis menguatkan suaminya untuk tetap berani menghadapi masalah seperti dalam halaman 286:
“Ada harga yang harus kita bayar untuk sesuatu yang ada di dalam dada kita sebagai harapan”
Posisi perempuan dalam kehidupan lelaki yang saya wujudkan dalam tokoh Gadis (yang secara dominan) dan Rini merupakan suatu dialektika perjuangan tersendiri. Lelaki tidak akan menjadi lelaki tanpa keberadaan perempuan yang sebenarnya memiliki dua nilai yang sama-sama menentukan kehidupan. Kedudukan perempuan itu, misalnya:
“Tidak seperti itu!” sahut Oka sambil menggelengkan kepala. “Kehadiranmu yang selama ini menguatkanku. Membuatku mampu berdiri tegak selayaknya karang yang menerima debur ombak di setiap harinya.”
“Menjadi kuat dan rapuh secara bersamaan seperti karang, yang pelan-pelan dikikir untuk menjadi pasir.” Ucap Gadis dalam senyuman yang dilanjutkan dengan mencium kening Oka kembali. “Sebenarnya aku adalah beban yang kamu tanggung, Mas, kekuatan dan kelemahan yang datang bersama-sama.”
“Itulah titik kehidupan seorang pahlawan. Istri dan keluarga adalah nyawanya, sekaligus menjadi kematiannya.” (PDIN, hlm 303).
Perempuan saya anggap sebagai bangunan struktur estetik yang penuh dengan makna kehidupan. Perempuan hadir sebagai ruh bersama dalam cinta yang tidak dapat ditolak atau dimanipulasi. Kecenderungan dalam melakukan atau mengeksplorasi seksualitaslah yang bisa dimanipulasi untuk terlibat menjadi perek (perempuan eksperimen, jika meminjam istilah Ayu Utami), atau menuju pilihan lain untuk menjadi Empu seperti dalam sejarah bangsa Indonesia.
Gerakan yang dilakukan Kapten Agung Sutomo pun, didorong oleh rasa cinta pada perempuan. Yaitu, karena keluarga kekasihnya, melalui tokoh Rina, yang mengalami kesewenangan pemerintah. Penggusuran petani yang melahirkan kesengsaraan baru, membuat Agung berani melepaskan tembakan pada orang yang selama ini dikawal. Lantas, apakah kita masih mempertanyakan peran perempuan dalam kehidupan kita?
Dalam ruang ini sengaja saya membahasnya, sebab saya pernah mendapatkan sapaan dari Robin Al Kausar yang menulis, “Ada pembunuh cinta di Istana Negara”, yang menyatakan bahwa di sana tidak adanya suatu gerakan politik dalam tragedi usaha pembunuhan presiden. Saya memang melandaskan diri untuk memulai sesuatu berasal dari rasa cinta. Termasuk, penembakan seorang Paspampres pada Presiden.
Kenapa harus cinta? Saya tidak bermain logika di sini. Tidak pula membuat suatu perumpaan lain, bahwa adanya konspirasi besar yang sengaja dipersiapkan untuk menggulingkan kekuasaan negara. Memang pernah terpikir untuk membuat suatu skema seperti itu, namun pembunuhan presiden dengan skematisasi kekacauan politik tidak menarik dan tidak murni. Saya masih berpandangan adanya gerakan kepentingan yang hanya akan melahirkan suatu sistem baru yang tentu saja, belum tentu lebih baik dari sistem sebelumnya. Dan masih menurut pandangan saya, pembunuhan atas nama cinta menjadi hal yang paling logis.
Novel ini saya pergunakan untuk mengungkapkan aspirasi politik yang selama ini, menurut saya gagal dilaksanakan oleh agen politik bangsa kita. Bahwa sebuah negara hanyalah berbentuk wadah untuk menampung kekuasaan besar rakyat. Sastra menjadi media penyampaian informasi, bahwa rakyat berada posisi atas dan pemerintah harus benar-benar mengakui secara dejure dan defacto atas kedaulatan itu. Tidak sekedar sebagai retorika yang gersang, yang dimanfaatkan ketika suksesi negara dilaksanakan. Skematisasi pemerintahan negara ideal versi PDIN dapat dilihat dalam diagram pada halaman 310.
Penggarapan PDIN sebagai perwujudan politik praktis yang pernah hilang dalam kesusastraan Indonesia setelah hebatnya kemenangan Gestok. Kalau dikarenakan estetika politik tersebut kemudian novel ini tidak bisa memasuki sastra, karena tidak pantas menjadi naskah sastra, maka biar saja PDIN tetap berada dalam identitasnya sendiri sebagai naskah politik.
Studio SDS Fictionbooks, 2011
*) Disuguhkan dalam Diskusi Sastra Novel PEMBUNUH DI ISTANA NEGARA (SDS Fictionbooks, 2010) karya M.D. Atmaja pada hari Jumat tanggal 15 April 2011 di Komunitas Matapena.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H