Mohon tunggu...
M.D. Atmaja
M.D. Atmaja Mohon Tunggu... lainnya -

Teguh untuk terus menabur dan menuai. Petani.\r\n\r\neMail: md.atmaja@yahoo.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kampus Diserbu Mobil Lapis Baja

1 April 2011   04:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:14 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gejolak politik terjadi dalam kehidupan masyarakat yang pernah bahu membahu dalam bersemangat kebersatuan. Fenomena yang sungguh tidak dapat ditolelir, ketika dalam kehidupan berdemokrasi bukan jalan musyawarah mupakat yang ditempuh untuk menyelesaikan suatu permasalahan tetapi kekerasan senjata yang dihasilkan oleh kekuasaan yang korup. Kekerasan dalam negara demokrasi, apalagi itu terjadi pada negara bersistem kerakyatan merupakan pelecehan dari sistem dan rakyat itu sendiri, padahal kita sama-sama meyakini kalau “suara rakyat sebagai suara Tuhan” dengan demikian penguasa tersebut telah menghina Tuhan.

Fenomena mengenai kekerasan pada rakyat sama halnya melakukan kekerasan pada Keesaan Tuhan. Pemimpin yang sudah tidak menghargai rakyat, hanya menjadikan rakyat sebagai sapi perahan yang harus memberikan mereka keuntungan, bukanlah kepemimpinan dalam sistem demokrasi yang dimimpikan banyak orang (di Indonesia). Dan kondisi ini terjadi di Indonesia, terpotret melalui kelembagaan sastra dalam bahasa. Kita akan melihat bagaiman kesewenangan pemerintah (birokrat) yang menjalankan sistem pemerintahan tidak dengan semestinya menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.

Ironisasi bangsa Indonesia yang konon tengah belajar bagaimana cara berdemokrasi setelah sekian puluh tahun di bawah pemerintahan Kolonial Belanda dan sebelumnya berada di bawah kekuasaan kerajaan-kerjaan Kuna. Keadaan ini tercermin nyata dalam “Pamplet Cinta” karya Alm. W.S. Rendra pada “Potret Pembangunan Dalam Puisi (1993)”.

Pemerintahan korup yang otoriter banyak melakukan penyimpangan, sehingga menimbulkan budaya KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang masih melekat sampai sekarang. Hal ini menjadikan negara dalam keadaan yang tidak menguntungkan bagi rakyat kecil, suatu kondisi yang memprihatinkan. Seperti yang dituturkan Rendra: “Aku menyaksikan zaman berjalan kalangkabutan” (Rendra, “Pamplet Cinta”) yang mengisyaratkan pada kondisi yang kehilangan arah. Keadilan terjadi dalam kehidupan berbangsa, yang mana manusia menjadi bingung kemana harus berlindung sedangkan negara yang mereka ciptakan demi perlindungan tersebut justru melakukan berbagai penindasan.

Perlakuan dari pemerintahan korup ketika mendapati kekritisan masyarakatnya yang berusaha untuk mengembalikan keselarasan dan keharmonisan hidup. Katakan saja, segolongan manusia yang kritis melakukan protes, yang tentu saja protes tersebut adalah dengan suatu perkataan yang tidak meninggalkan bekas luka. Protes dari masyarakat dapat dipandang sebagai rambu peringatan dari Tuhan Semesta Alam bagi pemimpin yang berperan sebagai khalifah dan wakil-Nya di bumi.

Akantetapi, pemerintahan yang korup itu tidak menerima kritik sebab kritik dapat menganggu stabilitas pemerintahannya. Maka, kritik pun ditanggapi dengan cara lain, yaitu represi kekuasaan dengan senjata. “dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa./ Kampus telah diserbu mobil berlapis baja. Kata-kata telah dilawan dengan senjata.” (Rendra, “Pamplet Cinta”). Bukankah kita bisa melihat kalau negara yang tersirat dalam “Pamplet Cinta” adalah negara yang memiliki kematangan sebagai pribadi yang dewasa, sehingga demokrasi yang ada akan melahirkan sistem yang samar-samar, meskipun sudah terjadi pergantian Orde.

Kekuasaan yang korup dengan gerakan represif juga tidak dapat memberikan perlindungan dan sekaligus rasa aman untuk rakyatnya. Tindakan represif pada kritik tidak dapat dijadikan sebagai dalih dalam memberikan perlindungan pada kehidupan sosial rakyat. Sebab keadaan ini akan membawa pada kondisi yang tidak menyenangkan karena “...keamanan justru menciptakan ketakutan dan ketegangan” (Rendra, “Pamplet Cinta”).

Pelaksanaan dari perlindungan rakyat agar mencapai keamanan tidak dapat dijalankan dengan sistem fasis yang lebih mengandalkan kekerasan senjata ketimbang hukum perundangan yang berlaku. Juga diungkapkan Rendra dalam “Pamplet Cinta”nya: “Sumber keamanan seharusnya hukum dan akal sekat. / Keamanan yang berdasarkan senjata dan kekuasaan / adalah penindasan”. Negara yang sehat dan dewasa adalah negara yang “berakal” berhati nurani kerakyatan, bukan penyelesaian dengan kerasnya mobil lapis baja.

Bantul – Studio SDS Fictionbooks, Jumat Wage 1 April 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun